Oleh: Nomensen Douw
Nona manis itu bernama Marta, asal kampung kecil yang menempel di Gunung Deiyai, Obayo, Kabupaten Dogiyai Papua. Sejak Marta masih usia lima tahun, kedua orang tuanya meninggal, karena dibunuh oleh tentara di salah satu kota, ketika tentara melakukan operasi militer terhadap dugaan perampokan peluru senjata api di markas oleh orang tidak dikenal.
Marta kemudian dibesarkan oleh keluarga dari mamanya, adik perempuan dari sang mama. Marta bertumbuh dan berkembang menjadi anak remaja yang baik dalam keadaan yang traumatik. Marta juga anak yang pintar, kuat dan rajin bekerja, baik di rumah, maupun di sekolah.
Kini Marta sudah berumur 20 tahun dan baru saja menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di Moanemani, ibu kota Kabupaten Dogiyai. Marta anak desa yang secara alamiah rajin bekerja. Karakter dan fisiknya cantik pula.
Marta akan melanjutkan kuliah di luar daerah, tapi tidak punya uang. Karena orang tua Marta sudah dibunuh.
Dia dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Hidup hanya dari bertani dan berjualan di pasar. Marta tidak punya pilihan lain, selain mengandalkan kemampuan kerja kerasnya untuk mencari uang kuliah.
Suatu ketika Marta pergi ke gurunya, kepala sekolah di Moanemani untuk meminta kerja borongan. Kebetulan Marta kenal baik dengan kepala sekolah itu. Sampailah di rumah sang kepala sekolah.
“Pagi, Pak Guru,” sapa Marta dari depan pintu.
“Ei, Marta. Bagaimana?” Jawab Pak Guru.
“Aaaa, tidak, Pak Guru. Saya mau minta kerja borongan.”
“Marta, kamu butuh uang berapa?”
“Saya mau lanjut kuliah, tidak ada uang ni Pak Guru,” jawab Marta dengan malu-malu.
“Ooo, kalo begitu satu tahun ini, Marta kamu bantu jaga kios saja. Nanti tahun depan saya biaya kamu masuk kuliah sampai selesai,” jawab Pak Guru dengan sedikit sedih.
“Adooh Pak Guru, makasih banyak,” jawab Marta kegirangan sambil memeluk Pak Guru.
Hari pertama Marta jaga kios dengan istri Pak Guru setelah diperkenalkan sistem penjualan sembako di kios. Sore harinya Marta harus pulang ke kampung, untuk memberi tahu keluarga, sekaligus membawa barang yang diberikan istri Pak Guru.
Marta hanya pulang tiap Sabtu dan mengikuti ibadah Minggu bersama keluarganya di kampung.
Kini Marta sudah hampir lima bulan membantu di rumah Pak Guru sambil menjaga kios. Nampaknya Marta semakin dewasa dan cantik.
Banyak pria berdatangan di kios semenjak Marta jadi pelayan kios. Mereka datang untuk membeli dengan maksud lain.
Marta memang perempuan yang murah senyum pada siapa saja. Pendapatan seharian hingga bulanan di kios ini naik berkat kehadiran Marta.
Semenjak Marta menjaga kios ada pemuda dewasa yang sering datang membeli apapun kebutuhanya dengan uang bernilai besar. Pemuda itu selalu menolak uang kembalian.
“Kembaliannya untuk ade saja!”
Begitu kata yang selalu diucapkan ketika Marta bergegas mengembalikan uang sisanya kepada pria itu.
Pada suatu ketika, pria itu datang membeli saat Marta dan istri Pak Guru di kios. Setelah pemuda itu pergi, Marta bertanya pada ibu pemilik kios.
“Mama, itu pria siapa ka?”
“Itu DPRD yang baru terpilih kemarin.”
“O….iyo e.”
Hampir setiap hari pria itu datang dan minta nomor handphone Marta. Namun Marta tidak mempunyai HP. Pria itu juga sering mengajak Marta bepergian menggunakan mobil, tapi Marta selalu menolak, karena dia harus bekerja, dan menghabiskan masa kerjanya di kios.
Tepat Sabtu sore ketika Marta sedang menunggu ojek ke kampung, datanglah pria muda itu.
“Ade mau kemana? Mari kaka antar!” Kata pria itu usai menurunkan kaca mobilnya.
“Saya mau ke kampung, Kaka,” jawab Marta dengan sedikit malu.
“Iyo, mari naik,” jawab pria itu.
Marta kemudian menumpangi mobil pria muda itu. Dalam perjalanan mereka saling berkenalan.
Hari sudah malam. Pria itu tak langsung mengantarkan Marta ke kampungnya, tapi berputar-putar di kota. Hal ini membuat Marta semakin khawatir.
