Oleh: Dewi Raubaba
“Tuuuttt!!!”
Getar HP sekali itu mengagetkan Elsa yang tengah rebahan di atas kasur berukuran 1 meter itu.
“Udah pulang, nduk.. Di sana udah malam, jangan keluar-keluar lagi, lho…!”
Demikian bunyi pesan singkat yang ternyata dari ibundanya.
Tersirat kekuatiran serta kerinduan pada tiap kalimat itu.
Elsa adalah gadis berdarah Jawa-Solo yang saat ini bekerja sebagai bidan di salah satu rumah sakit swasta di kota Timika.
Gadis yang setahun yang lalu lulus dari akademi kebidanan itu memutuskan untuk berangkat ke kota dollar demi sebuah peruntungan, sembari menjejaki kembali setiap jengkal jalanan kota Timika yang penuh kenangan manis itu.
Ayahnya dulu seorang karyawan pada perusahaan swasta di kota itu, setelah pensiun keluarga mereka pindah dan otomatis Elsa pun melanjutkan studi di kota asal kedua orang tuanya. Tak heran gadis itu nekad kembali ke Tanah Amungsa itu lagi.
Gadis itu menggeliat di antara capek dan pikiran yang terus menerawang. Di dalam kamar kos kecil itu Ia bangun dan duduk berselonjor kaki di tepian kasur. Perutnya perih, rupanya sedari siang belum terganjal apapun. Digenggamnya HP Nokia kecil kemudian menekan tuts.
“Hallo! Kaka dai..!” Ucap Elsa melalui telepon setelah tersambung dengan nomor yang dituju.
“Yo…bagimana, Mbak?”
“Sa lapar ale… Bisa belikan sa bakso kah? Kaka belikan saja dulu, uang nanti sa ganti di sini…,” ujar Elsa.
“Oke sip. Sa meluncur..” jawab yang ditelepon.
Elsa segera mematikan ponselnya.
Adalah Evert, pemuda tampan blasteran Serui-Jayapura yang sudah dua bulan ini menjadi ojek pribadi Elsa. Baru tiga tahun belakangan Evert tinggal di kota Timika.
Berbekal ijazah S1-nya, Ia terbang dari Jayapura. Berkali-kali gagal bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan kontraktor, lelaki itu akhirnya putar haluan dan memilih menjadi pegawai honorer di salah satu instansi pemerintahan. Dengan gaji seadanya membuat Ia harus pontang-panting bekerja sambilan.
Demi bertahan di kota dollar yang serba mahal itu, sepulang ngantor Ia pun rela ojek demi uang rokok dan pinang.
Profesi part time inilah yang membawanya berkenalan dengan Elsa, bidan muda berparas menawan.
Dua puluh menit berlalu, Evert pun tiba di indekosnya Elsa dengan sebungkus bakso serta martabak spesial khas bangka.
“Lho… Kaka dai, sa tra pesan martabak baru…!!” Celetuk Elsa saat menyadari ada kantong plastik lain yang disodorkan Evert.
“Trapapa, tadi pas pulang dari warung bakso sa singgah beli martabak. Sa pikir mbak juga biasa minta deliv makanan ini tengah malam jadi sa beli dua bungkus, satu buat saya satu buat mbak..”
“Oh jadi ini di luar pesanan to?” Ucap Elsa dengan tawa yang garing.
Evert mengangguk dengan senyuman tersungging di bibir tipisnya.
“Thanks e, Kaka!! Ecok lagi. Hahaha…,” ujar Elsa dengan tawa yang kali ini tak ditahan lagi.
Pria yang diajaknya bercanda hanya manggut-manggut. Setelah memberikan uang, ojek pribadi Elsa itu pun segera berlalu dari hadapannya.
Sebenarnya gadis itu bisa saja keluar sendiri. Namun sebulan ini Ia sudah terbiasa dengan ojek online yang kapan saja ia butuhkan selalu siaga.
