Oleh: Dewi Raubaba
Seperti sedia kala Dalin meletakkan kembali mikrofon di studio radio kampusnya. Sesuai kebijakan otoritas kampus, Ia hanya boleh menyiar pada Jumat siang setiap pekan.
Selain menambah penghasilan, ini juga demi mengusir kebosanan setelah setahun ia berada di Negeri Matahari Terbit.
Hari ini ia pulang lebih cepat dari biasanya. Sesampai di apartemen, ia pun segera berganti pakaian dan berburu taksi menuju airport. Sore ini suami dan kedua anaknya tiba di bandara.
“Sudah lama?” Ucap Ader setelah pesawat landing.
“Belum lama, barusan saja. Hai Mei…!!!” Ucapnya pada si bungsu yang tahun ini genap berusia 4 tahun.
Waktu dulu, ketika Dalin memutuskan untuk melanjutkan kembali studi S3 di Universitas Hokkaido, Ader suaminya tidak banyak memberi komentar, karena ia tahu Dalin saat itu sedang mengalami masa sulit, padahal putri kecilnya baru berumur 2 tahun. Namun ia luluh.
“Nanti juga dia danna.. ” ucap Ader menenangkan hati Dalin, karena Meridian yang masih malu menyapa ibunya.
Langkah kaki mereka seperti kuda yang tengah menyusuri lorong apartemen. Saat itu memasuki bulan Juli, musim panas menyambut mereka.
“Hari ini ko jaga Meridian, sa mau urus surat-surat penting buat Meilisa. Di sini beda dengan di Indo, semua sistem tercepat digunakan. Manusia harus disiplin waktu,” ucap Dalin, seperti tengah menjelaskan tanpa melihat ke arah suaminya.
Ader hanya mengangguk, sebab belum paham seluk-beluk kota. Juga peraturan hukumnya. Ia pun berlalu dengan cepat setelah mengisi bento dan beberapa keperluan di mapnya.
Ader mengantarkan istri dan anak sulungnya dengan tatapan dungu. Ia kemudian melengos seperti masygul.
Tak banyak yang biasa Ia lakukan. Bukan karena Ia baru di sini. Namun sebelumnya Ader juga selalu menjadi bulan-bulanan mertuanya, karena setelah Ia menikah dengan Dalin, ia dianggap tak becus memenuhi nafkah lahir istri dan anaknya.
Walau biduk rumah tangga mereka goyah, baik Ader, maupun Dalin tak pernah saling meninggalkan. Hanya saja, sifat Dalin jadi sedikit acuh.
Mungkin karena hasutan kedua orang tuanya. Bahkan ketika disuruh memilih antara bekerja atau merawat istri, Ader memilih keluar dari pekerjaan yang selama ini diidamkannya demi mengurus Dalin yang tengah bedrest selama masa kehamilan. Namun hal itu dipandang biasa saja oleh mertuanya.
“Sa capek, sa ingin istirahat…!!!” Ucapan Dalin singkat dan menyakitkan saat makan malam mereka akhiri.
“Sampe saat ini sa tidak merasakan peran sebagai seorang suami sebenarnya. Wiiih, sa ini laki-laki jadi tolong hargai saya!!”
“Sudahlah!! Tidak usah mendramatisir keadaan. Ko dan anak-anak ada di sini itu lebih baik toh?” Dalin menekan nada bicaranya.
“Sa lebih baik pulang ke kampung, menjala ikan atau berkebun, daripada ko undang ke tempat ini lantas abaikan sa…!!” Ader mulai berapi-api.
“Ko dengar e, mama mau kitong dua pisah. Sudah dari lama ko tahu hal ini. Kenapa sa masih tetap bertahan? Itu karena sa sayang ko,” jelas Dalin.
“Sa lanjutkan sekolah di sini juga bukan tanpa alasan, supaya sa tidak dengar mama punya omongan yang setiap saat buat sa jenuh,” kata Dalin melanjutkan, kemudian segera berbaring di kasur yang sedari tadi digelarnya.
