Yosman Sugapa

sugapa intan jaya
Ilustrasi - Dok. Penulis

Oleh: Nomen Douw

Yosman pria hitam, tinggi, berbadan sedikit gemuk, suka berimajinasi liar dan suka bicara, tapi tidak norak. Yosman baru lulus sekolah hukum di Universitas Pancasila Jakarta Selatan. Bapa Yosman politikus di Kabupaten Nabire Papua.

Dari usia remaja Bapa Yosman tinggal di Nabire hingga ketemu mama kandung Yosman. Bapa Yosman pernah jadi anggota DPR Nabire era Bupati Anselmus Petrus Youw (1999-2009). Yosman lahir-besar hingga selesai SD-SMA di Nabire. Setelah bapanya lanjut usia, umur 70 tahun, bapanya mengajak pindah ke Kampung Yogatapa Sugapa; berpikir masa tua hingga tutup usia harus di kampung asal keluarga besar Yosman, kampung yang menempel di gunung Wabu Sugapa Intan Jaya.

 

Keluarga Yosman kemudian pindah dari Nabire dan tinggal setahun di Sugapa. Hanya lima bulan di kampung, Bapa Yosman meninggal. Setelah duka berlalu, di rumah hanya Yosman dan mamanya. Kaka perempuan Yosman kawin di luar daerah, mereka hanya bertemu ketika Natal tiba. Kebanyakan Yosman dengan mamanya sendiri, di kampung kecil Yogatapa, gubuk dan dingin, sunyi. Senyum Mama Yosman masih ada, masih muda tapi mamanya sudah usia lanjut (73 tahun).

Yosman tidak kuliah selama satu tahun, karena menjaga mamanya. Dan lanjut setelah mamanya meninggal setelah satu tahun bapanya meninggal. Keduanya tinggalkan Yosman sendiri. Rumah semakin sunyi.

Yosman sudah menyelesaikan kuliahnya. Ia menetap di kampung asalnya, di Sugapa, tempat Bapa Yosman menjadi tanah di dusunnya, di tanah mereka, kampung Yogatapa.

Bacaan Lainnya

Hampir dua tahun Yosman bersama pemuda berjuang di Tanah Sugapa, mempertahankan keutuhan alam melalui diskusi yang rutin. Yosman tidak bicara Papua merdeka. Ia hanya bicara gunung dan hutan agar tidak boleh dibuat luka. Apalagi melukainya dengan alat berat besi. Diskusi mereka adalah bagaimana melindungi alam Sugapa Intan Jaya.

Yosman anak satu-satunya laki-laki dalam keluarga. Ia punya kaka perempuan tiga, Yosman laki-laki bungsu. Jika bapanya pulang kantor, anak yang lebih dulu dicari di rumah adalah Yosman. Bapanya selama jadi anggota DPRD tahun 2004 sampai 2009, kemana pun bapanya pergi, ia sering membawa Yosman. Semua diskusi soal politik bersama teman-teman politik kiri dan kanan direkamnya.

Yosman selalu duduk di samping bapanya, walaupun Yosman masih kecil untuk memahami soal topik yang didiskusikan, tapi setelah Yosman selesai SMA ia semakin banyak membaca berita dan tulisan lain. Diskusi bapa dan teman-temannya waktu itu datang terlintas di dalam pikiran.

Perlahan Yosman mulai pahami. Yosman ingat logo partai politik di baju dan topi yang pernah bapanya pakai saat kampanye bersama teman-teman calon lainnya. Warna biru, ada bintang merah dan putih.

Dari umur sepuluh tahun, Yosman merekam dalam otak soal politik dan hukum, sedikit dari diskusi bapanya dengan teman politiknya. Duduk di bangku SMA, lingkungan membuat Yosman terlena dengan gaya hidup modern di kota. Tapi ketika di rumah, mamanya selalu mengajak Yosman untuk membaca buku apapun.

Suatu ketika Yosman iseng belajar di ruang kerja bapanya. Beberapa buku di atas meja. Yosman ketemu satu buku dengan banyak gambar. Yosman buka dari halaman ke halaman. Yosman lebih banyak melihat gambar tapi bapaknya selalu memaksa Yosman untuk baca.

Dalam buku itu, di suatu halaman, Yosman lihat wajah pria berwajah India, berkaca mata bulat, berambut hitam tebal, matanya tajam dalam kaca mata, menentang. Caption-nya, “Aktivis HAM Indonesia”.