Ditambah dengan Evert yang ramah dan pendiam terkesan penurut juga saat disuruh ini dan itu, membuat Elsa nyaman saat bersama pria itu.
Tak hanya itu, Evert juga lelaki yang jujur pernah beberapa kali Elsa lupa mencabut kunci kamar kosnya saat dinas malam, Ia terpaksa menelepon Evert takut kalau-kalau kamarnya dibobol.
Awalnya gadis itu ragu. Namun ternyata ojek pribadinya itu dapat dipercaya. Pertemuan yang intens itu perlahan menumbuhkan rasa simpati di hati Elsa.
***
“Kaka dai, sa bisa deliv lagi kah?” Pinta Elsa pada Evert lewat telepon, Sabtu malam sepulangnya dari tempat kerja.
“Oke, mbak. Pesan apa?”
“Ayam KFC tapi tra usah pake nasi, soalnya nasi ada banyak ini jadi..”
“Hmm.. kalo lama trapapa? Soalnya sa ada ikut teman ke Jalan Baru nih, di de pu mamade dorang, baru nanti antre juga di KFC…” jelas Evert.
Elsa tertegun sebentar.
“Iya sudah, Kaka. Trapapa. Nanti sa tunggu!” Ujar Elsa setelah itu mematikan ponsel dengan raut wajah dungu.
Setengah jam kemudian yang ditunggu akhirnya nongol. Dengan badan menggigil serta napas setengah memburu, Evert menyodorkan kantong plastik berisi ayam pesanan Elsa. Tampaknya Ia ngebut dengan motor bututnya itu.
“Hosa sampe…”
“Adoh jang bilang sudah. Sa balap dari Jalan Baru itu sampe belok ke KFC begini hampir sa tabrak pace satu. Sa pikir mbak nanti tunggu lama itu yang…,” ucap Evert dengan tersengal tanpa sempat melanjutkan ucapannya.
Elsa mengambil kantong plastik dari tangan lelaki itu.
“Memangnya ada bikin apa di Jalan Baru situ, acara kah?” Tanya Elsa penuh selidik.
Evert tertawa renyah kemudian berkisah.
“Ah…itu, teman de ajak ke de punya mama ade, katanya mo kas kenal sa dengan de pu sodara perempuan satu..!” Jelas Evert dengan polosnya.
Elsa diam mematung. Wajahnya merah. Untung saja lampu remang di depan indekosnya itu menyamarkan wajahnya.
“Oh, iya sudah. Maaf e, sa su ganggu kaka pu acara malam minggu lagi…” ucap Elsa dengan nada suara bergetar.
“Ah, trapapa mbak. Kalo begitu sa lanjut ke sana lagi. Tadi jalan sama-sama teman lagi jadi takut de tunggu lama…”
“Hmm…hati-hati!” Bisik Elsa sembari menyerahkan selembar uang lima puluh ribu.
“Sa trada uang kembalian…”
“Biar sudah, trapapa…” jawab Elsa mulai ketus.
Evert segera mengantongi dan segera berlalu meninggalkan gadis itu.
“Bilang saja takut ade peyempuan tunggu lama.. Huuhh dasar!” Gerutu Elsa dengan bahasa plesetan setelah Evert terlihat jauh.
Gadis itu masuk ke dalam kamarnya. Dengan perasaan gusar. Tiba-tiba selera makannya hilang Ia pun merebahkan diri di kasur sembari mengutak-atik androidnya.
“Ih…kenapa sa yang ganas?? Bukan sa punya urusan juga…” gumamnya kemudian.
Terdengar suara gaduh dari kamar sebelah. Tetangganya rupanya sudah pulang.
Malam itu, di dalam kamar kos berukuran 4×6 meter itu Elsa mondar-mandir tak tentu arah. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Elsa bangkit dari tempat duduknya, menyambar sebuah jaket tebal kemudian menekan tuts HP-nya lagi.