Ader pun merebahkan badannya di sisi istrinya itu. Sambil membelakangi, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Selama satu Minggu, laki-laki itu sibuk berkenalan dengan pusat kota Hokkaido. Beruntung Ia tak kesasar. Dari mengantar anak ke sekolah hingga belanja keperluan dapur menggantikan istrinya yang sibuk selama sepekan itu. Sampai pada akhirnya, Ia mendapat job sebagai pengantar koran door to door.
Pagi-pagi benar Ia sudah bangun dan mulai melakukan pekerjaannya, pukul 6 pagi waktu setempat. Ia kembali ke apartemen, tepat setelah Dalin dan kedua anaknya bangun.
Ternyata tinggal di negara ini tidaklah mudah. Semua orang bergerak sesuai waktu dan tupoksi. Tak ada yang santai, tak ada yang lengah. Begitu pikir Ader.
Lama-kelamaan ia pun terbiasa, bahkan mulai jatuh cinta dengan pekerjaannya.
“Ko bahagia kah dengan keadaan yang sekarang?” Tanya Dalin malam itu saat mereka hendak istirahat.
“Sangat bahagia, walaupun gaji kecil setidaknya bisa untuk kita berempat hidup. Sa tidak sangka, sudah satu bulan lebih sa jadi pengantar surat kabar. Coba kalo di tempatnya kita, orang bisa bicara apa?” Ujar Ader seperti mengejek.
“Sa minta maaf…”
“Untuk apa? Yang penting kamu tiga bahagia, sa juga sangat bahagia,” balas Ader santai.
Baru malam ini mereka tidur berdekapan, meski terlelap dalam lelah. Hal ini juga dirasakan oleh pasangan lainnya di Jepang. Rutinitas membuat mereka lupa pada nafkah batin pasangan.
Musim panas akan segera berganti dengan musim gugur. Rasanya seperti baru kemarin mereka menikmati festival musim panas.
Keluarga kecil itu segera menyusun perlengkapan dan kebutuhan apa saja yang harus disiapkan.
Di dalam supermarket beberapa orang nampak menyapa Ader. Rupanya mereka mulai mengenal pria ini sebagai tukang antar surat kabar.
Notifikasi email berkali-kali terdengar dari laptop Dalin. Ia menoleh sebentar dan berpikir, tak ada note di hari Jumat ini, apalagi sudah sore. Kalau itu urusan kampus pasti sudah diinformasikan duluan lewat grup di media sosial. Ader keluar sembari menenteng handuk.
“Sorry, sa pake laptopmu buka email untuk kirim lamaran,” ujarnya santai.
Dalin mengangkat alisnya.
“Hei..!! Coba ko lihat, sa diterima kerja di perusahaan penyedia barang,” Ader nampak sangat semangat.
“Oh ya? Coba sa lihat…!!”
“Ini… hari Senin sa diminta datang untuk interview,” ucap Ader berbinar.
Dalin menatap layar laptop. Perusahaan penyedia barang terbesar di Hokkaido.
Ia bahagia namun juga sedikit risau. Pasalnya jika Ader bekerja, otomatis tak ada yang menjaga anak-anak.
Sebenarnya itu bukan persoalan besar, karena anak-anak bisa saja dititipkan di rumah penitipan anak.
Namun Dalin merasa sedikit lain, sebab Ader tak pernah bekerja full time. Ia juga tak mungkin melarang suaminya itu bekerja.
Dari roman Ader, ia menangkap semangat membara. Euforia Ader seperti tak tertahan lagi.
“Ko lihat, di Papua kita dibatasi. Tapi di negara orang kita dikasih kesempatan menguji kompetensi,” ucap Ader.
“Ko yakin?” Tanya Dalin berkali-kali.
“Yakin lah… Selain bayarannya besar, ini juga kesempatan besar untuk pengalaman besar…”
“Iya sudah kalo begitu…,” Dalin menghempaskan diri di samping suaminya itu.
