Oleh: Dewi Raubaba
Ping!!! Ping!!!
Notifikasi messenger masuk bertubi-tubi di handphone-ku. Rutinitas hari ini membuatku tak banyak waktu luang walaupun untuk sekadar menyalakan data seluler.
Kulihat sekitar enam pesan di inbox berjejer ke bawah. Aku men-scroll layar HP dan mulai membalas satu-satu.
Sebenarnya aku cukup me-log out. Namun ini inbox penting dari para fans yang tak mungkin aku abaikan.
Aku pun beralih ke akun FB dan iseng membaca status yang baru nongol di beranda. Dengan senyum letih aku terus melihat ke layar HP.
Dari fitur permintaan pertemanan kulihat 600 add friend yang ku abaikan beberapa waktu itu. Coba aku klik dan muncul nama-nama alay yang membuatku cengengesan.
Lalu aku mulai mengonfirmasi nama-nama yang ku kenal dan wara-wiri menghiasi kolom komentar di grup cerpenku.
Beberapa akun ku buka untuk memastikan, lalu sebuah akun dengan nama Paul En membuatku sedikit penasaran. Setelah ku jejaki berandanya yang ternyata dipenuhi postingan cerpen yang di-share dari berandaku, aku pun segera mengonfirmasi permintaan pertemanan darinya.
Kulihat sekitar 30 teman yang sama. Aku agak tenang. Bukan akun fake rupanya.
Selang dua menit tiba-tiba bunyi ping muncul lagi dengan balon obrolan di panel notifikasi. Akun bernama Paul En tadi yang mengirim pesan.
“Biar lambat tapi makasih kaka su konfirm sa…,” ucapnya dengan emoticon menangis.
Aku mengangkat alis dan segera membalasnya dengan jempol dan stiker malaikat.
“Sebenarnya ini akun cadangan, ada sap akun lama yang sa pake. Sa ada inbox kaka, tapi kaka tra pernah respon…,” tulisnya kemudian.
Aku pun mencoba mengingat dan kembali mengetik di layar handphone.
“Oh, iyo kah? Nama akun sapa?” Tanyaku singkat.
Terlihat ia sedang mengetik.
“Paulin Abram.”
Aku pun segera membuka filter pada messenger-ku dan mulai mencari nama yang disebutkan. Ada beberapa nama dan setelah ku klik gagal memuat. Lalu ku coba lagi. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 1 tengah malam, aku bergeming memperbaiki posisi duduk. Setengah jam bolehlah saling berbalas inbox.
Mataku kembali menatap layar HP dan ketemu nama akun dengan Paul Abram. Aku mengklik lalu setelah memuat terlihat beberapa inbox-nya yang masuk lebih dari tiga bulan yang lalu.
“Haiii kaka, sa penggemar #CerpenPapua-nya kaka. Salam kenal….”
Aku tersenyum. Lalu di inbox bawahnya.
“Kaka, sa ada keluhan sedikit, sa harap kaka mau jadi sap teman cerita. Sa butuh kaka…,” aku menatap tajam layar HP.
“Hari ini sa gagal jadi pegawai negeri, sap berkas tra lolos, sap ijazah sap bapa bakar, sebagai anak sa rasa tra berguna skali, kaka sa harus bagimana…?”
Hatiku terenyuh membacanya. Sepertinya lelaki ini begitu melankolis, tak seperti lelaki Papua pada umumnya.
“Sa ingin merantau keluar Papua. Sa sudah coba kerja serabutan tapi bapa bilang sa harus kas kembali uang yang selama ini sa pake sekolah dan urus berkas-berkas. Sa stres kaka, sa trada siapa untuk bantu saya, kaka plis…!!”
Ucapan lelaki itu menyayat hati. Sepertinya dia dalam masalah besar. Lalu pesan yang dikirim tertanggal 20 Juni itu kembali ia kirimkan.
“Kaka, hari ini sa dapa kas putus dari sa mace. De mo kawin deng orang lain…” lanjut lagi.
“Kaka, tolong buatkan satu cerpen untuk sa, nanti sa kirim detail supaya kaka gampang susun ceritanya.”
Di detik ini aku menangis membaca bait inbox-nya. Aku merasa sudah mengabaikan pesan seseorang yang benar-benar membutuhkanku.
Lalu pesan tertanggal 25 Juni, ia mengirim detail ceritanya. Ku scroll. Lumayan panjang dan ku pikir itu bisa ku lakukan besok karena aku sudah berniat membuat cerpen sesuai permintaannya.
“Kaka, sa terlalu pikiran sampe sa kembali ke sap dunia dulu, sa pake obat lagi…,” ucapnya.
Aku tersentak seperti tercekik. Pesan tertanggal 12 Juli. Aku mengusap mataku lalu merapikan rambutku.
Aku pun membuka akun Paulin Abram dan setelah memuat segera ku scroll. Namun pada postingan awal aku dibuat shock sebab sebuah ungkapan bela sungkawa yang dikirim orang lain dengan menandai dirinya di beranda akun FB-nya bisa ku lihat.
“Kawan, sa tra percaya ko su pergi…” ucap seorang temannya dengan emoticon menangis.
“Selamat jalan kawan, sampai bertemu di tepi laut kaca…,” ucap akun lain.
Napasku terasa akan berhenti. Postingan tertanggal 30 Juli, itu berarti tiga bulan sepuluh hari yang lalu. Dan hari ini adalah kegenapan 100 harinya.
Aku segera logout dari akun itu. Dan membuang HP di bawah kasur. Dengan sisa-sisa keberanian aku mengambil lagi handphone tadi. Kalau betul dia sudah meninggal lalu, siapa akun Paul En itu…?
Aku mengklik lagi nama pada kolom messenger. Terlihat ia aktif, dan ada aktivitas sedang mengetik.
Ping…!!
Nada itu membuat wajahku pucat.
“Makasih, kaka sudah baca sa punya inbox, sebenarnya kalo kaka baca tempo sa tra akan minum destro 1 strip sampe sa overdosis…”
Ketikan itu membuat badanku beku seperti patung. Kulihat waktu menunjukkan pukul 01.35 dini hari.
Wangi parfum yang biasa dikibaskan dalam peti mati seketika merebak dalam kamarku. Disusul wangi kembang makam. Aku segera mematikan layar HP dan sembunyi di bawah selimut. []