Benar saja, Ia menghubungi Evert, ojek pribadinya itu.
“Kaka dai, bisa ke sini sebentar kah?”
“Bisa mbak bagaimana?”
“Sa mo jalan cari coca cola dingin nih. Bisa?”
“Bisa. Atau sa ke situ sekalian bawakan cocacola dingin biar mbak tra perlu keluar lagi. Su malam jadi…” Evert menawarkan.
“Sa mau kaka dai ke sini, nanti kitong yang jalan sama-sama cari barang itu…” ujarnya setengah membentak.
“Oh…iya sudah. Standby saja sa jalan ke situ…” ujar Evert kemudian segera bergegas.
Sesampainya di tempat itu, belum lagi Evert mengurangi laju motornya, Elsa sudah menyongsong.
“Lama skali…” ucap gadis itu dan langsung duduk di atas sadel motor.
Evert tertegun sesaat kemudian menyodorkan helm yang satunya lagi pada Elsa.
“Baru mbak mo diantar kemana nih?” Tanya Evert mulai menstater motor bututnya.
“Terserah kaka dai… putar kota Timika sampe capek juga trapapa…” jawab Elsa seenaknya.
“Iyo.. untuk mbak ko trapapa, tapi sa ini yang cape bawa motor…” ucap Evert setengah berkelakar.
“Ya sudah kalo begitu, kaka dai antar sa pulang lagi sudah. Mungkin selama ini sa su terlalu bikin repot kaka…,” tukas Elsa mengambek.
“Mbak Elsa, ko salah paham sama saya. Tadi yang telepon minta diantarkan ko to. Jadi, sa tanya kita mo kemana, masalahnya ini juga su malam…” Evert menjelaskan.
“Terserah kaka dai mo kemana, mo nongkrong dimana kek. Pokoknya kita jalan…” ujar Elsa mulai manja.
Evert tersenyum dari atas motornya, membayangkan wajah gadis manis yang saat ini duduk di balik punggungnya.
“Iyo sudah…” gumamnya kemudian tancap gas.
Mereka pun mulai menjejaki setiap sudut kota malam itu. Evert sengaja berhenti di salah satu kios kecil, membeli sebungkus rokok dan dua kaleng coca cola dingin.
“Kitong nongkrong di sini saja e…” ujar Evert kemudian memarkir motornya di emperan sebuah ruko. Standar dua sengaja Ia naikkan biar gadis itu bisa duduk di sal motornya yang terparkir.
“Kaka dai tadi pulang jam berapa?” Tanya Elsa kemudian setelah meneguk sekali coca cola dingin di tangannya.
“Tra lama, habis sa antar ayam itu, kembali ke sana duduk dua puluh menit trus kita pulang lagi…” jawab Evert santai.
Elsa nyengir seperti tidak percaya.
“Kenapa kah?”
“Trada sa tanya saja, marah?”
“Tidak, cuma heran saja…”
“Heran…maksudnya?” Elsa seperti mulai ketus.
Evert mengalihkan pembicaraan.
“Kaka jahat skali…”, lanjut Elsa gelagapan seperti hendak menangis.
“Ji kenapa kah?”, tanya Evert dengan sedikit gelak tawa.
“Sa serius tanya baru tertawa lagi…”
“Sa juga serius jawabnya. Ini…” bujuk Evert sambil menyodorkan kaleng cocacola yang belum dibuka.
Ia memperhatikan raut wajah gadis itu. Ada sebuah rasa yang tersimpan di sana, dan Evert merasakan hal yang sama. Ia jatuh cinta pada bidan cantik itu.
“Ah… seandainya sa berani ungkapkan…” batin Evert.
“Mbak Elsa, percaya sa kah tidak?” Lanjutnya bertanya.
Elsa mengerling sebentar.
