Oleh: Ali Mirin
Ragga adalah perempuan berparas cantik alami yang berasal dari daerah dataran rendah di Papua timur. Dia tidak hanya berparas cantik, tetapi juga dilengkapi dengan sikap yang ramah dan sopan santun terhadap semua orang, baik di kompleksnya, maupun di sekolah. Paras cantik dan sikapnya ini mencuri perhatian banyak laki-laki di kota.
Ragga lahir dan dibesarkan di keluarga yang serba ada, apalagi ayah dan ibunya pernah kuliah di salah satu universitas yang paling bergengsi di Port Moresby. Jadi tidak heran kalau anaknya juga masuk sekolah bertaraf internasional. Tapi bagi mereka hukum adat atau adat-istiadat bernilai tinggi dari segalanya.
Dengan harapan dan dukungan dari orang tuanya, Ragga belajar di salah satu sekolah menengah atas (Grade 12) yang terkenal dan mahal di kotanya. Di sana dia sangat aktif dalam organisasi pemuda gereja, termasuk di sekolahnya.
Suatu waktu pada saat ibadah di tingkat sekolahnya. Salah satu teman kelasnya bersaksi tentang tempat asal dan kehidupan orang tua di kampungnya. Termasuk keberuntungannya masuk di sekolah yang sangat kompetitif dan mahal ini. Dia masuk di sekolah ini karena kemurahan Tuhan.
Kesaksiannya sangat menggugah hati Ragga, karena kesaksian teman yang baru saja ketemu beberapa bulan di sekolahnya itu, mirip dengan pengalaman orang tuanya saat kuliah di ibu kota Port Moresby.
Kesaksiannya membuat Ragga terbawa perasaan, sehingga membuatnya mendekati dan ingin tahu banyak tentang dia.
Ragga bersimpati pada lelaki ini setelah mengetahui banyak tentangnya. Ragga bahkan sering menggunakan uang jajannya untuk membelikan makanan buat teman-teman di sekolahnya,, termasuk laki-laki ini.
Seiring berjalannya waktu, Ragga semakin dekat dengan laki-laki yang dikenalnya usai memberi kesaksian pada ibadah tingkatan sekolah tadi. Ragga benar-benar jatuh cinta pada lelaki yang berasal dari daerah dataran tinggi itu. Munne panggilan akrabnya.
Munne memang berasal dari Goroka, tapi dia orang yang baik dan bertanggung jawab. Sikapnya yang pendiam dan mengikuti semua masukan dan arahan dari Ragga, menyuburkan benih-benih cinta. Cinta yang mengkristal sejak ia sampaikan isi hatinya sebelum Munne libur Natal di rumah orang tua.
Singkat cerita, setelah menamatkan sekolah Grade 12, Ragga punya keinginan yang kuat untuk mengulangi kisah orangtuanya bersama Munne di Moresby.
Dia lalu sering menceritakan ke Munne, bahwa suatu saat mereka berdua akan merantau ke tempat, dimana, orang tuanya merasakan apa itu susah dan senang. Munne hanya mengiyakan apa yang direncanakan Ragga.
Keduanya kemudian melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Universitas bergengsi di negara ini. Universitas pilihan mereka berdua.
Selama kuliah di sana, Ragga dan Munne selalu beraktivitas bersama. Ragga memang harus selalu bersama Munni karena Port Moresby tidak aman untuk perempuan.
Selain itu, dia tinggal di Unilodge yang penjagaannya super ketat. Jadi kalau kuliah tidak hati-hati di Moresby, berarti bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, apalagi orang tua kasih doktrin yang kuat, supaya berpegang teguh pada cita-cita, dan kembali ke orang tua setelah pendidikannya sukses.
Teman-teman kuliah sudah tahu bahwa Ragga memang sangat mencintai Munne sejak Grade 12. Apalagi Desember lalu mereka merayakan Natal bersama di Goroka.
Munne dan Ragga juga sudah memberi tahu kepada orang tua Ragga bahwa mereka saling mencintai. Bahkan mereka memperlihatkan foto-foto kenangan selama kuliah di universitas, sehingga orang tua harus bersiap-siap untuk melancarkan pernikahan mereka.
Upacara pernikahan menurut tradisi suku ini sangat mahal. Harus mempersiapkan uang yang banyak, babi, dan segalanya.
Sayangnya Ragga tidak pernah menceritakan bahwa dirinya pacaran dengan Munne sejak sekolah menengah. Padahal banyak yang mengetahui hubungan cinta mereka.
Ragga hanya yakin bahwa orang tuanya sudah merestui hubungannya dengan Munne lelaki impiannya itu, meski dia tak menceritakan bahwa hubungan mereka terjalin sejak Grade 12.
Munne merasa bahwa Ragga saat ini bukan anak kecil lagi, yang harus diatur oleh orang tuanya, termasuk urusan cinta. Karena itu, setelah wisuda di Universitas Papua Nugini, Ragga mengajak Munne untuk tidak naik pesawat ke kampung halamannya, tetapi menumpangi angkutan antarkota sambil refreshing.
Sambil menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, seperti Kokoda, Meriani, dan Sungai Flay yang mempesona bagaikan surga kecil yang jatuh ke bumi, mereka menuju ke Sogeri, tempat tinggal orang tua Ragga.
Suasana daerah dan perjalanan pulang, betul-betul mengobati stresnya hidup di kota, yang terletak di daerah panas, serta melepaskan masa-masa kuliah.