Ader mengusap kepalanya sebentar, kemudian melanjutkan pekerjaannya.
***
Senin pagi, pukul 8, waktu Hokkaido. Segera setelah lepas waktu mengantar koran, ia bergegas ke kantor barunya untuk di-interview. Dilihatnya Dalin sudah mengisi bento miliknya sebelum berangkat ke kampus.
Meilisa sudah berangkat sekolah dan Meridian pun dititipkan di tempat penitipan anak. Selama perjalanan ia agak canggung, sebab ini baru baginya. Hal ini sangat terlihat asing tentunya.
Berada dalam satu kereta bersama orang-orang dari ras Mongoloid di Jepang dan duduk sendiri di deretan bangku kereta cepat, adalah hal yang akan ia ceritakan nanti pada Meilisa dan Meridian, kelak saat mereka kembali ke Papua.
“Bagaimana tadi…?” Tanya Dalin malam itu setelah selesai makan malam.
“Puji Tuhan!! Besok langsung kerja.”
“Puji Tuhan…!!!”
“Tadi selesai interview langsung umumkan, sa dapat shift 8 jam. Ko tau tadi di kereta sa mengantuk sekali, padahal banyak yang tidur, tapi sa tra bisa!!!” keluh Ader pada istrinya.
“Tidur saja. Itu namanya inemuri. Di sini hal biasa tiduran di tempat umum begitu,” Dalin menjelaskan.
“Besok jam 5 sa ambil kelas online juga. Panduan katakana hiragana.”
“Iyo, itu harus…,” ucap Dalin singkat.
Ia mengerti mulai saat ini suaminya akan jarang punya waktu bersama keluarga. Inilah hidup yang sebenarnya.
Ah, tiba-tiba saja rasa itu hinggap di hati Dalin. Kembali ke Papua dan hidup apa adanya, namun tak mudah lagi.
“Kitong belajar dasar-dasarnya dulu…,” Dalin menyodorkan panduan kanji, katakana dan hiragana miliknya.
“Thanks sayang…!!” Ader melayangkan senyumnya.
Begitulah Jepang. Pemerintahnya menerapkan sistem bahwa setiap pendatang yang bekerja harus menguasai bahasa Jepang, dari kalangan sosial manapun.
***
Setahun berlalu, Dalin dan kedua putrinya ikut festival musim panas. Bertiga tanpa Ader, suaminya.
Ader sendiri harus bepergian selama seminggu ke Tokyo untuk urusan kantor. Selama seminggu itu ia harus membagi waktu, antara kuliah dan mengurusi anak.
Malam itu saat Ia tengah asyik menyalin foto-foto musim panas ke flashdisk, Ader tiba di apato. Dalin seperti tak memedulikan suaminya itu. Kegusarannya mulai meradang.
Ia paham bahwa saat ini suaminya sudah menjadi orang penting di perusahaan itu. Apalagi saat ini setelah suaminya dipromosikan sebagai supervisor, tentu saja tak ada waktu untuk bercengkrama dengan keluarga.
“Baru tiba saja?” Tanya Dalin singkat.
“Sudah dari sore, tapi teman ajak minum di warung sake…,” jawab Ader tanpa beban.
Dalin menengoknya dengan tatapan heran.
“Ko sudah tahu saya sendirian di rumah; kuliah, urus anak, malah ko enak-enakan pergi mabuk!!!”
“Bukan mabuk, cuma kasih hangat badan sedikit. Tra usah begitulah…”
“Ko memang trada pengertian sama sekali.”
“Maksudnya bagaimana?” Tanya Ader sedikit gusar.
Terang saja ia emosi. Capek yang luar biasa dirasakan, kemudian disambut dengan segala bentuk cercaan oleh istrinya.
Dalin tak meneruskan, ia kemudian masuk dan menemani kedua putrinya tidur.