“Percaya… kalo tidak pasti sa tra berani duduk deng kaka di sini!” Jawab gadis itu seadanya.
Evert mengangguk kemudian melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya.
“Sa antar mbak pulang e… su jauh malam nih. Nanti orang liat kan tra enak lagi. Besok ibadah pagi to…” ujar Evert kemudian.
“Liat itu pengacau su muncul satu-satu…” lanjutnya lagi sembari mencibir ke arah sekelompok ABG yang sedang balapan liar di jalan yang mulai sunyi.
“Iyo sudah, tapi tunggu… ada satu lagi yang sa mo bilang!” Kata Elsa kemudian berhenti sebentar.
Evert menoleh untuk memastikan.
“Sa malas kalo kaka tinggal panggil sa ‘mbak‘ trus. Kitong su dua bulan ini akrab tapi panggilan itu bikin sa rasa asing…”, lanjut Elsa.
“Jadi, sa harus panggil apa?”
“Panggil sa pu nama saja to…”
“Iyo sudah. Mari, kitong jalan!” Evert mengiyakan kemudian segera tancap gas dari tempat itu.
Dalam perjalanan Evert benar-benar tidak konsentrasi.
Seribu pertanyaan mengganjal di benaknya. Antara harus jujur pada Elsa tentang perasaannya atau memendam sendiri dan menjauhi gadis itu.
Evert menyadari keberadaannya mengingat status sosial dan adat mereka yang berbeda. Ia hanyalah seorang anak kampung yang beruntung bisa menyandang gelar sarjana. Sementara Elsa, ditilik dari penampilan jelas dia bukan berasal dari kalangan biasa. Hal itulah yang membuat batin Evert bergolak.
Namun, rasa itu tak bisa ia tahan. Rasa simpati dari awal perjumpaan hingga akhirnya Ia benar-benar tau bahwa inilah cinta yang sebenarnya.
Gayung sudah bersambut, gadis itu sebenarnya tertarik pada Evert. Namun ia masih sangat labil untuk memahami apakah ini cinta atau nafsu belaka.
***
Minggu siang itu sepulang ibadah, Elsa sengaja menelepon Evert untuk mengingatkan jadwal antar jemputnya ke rumah sakit besok malam. Namun nomor yang dituju di luar jangkauan.
Elsa mencoba beberapa kali tapi nihil. Bahkan hingga menjelang malam pun nomor telepon Evert tak kunjung aktif.
Elsa yang kuatir akhirnya mendatangi rumah indekos Evert yang kebetulan beberapa kali sering Evert sebutkan nama tempat dan alamatnya.
Gadis itu agak bingung. Namun dengan sedikit kenekadan akhirnya Ia tiba juga di kontrakan Evert.
Sempit dan agak kecil. Itulah kesan pertama yang Ia dapat, tapi Ia mengerti dengan gaji yang tidak seberapa itu Evert memang harus berhemat.
Langit sudah semakin gelap, sudah satu jam lebih Elsa berdiri menanti kepulangan ojek pribadinya itu. Ia melangkah hendak meninggalkan tempat itu sebelum akhirnya bunyi knalpot motor yang Ia kenali itu memasuki halaman kontrakan. Elsa tersenyum lega, Evert baik-baik saja.
Lelaki itu juga nampaknya kaget dengan kedatangan Elsa yang tiba-tiba. Tanpa dipersilakan pun gadis itu masuk ke kamar kos kecil itu setelah pintunya dibuka.
“Ko bikin apa di sini?”
“Sa telepon dari tadi tapi kaka pu nomor tra aktif. Sa kira kaka kenapa kah, makanya sa ke sini…”
“Sa baik-baik saja. Ayo sudah! Sa antar ko pulang..sudah malam!” Ujar Evert tegas dengan nada suara sedikit bergetar.
