Pemekaran Daerah di Papua: Kesejahteraan Masyarakat vs. Kepentingan Elit

Pemekaran untuk siapa? Ilustrasi; media indonesia
Pemekaran untuk siapa? Ilustrasi; media indonesia

Oleh; Aloysius Gunadi BRATA )*

Walau pun, secara umum, pemekaran daerah di Indonesia masih meninggalkan banyak masalah seperti dalam hal pelayanan publik, kinerja daerah hasil pemekaran, ataupun dampaknya pada ketimpangan antar daerah.1 Namun demikian, apa yang terjadi di wilayah Papua dapat dikatakan memiliki daya tarik tersendiri. Setidaknya ada empat alasan berkaitan dengan hal tersebut. Pertama, dari segi luas wilayah, kalkulasi serampangan bisa mendorong pemekaran daerah terus melaju di wilayah tersebut. Kedua, dari dalam Papua sendiri, pemekaran tidaklah disambut dengan suara yang senada, terutama berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat yang tidak kunjung membaik. Ketiga, dari segi geopolitik, wilayah Papua strategis bagi Indonesia sehingga pemekaran di wilayah ini pun dikaitkan dengan kepentingan strategis tersebut (baca: NKRI). Hedman (2007) bahkan menyebut Papua sebagai tepian akhir bagi demokratisasi, demiliterisasi dan desentralisasi di Indonesia. Keempat, terdapat informasi bahwa pemekaran di Papua tidak lepas dari kepentingan perusahaan besar untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang ada. Artinya, secara garis besar, ada kepentingan elite di satu sisi, baik ekonomi maupun politik, pusat maupun daerah, dan kesejahteraan masyarakat Papua di sisi lain.

Dalam hal menjaga kesatuan wilayah NKRI, pemekaran di Papua, khususnya pemekaran pada aras propinsi, disebut-sebut sebagai senjata untuk menepikan gerakangerakan separatisme. Hal ini menjadi lebih strategis setelah Timor Timur lepas dari Indonesia dan Aceh menjadi “terkendali”. Kekuatan separatisme dapat menjadi terpecahpecah karena adanya peluang-peluang yang dapat diburu. Karena terpecah-pecah maka gerakan separatisme pun dapat dilemahkan dengan lebih mudah. Mengenai hal ini, Muridan Widjojo dari LIPI dalam blog-nya menulis demikian:

“Mungkin benar bahwa dengan pemekaran, kekuatan separatis di Papua lumpuh. Setidaknya dengan pemekaran Irjabar, kekuatan politik di tanah Papua terpecah. Energi pemimpin Papua di wilayah Irjabar menjadi terpecah dan teralihkan pada pertarungan dan perebutan sumber daya politik di provinsi baru ini. Belum lagi pilkada gubernur, bupati, maupun walikota di wilayah ini.

..Mungkin benar juga bahwa banyak aktivis Papua pro-kemerdekaan beralih kesibukannya ke dalam dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru. Dengan demikian, agenda-agenda politik yang dianggap berbau separatis seperti rekonsiliasi, dialog, dan lain-lain tidak lagi menarik karena tidak ada kekuasaan dan uang di sana. Apalagi dengan politik anggaran terselubung yang sudah dirasakan ‘manfaat’nya dalam melemahkan gerakan-gerakan kemasyarakatan tersebut.”

Sementara itu, ketika melantik lima penjabat bupati di lima kabupaten baru di daerah Pegunungan Tengah, Papua (Lani Jaya, Puncak, Yolimo, Nduga, dan Mamberamo Tengah), Mendagri Mardiyanto menyatakan bahwa pemekaran masih sangat diperlukan Papua.8 Pernyataan Mendagri di atas memberikan kesan bahwa pemerintah masih membuka pintu bagi usulan-usulan baru pemekaran di tanah Papua. Menurut Mendagri, ada dua alasan utama mengapa pemekaran di Papua sangat dibutuhkan. Pertama, karena kondisi Papua yang begitu luas, dan kedua untuk memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Hampir semua pemekaran daerah menggunakan argumen kesejahteraan masyarakat, sehingga bukan hal yang spesifik Papua. Sedangkan dari sisi luasnya wilayah, Papua memang jauh lebih luas ketimbang wilayah lain di Indonesia. Kalau pertimbangan ini digunakan secara bebas, di atas kertas akan ada begitu banyak daerah di Papua.

Bacaan Lainnya

Argumen memendekkan rentang kendali pelayanan pemerintah adalah argumen yang juga disodorkan oleh para elite lokal. Dalam hal ini ada proses pendekatan oleh politisi local Papua ke pihak pusat di Jakarta melalui DPR, dengan diam-diam menerima sogokan uang dalam jumlah besar, yang kemudian menerbitkan undang-undang pembentukan unit-unit daerah yang baru. Proses semacam ini pada dasarnya menautkan bukan hanya kepentingan elite lokal tetapi juga kepentingan parpol/politisi dan bahkan kepentingan NKRI. Daerah yang baru, dalam istilah Nordhold dan Klinken, berubah menjadi sebuah bonanza bagi para kontraktor bangunan; sedangkan pihak militer dan polisi mendukung karena akan menikmati perubahan struktur komando territorial mereka. Soal penambahan personil militer dan polisi disebutkan pula oleh Hedman. Disebutkan misalnya mengenai adanya penambahan pasukan militer dan paramiliter polisi berkaitan dengan operasi militer di wilayah Pegunungan Tengah.

)* Dosen, Fakultas Ekonomi/Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Selengkapnya silahkan download di https://mpra.ub.uni-muenchen.de

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.