“Mulai pekan ini setiap Jumat sa bawa Meridian ke kantor. Biar ko punya acara siaran radio kampus tra terganggu. Sa juga ingat sekarang ini ko mulai siap ujian semester. Sa ingin ko bisa selesai dengan nilai baik,” ucap Ader sembari menepuk bahu istrinya dari belakang.
Memang saat ini mereka tak kekurangan finansial, tapi Dalin harus berusaha survive dengan peran gandanya sebagai istri, ibu dan mahasiswa.
Dulu saat bersama orang tuanya, Dalin tak pernah dipusingkan dengan masalah anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Setelah musim dingin mulai berakhir, Dalin mulai sibuk mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan dan persiapan wisudanya. Tahun ini pun jadi tahun terakhirnya di Jepang.
Siang itu, saat tengah sibuk di kampus, ia ditelepon pihak penitipan anak. Mereka menyampaikan bahwa Meridian harus dibawa ke rumah sakit karena alergi. Ia pun segera bergegas ke sana.
Setibanya di sana, Ader sedang mendampingi putrinya yang tengah terbaring lemah. Berdiri di sampingnya wanita berwajah tirus ala Asia timur. Dalin bisa menebak itu rekan kerja Ader.
Namun apa yang ia lakukan di sini? Mengapa ia harus ada di sini jika hanya berstatus teman kerja saja? Sejak kapan mereka membangun relasi sedekat ini? Tiba-tiba rasa cemburu hinggap di hati Dalin.
Menyadari kedatangannya, wanita muda itu segera membungkukkan badan pertanda hormat. Dalin pun melakukan hal yang sama.
“Kenapa tiba-tiba begini?” Ia melontarkan pertanyaan yang tak etis.
Seharusnya dialah yang paling paham kondisi putrinya itu.
“Di rumah penitipan itu, dorang kasih bento yang ada jamur kancing. Meridian alergi,” jelas Ader, sembari terus memegangi tangan gadis kecilnya itu.
Nampak wajah Meridian kemerahan karena alergi. Ia menyesal tadi pagi lupa menyiapkan bento dari apato untuk Meridian. Dan lebih parah lagi ia baru tahu bahwa anaknya itu memiliki riwayat penyakit alergi jamur kancing. Maklum, selama ini Meridian hidup bersama orang tua dan suaminya.
“Oh iya, kenalkan ini Cha eun hye (En ye Cha) teman kantor,” kata Ader memperkenalkan temannya itu kepada Dalin.
Dalin tersenyum menatap perempuan itu walau terpaksa.
“Tadi kita sama-sama dari kantor ke sini. Sudah mau pulang, tapi dapat telepon emergensi dari rumah sakit,” kata Ader sambil tersenyum, kemudian mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris.
Teman wanitanya itu segera pamitan untuk pulang. Mereka pun segera kembali ke apato.
Meilisa pasti sudah menunggu. Beruntung anak sulungnya itu sudah lumayan mandiri semenjak tinggal di Negari Sakura.
Pagi itu Dalin duduk menengok keluar jendela apato. Di luar nampak salju masih berterbangan meski bias jingga samar terlihat di langit.
Suasananya kontras dengan kondisi hatinya. Terbakar api cemburu. Namun ia tak mau menampakkan itu di depan suaminya.
“Ko tra kerja?” Tanya Dalin pada Ader, melihat suaminya masih menggunakan piyama katun.
“Sa minta cuti satu hari ini, sa mo jaga Meridian…”
“Trapapa, biar sa saja yang jaga. Ko harus kerja!!!” ucap Dalin sembari membuang pandang ke jendela.
“Ko pikir apa sebenarnya?” Tanya Ader lalu duduk di dekat istrinya itu.
“Sa pikir, sedikit lagi sa wisuda, tandanya sa harus balik ke Papua.”
“Memang harus begitu, lalu masalahnya dimana?”
“Baru ko?”
“Saya… sa kerja lah, kan sistem kontrak. Masih panjang lagi masanya,” ucap Ader tanpa beban.