Elsa tertegun. Matanya merah seperti akan menangis. Ia pun berjalan gontai mendekati pintu, tapi kemudian berbalik dan mengecup pipi lelaki itu dan nyaris pergi, sebelum akhirnya Ia menyadari bahwa sepasang tangan kekar itu sudah melingkar di pinggulnya yang ramping.
Elsa terdiam. Ia tau ini bukan permainan. Evert mendekapnya dalam pelukan hangat dan tulus yang sama sekali tak dibuat-buat.
Ia terbuai dengan sentuhan manis lelaki itu. Ia benar-benar lupa dengan apapun. Yang Ia tahu setiap detik waktu yang mereka lewati adalah yang Ia tunggu-tunggu selama ini, hingga sepertiga malam menjelang tak dirasakan oleh karena manisnya cinta yang mereka teguk bersama bak musafir penuh dahaga di tengah padang pasir.
Hingga semua itu berakhir, Evert seperti masih terbius dengan apa yang baru saja mereka lakukan. Sementara Elsa hanya diam. Sikapnya tiba-tiba berbeda. Seperti ada yang dipikirkannya.
Bagi Elsa malam itu adalah malam yang tak pernah Ia lupakan seumur hidupnya.
****
“Elsa, ko dimana? Sudah dua hari sa tunggu ko depan kos. Pagi juga sore, tapi ko tra muncul-muncul. Sebenarnya ada apa kah?”
Demikian bunyi SMS yang Evert kirimkan pada Elsa.
Sudah dua hari gadis itu tak menampakkan batang hidungnya. Ini menimbulkan tanda tanya di hati Evert.
Semenjak kejadian malam itu sikap Elsa berubah. Ia seperti sedang membuat jarak. Evert yang penasaran akhirnya mendatangi gadis itu di rumah sakit tempatnya bekerja.
“Buat apa kaka datang cari sa?” Tanya Elsa di selasar ruangan rumah sakit yang sedang sunyi.
“Sa minta maaf kalo sa su buat salah. Sa kuatir skali karna beberapa hari ini ko trada kabar..” jelas Evert.
“Ko baik-baik saja to?” Lanjut Evert memastikan.
“Sa baik-baik saja. Kaka tra usah kuatir…” jawab Elsa singkat.
“Kenapa tra telepon sa lagi untuk antar-jemput. Sa tadi di kantor, kerja tapi pikiran skali…”
“Sa jalan deng teman…”
“Teman siapa, laki-laki kah perempuan?”
“Tolong… kaka tolong jang ganggu sa lagi. Jang bahas tentang apapun, termasuk kejadian malam itu…” ucap Elsa dengan suara serak tapi tegas.
“Kenapa? Ada yang salah kah? Ko sudah masuk di sa punya hidup trus skarang bilang sa harus lupa semua itu…?” Ucapan Evert terdengar pelan namun penuh emosi.
Gadis itu diam. Bibirnya bergerak. Terlihat tangannya Ia kepalkan.
“Mulai saat ini… jang temui sa lagi. Kas lupa semua ini. Anggap kitong dua tra baku kenal!” Lanjutnya kemudian.
Evert terdiam. Sampai akhirnya Elsa masuk di ruangan dinas malam. Meninggalkan Evert sendiri dalam kebingungan.
***
Dengan gontai Evert berjalan menuju parkiran motor. Perasaannya berkecamuk. Ia bingung dengan sikap Elsa. Apa maksud dari semua ini? Baru kali ini Ia bertemu dengan gadis seperti Elsa.
Banyak yang Ia temui tapi kali ini sangat berbeda. Ingin Evert menemuinya untuk meminta penjelasan sekali lagi, tapi rasa cinta yang tulus itu membuatnya kembali mengurungkan niat itu. Kalau memang Elsa menginginkan hal itu terjadi, maka Ia sangat menghargai keputusan Elsa.