Pukul 3 sore Ragga tiba di tempat istirahat. Orang-orang yang ikut bus dengan mereka juga istirahat sambil makan dan bercerita.
Ragga mendokumentasikan semua perjalanan mereka dengan canon EOS 6D full frame yang ia beli dengan harga yang mahal. Semata hanya untuk mendokumentasikan kenangan wisuda dan perjalanan pulang ke rumah.
Mereka duduk sambil makan daging domba dan pisang bakar yang dibeli tadi di pasar. Ragga menceritakan tentang air terjun yang terlihat indah dihiasi dengan hutan tropis. Dari sinilah nenek moyang mereka berasal. Jadi, kalau ada sesuatu, ke sana dan panggil saja nama. Munne hanya mendengar cerita Ragga yang berapi-api itu.
Pukul 4 sore lebih empat puluh lima menit, dua sejoli ini tiba di rumah. Ragga langsung memperkenalkan Munne kepada orang tuanya bahwa ini calon suaminya. Namanya Munne. Dia menjadi bagian yang sangat penting dalam kesuksesannya di universitas. Ragga sangat mencintainya. Karena itu dia hanya memperkenalkan Munne sebagai calon suami untuk direstui oleh kedua orangtuanya.
Sayangnya orang tua tidak merestui kalau anak mereka kawin dengan orang di atas, karena dianggap orang gunung sangat agresif dan tidak bisa atur keluarga dengan baik.
Jadi, Munne diberi dua pilihan. Kalau tetap bersama Ragga berarti nyawanya tidak selamat. Kalau meninggalkan dan membiarkan Raga mencari laki-laki di kampung sini berarti nyawa Munne selamat.
Munne sangat takut atas warning ini, karena daerah itu terkenal dengan witchcraft atau ilmu hitam. Dia tidak mau hal-hal yang tidak dia dan orang tuanya inginkan terjadi terhadap dirinya.
Karena itu, dia kasih tahu Ragga, “Lebih baik ko cari laki-laki lain saja, saya terima kenyataan pahit ini dengan hati yang terbuka.”
Tetapi Ragga tidak terima. Dia memohon pada orang tuanya. Kalau tidak merestui berarti dia akan bunuh diri. Tapi orang tuanya tidak menanggapi serius.
Dia juga bilang kepada Munne, “Saya sudah terlalu mencintai kamu jadi apa yang orang tua bicara ini kita hadapi sama-sama. Jangan menyerah begitu saja. Air mata dan perjuangan panjang kita dalam pendidikan tidak bisa dihapus dengan cara memisahkan kita dua.”
“Orang tua kamu sudah sampaikan ke saya dan saya dengar dengan telinga saya sendiri, bahwa mereka akan bunuh saya dengan ilmu hitam, sedangkan saya ini satu-satunya orang dari daerah saya yang baru selesai di universitas. Karena itu saya sudah ambil keputusan bahwa kamu tinggal di sini. Lupakan saya baru cari laki-laki lain. Sebagai teman nanti kita tetap akan komunikasi hanya sekadar teman kuliah,” kata Munne.
Tapi Ragga sangat tidak setuju. Dia terus memohon kepada orang tuanya. Namun kedua orang tuanya tetap pada pendiriannya.
Karena waktu semakin sore, apalagi mereka baru saja tiba dan belum istirahat, sedangkan mobil ke POM City sudah tidak ada, Munne minta orang tua Ragga izinkan dia tidur di luar veranda.
“Besok pagi saya ikut ko. Kita pergi sama-sama,” kata Ragga sambil menangis.
Pagi sudah tiba. Ragga memohon lagi kepada orang tuanya, agar bisa pergi bersama Munne ke POM City dan selanjutnya ke Goroka.
Dia juga minta orang tuanya jangan biarkan Munne pergi dari Sogeri, tapi mereka tetap saja menolak.
Akhirnya Munne naik mobil PMV ke POM City, sedangkan Ragga buang diri di jurang, karena orang tuanya tidak merestui. Ragga bunuh diri di jurang yang waktu itu mereka foto-foto dan menjelaskan bahwa dari hutan itulah nenek moyang mereka berasal.
Orang tua Ragga mencari-cari dia di Sogeri selama satu minggu. Tapi mereka tak menemukannya.
Lalu mereka memutuskan untuk mencari Ragga di rumah Munne. Dari sana diketahui bahwa Ragga tidak pergi bersama Munne.
Kemudian Munne ikut orang tua Ragga kembali ke Sogeri. Begitu Munne injak kaki di terminal bis, dimana terakhir kali dia lihat Ragga, dia mendengar suara dari arah jurang, yang dia cerita waktu itu. Dalam sekejap, dia melihat bekas kaki Ragga ke arah jurang.
Sambil jalan mengikuti jejak kaki, dia mendengar suara Ragga sangat jelas, “Lewa thanks for coming back for me.”
Munne menemukan tubuh Ragga yang membusuk dan Munne menangis hancur di situ, sedangkan orang tuanya baru menyadari bahwa anak mereka sudah bunuh diri.
Lewa dalam Tok Pidgin berarti cinta, sedangkan Sogeri ini tempat dimana Ragga berasal. Jadi lewa sogeri berarti cinta dari Sogeri. []
Cerpen ini terinspirasi dari lagu PNG berjudul “Lewa Sogeri”. Mohon maaf jika ada kesamaan nama, cerita dan kisah