Dalin berkaca-kaca.
“Kenapa?”
“Sa mau ko juga ikut pulang, tapi tra mungkin…,” kata Dalin lalu berurai air mata.
“Sa mau kitong tinggal di kampung, hidup apa adanya, yang penting tetap sama-sama,” lanjut Dalin.
“Tidak harus begitu, sayang. Ko tau sa ini juga punya harga diri. Hampir 8 tahun mama tra pernah anggap sa, karena tidak bisa menafkahi ko lahiriah. Jangan egois lah…!!!” ucap Ader memohon.
“Sa tahu itu, tapi sa tra mau kitong pisah jauh sekali begini…”
“Kan dulu juga setahun ko duluan ke sini. Apa ko lupa?” kata Ader memberi pengertian.
Namun wanita itu benar-benar mulai egois.
“Nona Cha itu, sudah lama kam berteman?” Tanya Dalin di sela isaknya.
Ader tertegun.
“Ahahahaaah….!!!” Ader tiba-tiba terbahak menyadari akan suatu hal.
“Jang bilang ko cemburu dengan dia,” ujar Ader memasang muka geli.
“Tra lucu e, sa tampar ko nanti!!!” Jawab Dalin dengan nada jengkel.
“Nona Cha itu orangnya baik, dia pekerja tetap di kantor. Ko tahu, suaminya juga satu perusahaan dengan kita, cuma beda departemen saja. Sa punya jabatan saat ini ganti adik iparnya yang sudah almarhum. Suaminya juga orang Melayu, makanya kita nyambung kalo ngobrol,” jelas Ader.
Dalin mulai bisa mengatur debaran jantungnya.
“Ko jangan kuatir!!! Ko kan tahu saya bagimana. Sa tra pernah tertarik dengan perempuan muka tirus. Sa lebih suka Melanesia,” kata Ader melanjutkan ucapannya, kali ini dengan candaan.
“Berarti kalo dia itu kitong pu ras, ko akan suka dia begitu?” Tanya Dalin emosi lagi.
“Tidaklah, sa cuma sayang koi,” ucap Ader sambil berusaha menenangkan hati istrinya itu.
“Dengar!!! Ini kan sudah 2 tahun lebih sa kerja, masih setahun lagi kontrak selesai. Begitu selesai sa langsung berhenti dan pulang ke Papua.”
“Iya sudah, janji?”
“Sa janji, yang penting ko sudah mengajar lagi, tinggal sa cari peluang yang bagus juga di kampung.”
***
Tiga bulan berlalu…
Di awal musim panas, Dalin mempersiapkan keberangkatannya bersama kedua putrinya, Meilisa dan Meridian. Sebelumnya Ader sudah mengurus segala keperluan waktu wisuda hingga kepindahan Meilisa dari sekolahnya.
Bertepatan dengan liburan musim panas itu, mereka akhirnya bertolak dari Hokkaido ke Bandara Narita.
Meridian nampak menangis lantaran akan berpisah dengan ayahnya itu. Dalin juga.
Namun tak ia tunjukkan. Hingga akhirnya mereka duduk di dalam kabin pesawat menuju Singapore. Untungnya Meridian segera bisa dibujuk, kakaknya Meilisa juga gadis pintar yang bisa menenangkan hati adiknya itu.
Asyik bercanda hingga mereka pun tertidur. Dalin tak bisa mengistirahatkan matanya sedikit pun. Ia teringat pada Ader.
Meskipun lelaki itu berjanji untuk pulang setahun lagi, ia tak dapat membayangkan lamanya penantian itu. Apa boleh buat, ia harus kembali untuk mengabdi pada institutnya di Papua.
“Cepat pulang sayang… !!! Sa deng anak-anak tunggu ko di Papua.”
Sebait pesan dikirim Dalin lewat email, setibanya pesawat mereka di Changi Airport, Singapore. Ader membalasnya dengan stiker cinta berkali-kali. []
1 Komentar