Sementara di tempat berbeda, simfoni rindu yang Elsa rasakan begitu sendu. Ia seperti tak percaya diri lagi untuk bertatap muka dengan pemuda itu. Rasa sesal, bingung, cemas, juga minder berbaur jadi satu.
Menit berganti jam, hari berganti hari, pekan terlewati satu per satu, Ia tak lagi bertemu ojek pribadinya itu, bahkan kabar tentangnya pun tak ada lagi. Gejolak rindu itu Ia tepis dengan kesibukannya di rumah sakit.
“De ada bikin apa, sama siapa, dimana? Ah, semua itu bukan urusanku. De bukan sa pu siapa-siapa…” begitu pikir Elsa.
Segera semua normal kembali hingga pada sore itu sebelum Ia bersiap dinas sore, tiba-tiba kepalanya pusing. Ia pun menelpon temannya untuk absen sementara, karena kesehatannya yang tiba-tiba terganggu.
Bahkan sampai tiga hari berturut-turut Ia masih belum pulih. Sesuatu yang aneh pun mulai Ia rasakan. Namun dia tak mau mendiagnosa sendiri sampai akhirnya semua terjawab setelah Ia konsultasi dengan dokter.
Apa yang di khawatirkannya terjadi. Ia hamil. Usia kehamilannya sudah memasuki minggu keenam.
Elsa bingung dan hampir berputus asa. Entah bagaimana Ia harus menjelaskan pada orang tuanya, karena Ia tak menginginkan bayi itu. Juga ayah dari bayi itu, meskipun pemuda itu mau bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Rasanya tak mampu lagi Ia mengkondisikan suasana hatinya.
“Ko dimana? Bisa ke sa kos kah..?” Tanya Elsa pada Nela sahabatnya via telepon.
“Di rumah nih baru saja selesai nyuci. Iyo sudah! Sedikit lagi sa ke situ. Ko masih sakit?” Nela balik bertanya.
“Su kurang. Cepat e sa tunggu..” ujar Elsa kemudian menutup telepon.
Tidak berapa lama, karibnya itu datang.
“Ca., ko kenapa? Suara di telepon macam penting skali jadi sa gerakan cepat,” kata Nela penuh selidik, sembari menatap sahabatnya yang terbaring lemah dengan wajah pucat dan kusut.
“Nel… sa hamil…” ujar Elsa menekan nada suaranya.
“Haa..?”
Nela terkejut dengan mulut menganga.
“Sa tau, pasti ko kaget dan tra percaya. Tapi sa tra tipu. Usia janin su lima minggu, menjelang enam.” Elsa sekali lagi menjelaskan.
“Tunggu!! Baru siapa?”
Tanya Nela masih dengan nada dan ekspresi wajah syok, karena Ia tahu betul siapa temannya itu. Tak pernah sekalipun Ia kelihatan bermesraan dengan pria atau dekat, bahkan untuk sekadar jadi gebetan pun rasanya tidak ada. Hubungan asmara Elsa benar-benar tak pernah tersentil rekan sejawatnya. Jadi, wajarlah Nela syok bukan main.
“Evert… yang sa biasa panggil kaka dai itu..” jelas Elsa.
“Kaka dai.? Maksudnya yang biasa antar-jemput ko itu?” Nela memastikan.
Elsa mengangguk.
“Tuhan ALLAH e.. Elsa, baru…?? Ji, ko stop tipu sudah!!!” Hardik Nela dengan aksen Papua yang kental.
Ia tampaknya masih belum percaya.
“Betul, Nel. Sa tra tipu. Sa percaya ko makanya sa cerita ke ko. Sa hamil de pu anak…”
“Baru ko su kas tau dia?”
“Belum. Sa tra akan kas tau. Sa tra mau nikah deng dia walaupun de mo tanggung jawab…” ucap Elsa dengan entengnya.
“Ji, itu su bagimana lagi, baru anak itu?”