Tahun 2013 Yosman sampai di Jakarta. Mama kota negara Indonesia. Karena Bapa Yosman masih dikenal bupati, pernah membantu kerja politik; Yosman dapat beasiswa dari Pemerintah Daerah Nabire atas rekomendasi bupati. Sampai selesai pun dibiayai Pemda.

Yosman aktif kuliah di Universitas Pancasila. Selama kuliah Yosman semakin lama semakin tertarik dengan politik walaupun jurusan kuliahnya adalah hukum. Yosman lupa narasi tentang Haris Azhar dalam buku bapanya di atas meja Yosman, karena masih anak-anak. Mungkin buku hukum.

Yosman kuliah hukum atas ide bapa. Sebelum bapanya meninggal, bapaknya selalu berkata bahwa Yosman harus kuliah hukum.

Bulan Juni aktif kuliah, Yosman sudah terima materi tentang hukum di kampus. Dalam materi yang disampaikan dosen, hampir semua contoh kasus disertai nama Haris Azhar, sebagai pendamping hukum, wajahnya sering muncul di layar materi di infocus, saya kenal wajahnya. Wajah yang tidak berubah seperti dalam buku Bapak Yosman di atas meja. Ingatan Yosman seperti tayangan film.

Yosman penasaran dengan Hariz Azhar, yang dikenalnya dari wajah dalam buku bapanya. Yosman pelajari beberapa artikel dan mengikuti dialog di youtube.

Ada beberapa tulisan yang menyebutkan Haris Azhar adalah aktivis pembela kemanusian, pendiri Lokataru, intelektual Indonesia dan dosen. Yosman ingin bertemu dengan Hariz Azhar, tapi Yosman ini siapa? Ia hanya mahasiswa hukum yang baru mulai belajar. Belum tahu apa-apa tentang hukum dan politik.

“Di Papua, yang diperbanyak tentara, bukan sekolah,” kata Hariz Azar dalam channel youtube VDVC Talk.

Selama Yosman kuliah, ia terus mengikuti Hariz melalui media sosial. Yosman sudah mentokohkan Hariz Azhar. Yosman ingin duduk dan diskusi dengannya, tapi ilmu Yosman masih jauh. Belum apa-apa, sehingga Yosman harus membaca banyak buku hukum dan sosial.

Yosman ingin menjadi orang hukum di Papua seperti Haris Azhar walaupun kuliah hukum ini pilihan bapaknya.

Yosman ingin menjaga Papua dari investasi buruk yang masuk dengan hukum yang dilemahkan uang lari di bawah meja.

Yosman ingin menjaga Sugapa dan manusia di sana. Yosman hanya ingin bertemu Hariz Azhar untuk belajar.

Lima tahun Yosman kuliah di Jakarta tidak pernah bertemu dengan Hariz Azhar, padahal satu kota, Jakarta. Yosman selalu ingin ketemu, ingin cerita walaupun soal pengantar hukum dalam konteks Papua.

Tapi tidak! Lima tahun Yosman tidak bertemu Hariz. Walau hanya sekadar saling lewat saja tidak. Sekadar ketemu untuk foto saja tidak.

Yosman selesai kuliah dan pulang ke Sugapa. Yosman tidak berhenti membaca buku tentang hukum, politik dan sosial. Ia membawa pulang buku-buku yang Yosman belanja. Ada lima karton ukuran karton mie dengan biaya kilo empat juta rupiah.

Yosman kini sudah di Kampung Yogatapa, Sugapa Intan Jaya. Semua barang yang Yosman bawa sudah sampai. Sugapa masih dingin seperti dulu.

 

Lama tidak pulang, seperti Sugapa tambah dingin. Tentara Indonesia sudah banyak dengan seragam lengkap menggendong senjata mesin. Layaknya sedang berperang melawan tentara lain untuk menjaga pertahanan negara lain di Sugapa.

Sekolah di Sugapa juga tidak bertambah. Masih seperti dulu. Padahal banyak jalan uang dari Jakarta datang. Uang memang bukan solusi, hanya sedikit.

Yosman jadi ingat kata Hariz Azhar dalam konten youtube di Jakarta. Dua tahun di kampung, Yosman hanya di rumah. Mama dan bapanya dalam kubur, tapi Yosman selalu menganggap mereka masih ada di rumah. Menjaga kampung Yogatapa.

Yosman mulai kuliah setelah mamanya pergi tinggalkan Yosman. Sekarang sudah selesai kuliah, di rumah hanya Yosman, kadang dengan keponakan kalau datang dari Nabire. Mamanya juga pergi setelah bapanya pergi satu tahun lamanya. Mamanya ikut bapaknya pergi. Yosman percaya mama dan bapanya bertemu di tempat yang damai.
Air mata Yosman jatuh melihat kuburan depan rumah. Sepertinya mama dan bapanya tidur menjaga kampung kecil mereka.