“Kaka, antar saya sudah di kampung. Saya harus ketemu keluarga,” kata Marta dengan nada memohon.
“Iyo, sip. Ini ada jalan ini,” jawab pria itu sambil mengemudikan mobilnya.
Laju kendaraan terus berpacu. Pria muda ini mengajak Marta singgah di Enarotali untuk membeli HP.
“Adu, bagaimana e. Oke sudah. Dari Kaka saja!” jawab Marta sungkan.
Mereka pun tidak langsung ke kampung, tapi singgah di Enarotali untuk membeli HP.
Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Semua toko HP tutup.
“Bagaimana, Ade? Kita tunggu besok saja e beli HP-nya, sekalian saya antar Ade,” kata pria muda itu.
“Ado, saya takut, Kaka!!” jawab Marta dengan khawatir.
“Tidak apa-apa nanti kita nginap di rumah teman saya,” jawab pria itu dengan santai.
“Iyo, tidak apa-apa sudah. Dari Kaka sudah,” jawab Marta pasrah.
Mereka pun menginap di rumah teman pria itu. Malam telah berlalu dan pria itu memenuhi janjinya untuk membeli HP, lalu mengantar Marta ke rumahnya di kampung.
Tinggal dua bulan lagi Marta akan mengakhiri masa kerjanya di kios Pak Guru dan akan melanjutkan kuliah di luar daerah.
Beberapa hari belakangan Marta selalu diantar pria muda itu dengan mobil ketika pulang ke kampung halamannya. Selebihnya komunikasi selalu melalui HP.
Karena sering komunikasi dan sering bersama, Marta semakin suka sama pria itu.
Suatu ketika pria muda itu meminta Marta menjadi calon tunangannya. Marta terima pria muda itu, tapi dengan catatan dia harus melanjutkan kuliah dulu, demi menghargai guru dan hasil kerja kerasnya selama beberapa bulan.
Waktu terus berjalan. Marta dan pria muda itu selalu bersama dan Marta sudah tidak bekerja lagi di kios gurunya. Kabarnya kuliah Marta akan dibiayai pria muda itu hingga selesai.
Marta bahkan sudah sering pergi ke Nabire bersama pria muda itu selama berminggu-minggu. Lalu kembali ke kampung.
Pria muda itu pada suatu kesempatan menghadap orang tua Marta di kampung dan menikahinya secara adat di sana. Marta kemudian memperkenalkan suaminya kepada gurunya yang dia anggap sebagai orang tuanya.
“Marta, kenapa kamu baru kenalkan pria itu setelah kalian jadi suami-istri? Saya ini mama kamu. Seharusnya kamu memperkenalkan dia sebelum menikah, beri tahu mama dulu,” kata istri Pak Guru kepada Marta melalui SMS.
“Maaf, Mama. Memangnya dia kenapa?” Balas Marta.
“Marta, kamu harus tahu. Pria itu sudah punya dua istri. Dan kamu istri ketiganya,” jawab istri Pak Guru.
“Ya, Tuhan!!! Dia tidak jujur sama saya dan sudah tidur dengan saya, Mama,” jawab Marta.
“Itulah pilihan kamu sendiri, Marta. Selanjutnya kamu harus kuat.”
Marta sedih mendengar informasi ini. Dia tidak membalas lagi pesan mama tadi. Marta pun menceritakan semuanya dan meminta pria itu harus jujur padanya.
Pria itu pun jujur pada Marta. Seperti informasi yang diperolehnya dari mama. Namun, Marta sudah hamil empat bulan.
Selama mereka bersama, pria itu sering keluar daerah tinggalkan Marta. Semangat untuk kuliah pun semakin sirna, karena perut Marta semakin membesar.
Ia malu pada gurunya. Kepala sekolahnya yang menjanjikannya kuliah setelah menjaga kios selama setahun.
Perjuangan Marta selama berbulan-bulan di kios, pergi begitu saja. Marta kini lebih banyak di kampung dan pria muda itu sering menghilang. Datang pun hanya sesaat dan setelah itu pergi lagi.
Suatu waktu sementara pria itu berada di luar daerah, Marta menelponnya. Tak disangka orang yang berbicara di balik telepon adalah istri pertama dari pria itu. Marta dibentak-bentak karena kehadirannya dianggap membawa beban hidup bagi keluarga pria muda itu.
Marta lantas menyesal dan bingung. Kenapa harus terjadi seperti itu padanya? Perhatian pria muda itu tidak seperti dulu lagi. Harapan Marta untuk melanjutkan kuliah sudah tidak ada.
Padahal Marta masih muda. Gurunya yang ingin membiayai dia hingga selesai, sudah tidak percaya lagi sama Marta. Begitu juga istrinya dan keluarga Marta di kampung. []