“Sa tidak tau, Nel. Sa pikir sa mo gugurkan saja…”
“Elsa, sadar!!! Ko berdosa kalo ko sampe bikin barang tra baik itu. Ko punya pikiran hanya lagi kacau saja makanya ko begitu. Ko akan baik-baik saja. Semua ini ada solusinya!” Nela mulai menasihati temannya yang sedang kalut itu.
“Ko berdoa minta Tuhan tuntun supaya ko tenang, tra gegabah ambil keputusan, Ca!!” lanjut Nela menasihati.
Elsa terlihat benar-benar bingung dengan apa yang sedang dan akan dia alami. Ia memutuskan untuk break sesaat dari masalah ini. Kalaupun Ia harus menanggungnya sendiri apa boleh buat. Ia sendiri harus tetap fokus pada kesehatannya karena ada tanggung jawab berupa pekerjaan yang menantinya.
***
“Ca… bidan Uly bilang ko gantikan de di bangsal malam ini. De ada urusan mendadak jadi,” ujar Nela sore itu, di sela kesibukan mereka.
“Iya sudah…” ujar Elsa mengiyakan, padahal badannya belum cukup fit.
“Elsa ke ruang bersalin sebentar, pasien yang baru masuk sudah pembukaan delapan!!!” Teriak bidan seniornya dari balik pintu ruangan.
Elsa segera berlari ke arah ruang bersalin. Benar saja saat memasuki ruangan, pasien tersebut sudah siap mendorong anaknya keluar dan akhirnya malaikat kecil itu lahir tepat di tangan Elsa.
Gadis itu memperhatikan dengan takjub. Rasanya baru kali ini, setelah sekian lama Ia mendampingi para ibu yang melahirkan normal, baru kali ini Ia merasa terenyuh.
Elsa memperhatikan bayi mungil itu dengan seksama. Makhluk kecil itu menangis. Warnanya keungu-unguan. Bola mata lebar. Sebuah kehidupan baru akan Ia mulai hari ini. Bayi itu segera Ia berikan pada perawat lain untuk dibersihkan.
“Suster, sa punya anak sehat kah? Laki-laki kah perempuan?” Tanya sang ibu yang masih terbaring lemah, tapi dari pertanyaan itu nampak kebahagiaan yang tersirat. Elsa terkesiap.
“Oh, .bayinya sehat ibu. Lucu lagi. Ibu pu anak perempuan…” jawab Elsa terbata karena masih kagum dengan proses persalinan tadi.
“Ibu mo kasih nama sapa?” Tanya Elsa dengan tangan yang tetap sibuk membereskan alat medis di depannya.
“Sa belum siap nama. Belum bicara deng pace lagi jadi…”
“Oh, pace dimana memangnya?”
“De belum turun. Lagi kerja proyek di trans-Nabire. Besok baru datang!” Jelas wanita itu.
Elsa tercengang. Wanita itu nampak begitu kuat menghadapi segala risiko tanpa ada suami mendampinginya.
“Kalo boleh sa mo kasih nama anak itu dengan suster pu nama. Siapa tau nanti besar de sukses macam suster…” ujar wanita itu lagi.
Kali ini Elsa tak dapat membendung air matanya. Tangisnya pecah. Wanita itu terus tersenyum dan mengira Elsa hanya sedang terharu. Padahal lebih dari itu. Percakapan singkat itu sudah mengubah hatinya, bahkan hidupnya.
“Boleh… ibu boleh. Kasih nama de dengan sa pu nama. Sa nama Elsa. Semoga de jadi anak berguna nantinya,” ucap Elsa masih terisak.
Mereka pun mengakhiri percakapan. Kemudian Elsa kembali ke ruangannya. Ia segera menyambar HP kecil di laci meja kerjanya.
“Sebentar jam 11 jemput saya e kaka.. sa tunggu!” Begitu bunyi SMS yang ternyata Ia kirimkan pada Evert.