“Terima kasih, Mama dan Bapa,” kata Yosman bercucur air mata.

Kampung Sugapa, jaringan internet tidak seperti di Nabire, hanya bisa lihat pesan, lemot. Beberapa minggu berlalu, malam dengan kopi dan buku politik, sosial dan hukum, walaupun Yosman tidak tertarik dengan politik tapi di kampung, tua-tua adat meminta untuk Yosman harus calon DPRD di Kabupaten Intan Jaya.

Yosman pun mulai baca buku yang dibawanya dari Jakarta. Hanya empat buku politik terselip di antara buku hukum dan sosial. Yosman baca tiga buku politik dalam tiga bulan dengan berulang kali. Yosman selalu ingin cari buku politik, tapi Sugapa jauh dari akses, apalagi toko buku, mimpi.

Selama tiga tahun di kampung, selain Yosman dekat dengan kepala suku dan anak muda, Yosman juga menjadi petugas penyelenggara pemilihan bupati dan DPRD selama dua tahun.

Bulan September, suatu hari di pukul 7:12 pagi, waktu Sugapa, kepala suku menelpon Yosman.

“Halo, Bapa!” Jawab Yosman.
“Anak Yoss, dimana?” Tanya kepala suku.
“Di rumah, Bapa!” Balas Yosman.
“Anak Yoss, siap sudah! Kita ketemu, ada orang datang dari Jakarta bicara masalah blok Wabu. Kita ikuti pembicaraanya saja anak,” jelas bapa kepada Yosman.
“Ok Bapa siap, ketemu jam berapa?” Tanya Yosman.
“Nanti kita jemput di bandara baru kita duduk di rumah,” jelas bapa kepala suku.

Pukul 11:45 siang waktu Sugapa. Yosman dan kepala suku berangkat ke bandar udara untuk menjemput orang dari Jakarta.

Yosman dengan kepala suku berdiri di pintu keluar depan pintu pagar, jauh dari pesawat. Yosman melihat wajah Hariz Azhar melangkah maju. Seorang yang ingin Yosman ketemu lima tahun lalu, kini ketemu di Sugapa. Seperti mimpi. Dalam hati Yosman berkata,”Welcome tokoh Saya.”

Koper digenggam kaka pengacara asal Papua tinggal di Nabire. Dia kenal kepala suku dan Yosman.

Yosman senang karena akan duduk diskusi bersama Hariz Azhar, tokoh yang dirindukan Yosman selama bertahun-tahun. Mereka saling salaman. Yosman memeluk Hariz Azhar sambil berkata, “Selamat Datang Pak Haris di Sugapa, Tanah anak Migani.”

“Sama-sama ade,” Balas Hariz Azhar dengan santai.

Pukul 13:34 siang di Sugapa. Sinar matahari menembus awan. Tidak terlalu dingin. Mereka berempat duduk di rumah kepala suku, rumah kayu yang hangat. Mereka duduk melingkar di atas lantai beralas karpet berkotak hitam putih.

Yosman berterima kasih kepada Hariz Azhar karena bisa datang ke kampung mereka. Suatu kehormatan. Yosman bercerita tentang kekagumannya kepada Hariz Azhar, proses kuliah Yosman dulu hingga cerita tentang buku bapanya. Haris Azhar hanya ketawa kecil.

Yosman bercerita soal impiannya ketemu Haris Azhar hingga tidak jadi. Dan sekarang Yosman duduk bersama, waktu yang Yosman tidak pikirkan.

Hariz Azhar hanya senyum dengan wajah dan tubuh yang rileks. Dia terlihat menikmati alam dingin Sugapa. Menyukai alam yang berbeda.

Hariz Azhar mulai bertanya tentang perusahaan yang masuk wilayah Intan Jaya, khususnya Blok Wabu yang direncanakan dan beberapa grup anak perusahaan pusat.

Yosman lantas menyampaikan beberapa laporan lisan kepada Hariz Azhar sesuai pertanyaan. Yosman cukup tahu tentang tanah air mereka.

Yosman sudah enam tahun lebih tinggal bersama anak muda dan masyarakat Sugapa. Mereka duduk diskusi selama lima jam lebih. Selama mereka diskusi, Hariz Azhar terus mencatat setiap jawaban yang mereka berikan.