Tak butuh waktu lama Evert segera meluncur. Bahkan sebelum jam 11 pun ia sudah tiba.
“Sa minta maaf. Beberapa waktu lalu ini sa tidak kabari kaka. Sa sengaja jauhi kaka. Sa kalut, frustasi, pikiran kacau sejak kejadian malam itu…” ujar Elsa di parkiran motor, sesaat setelah Ia dan Evert bertatap muka.
Lelaki itu manggut-manggut. Memahami setiap tutur yang keluar dari mulut gadis itu.
“Trus, kenapa ko suruh sa ke sini? Sa hanya ingin dengar alasan yang tepat. Dua bulan ko menghilang, tanpa kabar buat sa bingung,” ucap Evert.
“Minta maaf kaka dai… sa suruh kaka ke sini, karena sa mo kasih tau sesuatu,” jawab Elsa sembari menarik napas panjang.
“Sa hamil kaka dai. Sa hamil kaka pu anak. Janin sudah lima minggu,” lanjutnya kemudian dengan sepasang bola mata berkaca-kaca.
Evert terbelalak. Belum percaya dengan apa yang baru saja Ia dengar.
“Sa awalnya tra mau kasih tau kaka, tapi kejadian di dalam tadi benar-benar buat sa tersentuh. Sa sadari apa yang kitong dua lakukan malam itu semua atas dasar cinta, bukan karena nafsu..” lanjut Elsa lagi.
Evert tak mampu menahan diri. Ia maju beberapa langkah, kemudian menarik tubuh gadis itu dalam pelukannya. Mencurahkan segala rasa yang belum sempat Ia ungkapkan lewat bahasa tubuh.
“Sa minta maaf e sayang! Seharusnya sa lebih jeli, bukan jauhi ko. Sa minta maaf!” Ucap Evert terbata.
Sedih dan bahagia bercampur jadi satu.
“Kaka tra salah. Sa yang salah. Untungnya sa cepat menyadari. Sa hampir saja gugurkan anak ini…” ucap Elsa terdengar survive.
Evert mendekapnya semakin erat.
“Terima kasih sayang. Terimakasih ko tra lakukan hal bodoh itu!” Ucap Evert hampir tak terdengar karena mulutnya yang terbungkam bahu Elsa.
“Sepulang ini ko langsung di sa punya kos e! Besok sa telepon mama dong di Jayapura. Baru setelah itu sa bicara deng ko mama sama bapa di Jawa,” kata Evert.
Elsa mengangguk.
“Ko tra takut to? Kitong dua jalani ini sama-sama. Sa tra akan buat ko sedih, sa tra akan kas tinggal ko. Sa janji…” ucap Evert lagi.
“Janji…”
“Janji, sayang…”
“Iyo sudah. Kalo begitu kitong pulang sudah sa rasa tra enak badan skali…”
“Iyo sudah kalo begitu. Sayang mo makan apa?”
“Sa tra mau makan, sa mo tidur saja…” ucap Elsa.
“Oke siap,.Nyonya!!!” timpal Evert.
Elsa tertawa. Betapa bahagianya Ia malam ini karena semua masalahnya terselesaikan. Mereka berdua segera beranjak dari tempat itu.
***
Menjelang empat bulan kehamilan Elsa, mereka melangsungkan pernikahan yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Untunglah keluarga Elsa cukup legowo dan dapat menerima segala sesuatu dengan kepala dingin, sehingga anak-anak mereka bisa bersatu tanpa ada perselisihan karena beda paham.
Maklum keluarga Elsa sudah lama tinggal di Papua dan hal itu lumrah terjadi, keluarganya pun dapat memakluminya.
Terlepas dari semua itu, Elsa dan Evert akhirnya bersatu. Meski awalnya gelisah menggelayuti hati Elsa, cinta tulus menyadarkannya bahwa ada hal-hal yang tak harus diartikan dengan kata, yaitu kepekaan..[]
1 Komentar