Tidak terasa sudah sore, pukul 16:23 waktu di Sugapa. Mereka pake motor berkeliling kota Sugapa. Yosman bersama Hariz Azhar satu motor. Yosman bangga.

Mereka menunjukkan wilayah tambang Blok Wabu jika dieksplorasi. Kampung Yosman bisa hilang. Tapi dalam hati Yosman selalu berkata, “Saya sekolah hukum. Saya akan kerja keras sampai titik darah penghabisan.”

Yosman memohon kepada Haris Azhar untuk bantu mereka, warga asli Sugapa Intan Jaya. Yosman siap memimpin pemuda dan masyarakat Intan Jaya.

“Itulah wilayah Blok Wabu jika dieksplorasi! Bapak Haris Azhar tolong bantu kami, kami tidak ingin kehilangan tanah kelahiran kami, dusun kami!” Mohon Yosman di atas motor ketika hendak pulang ke rumah kepala suku.

“Saya sudah catat dan lihat. Kami akan buat laporan kejahatan,” jawab Hariz Azhar dari tempat duduk belakang Yosman.

“Makasih, Bapak! Pak Hariz kita cari penginapan untuk Pak istirahat?” Tanya Yosman.
“Di rumah kepala suku saja kita istirahat,” balas Haris dengan santai.

Pukul 18:45 waktu di Sugapa. Kasur dan bantal sudah disiapkan kepala suku. Mereka berempat tidur berbaris dalam selimut.

Yosman sudah perintahkan beberapa anak muda Sugapa, untuk berjaga di depan rumah. Mereka bernyanyi-nyanyi dalam budaya sambil minum kopi untuk tahan mata.

Terlihat mereka seperti sedang kawal aspirasi mereka saat aksi di depan kantor dan ruas-ruas jalan. Dingin pagi membangunkan mereka dari dalam selimut tebal berbulu milik kepala suku. Haris Azhar sudah bangun lebih dulu, sedang mengetik di depan laptop apple. Kaka Haris menyapa Yosman begitu melihatnya bangun.

”Met pagi,” sapa Haris Azar kepada Yosman.
“Pagi juga, Kaka,” Balas Yosman.

Mereka dua diskusi. Haris Azhar tanya kuliah Yosman dan Haris Azhar tawarkan Yosman lanjut S-2. Akan diurus. Yosman dengan senang hati mengiyakan dan akan pergi ke Jakarta.

Pemuda Sugapa masih bangun dalam dingin sampai pagi, sampin tungku api dengan cangkir-cangkir kopi di depan mata. Yosman dan mereka menjaga Haris Azhar sampai pagi.

Mereka bersama berharap agar laporannya dapat membatasi kelompok oligarki di Tanah Papua, lebih khususnya di Sugapa, Intan Jaya. Sebentar pukul 10:00 waktu di Sugapa Haris Azhar akan terbang ke Nabire dan lanjut ke Jakarta.

“Laporan kalian saya sudah catat. Kita tetap komunikasi demi mempertahankan wilayah hidup kalian. Kalian jangan lupa berdoa,” jelas Haris Azhar di depan pagar pintu, tepat pintu masuk bandar udara Sugapa.

Koper hitam milik Hariz Azhar dirangkul kaka pengacara asal kota Wamena yang tinggal di Nabire. Mereka berjalan pelan menuju pesawat Suci Air yang sudah memarkir menunggu mereka terbang.

Yosman dengan pemuda Sugapa pulang berjalan kaki. Biasa. Mereka terlahir melihat gubuk beratap daun kayu. Hari-hari mereka jalan kaki, pergi berkebun dan pulang, bermain di alam pohon di atas gunung berbatu emas, uranium dan aluminium.

Sepanjang jalan Yosman bercerita bahwa Haris Azhar adalah pengacara ternama di Indonesia. Haris Azhar akan menyuarakan suara masyarakat Sugapa dari ibu kota. Lebih berbisik kepada telinga oligarki yang suka merampas kekayaan rakyat seluruh Nusantara. Semoga dunia tahu Tanah Papua dalam garis merah, ujung perampasan negara-negara kuat dunia demi membagun negara besi dan semen.

Beberapa bulan berlalu, Sugapa seperti biasa. Sunyi ketika mulai pukul enam sore. Suasana baru ketika Kabupaten Intan Jaya ada patroli militer gabungan. Sering terdengar bunyi tembakan.

Mereka anggap itu biasa saja. Pertama mereka panik dan berlari untuk sembunyi. Waktu yang cepat, Yosman mulai pikir kiamat akan cepat, seperti nubuat dalam kitab suci. Tapi tidak. Ini hanya sebuah proses politik.

Tahun 2021 berlalu seperti tahun-tahun lainnya. Perayaan Natal tidak seperti dulu waktu Yosman kecil; berlari saat bulan terang pecah malam hari dengan teman di halaman gereja dan sekolah. Ramai.

Sekarang Yosman tidak melihat anak-anak seperti mereka di waktu kecil. Sunyi. Mungkin karena sering ada tembak-tembak. Tercipta penjara ketakutan.

Suatu hari, ketika santai minum kopi di teras rumah, santai menghela napas halus, menikmati hangatnya kopi.

“Kasihan generasi ini, tidak menikmati masa kanak-kanak, pukul enam sudah sepi,” pikir Yosman.

Bulan Februari, tahun 2022, berbagai media ramai memberitakan nama Haris Azhar. Yosman mendengar dan mampir di tempat yang memiiki Wifi, kantor PU Intan Jaya, untuk memastikan informasi tersebut.

Yosman ketik nama “Haris Azar” di situs google. Semua berita muncul. Yosman membaca satu per satu. Termasuk laporan investigasi setebal 17 halaman dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua”.

Ada beberapa laporan menyebutkan nama elite pemerintahan negara bermain proyek di Tanah Papua. Ada nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) disebutkan dalam diskusi NgeHamTam di konten youtube Haris Azar bersama Fatia.

Malam di rumah Yosman, pemuda Sugapa berkumpul dan diskusi, sambil berdiang di bara api. Ada kopi dan teh. Yosman memimpin diskusi. Duduk hingga pagi. Kesimpulanya mereka berdoa agar elite pemerintah yang memegang proyek di Papua ditindas dengan hukum yang adil.

Yosman selalu ingat kata Haris Azhar di Bandar Udara Sugapa:

“Keterangan kalian saya bawa. Saya akan buat laporan. Akan memperkuat hasil riset kami di Jakarta.”

Haris Azhar meminta mereka tidak lupa berdoa, karena orang Papua sedang melawan kekuatan besar. Di seluruh Gereja, Yosman sudah membagi surat untuk mendoakan upaya-upaya Haris Azhar di ibu kota Jakarta.

Selasa pagi, Yosman di wilayah kantor PU, duduk di depan pagar untuk keperluan Wifi lagi. Wifi sudah aktif. Yosman membaca semua berita tentang Haris Azhar. Ada berita, Haris Azhar dan Fatia dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) ke polisi. Berita ramai dari berbagai sumber media.

“Sudah dua kali (somasi), dia tidak mau minta maaf. Sekarang kita ambil jalur hukum jadi saya pidanakan dan perdatakan,” kata Menko Marves di Polda Metro Jaya dalam sebuah situs berita.

Yosman dan pemuda Sugapa paham, siapa sebenarnya mereka yang ingin memiliki Gunung Blok Wabu dengan menghapus Kampung Sugapa dari Intan Jaya. Tanah air mereka.

Mereka semakin kuat menganalisisnya setelah mendapatkan informasi dari berita-berita media massa. Mereka adalah martir. Mereka adalah patriot sejak kecil. Mereka lahir dari alam Sugapa. Mati dan hidup mereka di Tanah Sugapa.

“Secara pribadi saya tidak akan tinggal diam dengan kasus ini dan saya akan sangat-sangat proaktif, ini saya akan melaporkan balik sejumlah hal,” kata Haris Azhar dalam sebuah konferensi pers seperti diberitakan salah satu situs berita nasional.

Mereka mendukung Hariz Azhar. Siang malam mereka duduk dengan ditemani api panas. Minum kopi dan the. Diskusi tentang Gunung Wabu dan perjuangan Haris Azhar melawan elite negara.

Mereka akan saksikan proses hukum yang berkeadilan. Biar hanya lewat internet yang menumpangi wifi milik kantor PU. Mereka merasa bahwa ini perjuangan. Sebelum rakyat mati, Yosman dan pemuda Sugapa lebih dulu mati sampai Blok Wabu dikerjakan. Sugapa adalah seluruh hidup mereka.

Ketika napas masih ada, mereka akan ada dan terus berjuang untuk tanah air mereka, tanah Sugapa. Seperti suara kebenaran Haris Azhar, ”Penderitaan orang Papua dia tidak bisa diberangus dan ditempatkan di dalam penjara,” katanya dalam sebuah situs media nasional. []

Tulisan ini hanyalah fiksi. Mohon maaf jika ada kesamaan nama atau tokoh, lokasi, dan waktu

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.