Au Monda

Cinta Papua
Ilustrasi foto oleh Belandina Yeimo - Dok. Sastra Papua

Oleh: Dewi Raubaba

Dering ponsel nyaring terdengar dari kantong noken salah satu penumpang taksi cokelat jurusan Kuala Kencana-Timika yang duduk tepat di sebelah Delila. Gadis ini terperanjat kaget. 

Pasalnya dari tadi Ia tertidur cukup pulas. Maklum perjalanan Kuala Kencana ke kota Timika lumayan jauh. Belum lagi sedari tadi sopir taksi di terminal pojok Kuala Kencana menunggu penumpang lain dan taksinya terisi penuh baru tancap gas. 

Delila menggeliat mengubah posisi duduknya, mengusap mata sesaat kemudian menengok keluar jendela taksi.  

Setibanya di Pasar Lama, gadis itu segera turun dan belanja keperluan untuk pembuatan noken yang nanti dijadikan buah tangan untuk teman-temannya di Yogyakarta, tempat Ia mengenyam pendidikan di bangku kuliah saat ini. 

Delila adalah gadis manis berdarah Biak yang lahir dan dibesarkan di Tanah Amungsa. Orang tuanya adalah salah satu karyawan swasta di kota itu. 

Siang ini Delila sengaja ikut taksi ke arah kota bukan tanpa alasan. Setiap kali Ia pulang liburan, teman-teman kampus selalu memesan noken darinya. Kantong selempang khas Papua itu memang banyak diminati. 

Bacaan Lainnya

Bukan baru pertama kali Delila mendapat pesanan noken seperti ini. Untungnya tante Delila yang cukup telaten selalu siap jika keponakannya itu meminta merajutkan noken. Meski hanya disogok dengan uang pinang dan pulsa 50 ribu, wanita setengah abad itu mampu merajutkan noken cantik pesanan Delila sebagai buah tangannya nanti. 

Pesan WA masuk, membuat ponselnya bergetar sekali. Delila merogoh noken. Ternyata itu dari Alfian, teman SMP-nya yang sudah seminggu ini membuatnya kewalahan.  

Ko di…?”

Begitu bunyi pesan singkat yang tersirat di WA. Delila me-log out tanpa membalasnya. 

Gadis itu gusar. Sudah sebulan sejak kepulangannya, Alfian membuatnya sibuk dengan urusan percintaan.

Ria pacar Alfian belakangan diketahui akan dijodohkan dengan seorang pemuda asal kota itu, yang juga merupakan seorang anggota kesatuan Brimob.  

Alfian tak berkutik, mengingat dirinya yang hanya seorang kuli tambang memang tak sepadan dengan lelaki yang dijadikan rival oleh orang tua Ria. 

Ria yang menurut Alfian menunjukkan banyak perubahan semenjak dekat dengan lelaki itu, membuat Alfian sedikit kecewa hingga sengaja membuat skenario bersama Delila, supaya rasa cemburu Ria terpancing. 

Alfian sengaja meminta Delila berpura-pura PDKT dengan dirinya tanpa Ria tau bahwa Delila sebenarnya hanya sahabat lama Alfian. Delila yang setuju kemudian melakonkan permainan itu. 

Namun, tanpa Ia sadari rasa cinta perlahan tumbuh, menyusup di hatinya meski Ia sadar bahwa lelaki itu telah memilih wanita lain. Delila hanya bisa gigit jari dan menelan bulat-bulat semua rasa yang terlanjur dirajutnya. 

Tak berselang lama ponsel gadis itu berdering. Sudah Ia duga. Pesan WA tak dibalasnya, telepon pun menyusul. 

Ko di…?”

Sa di Pasar Lama, kenapa?”

“Oh.. sa kira ko di rumah. Habis chat WA tra balas jadi…”

Sa tadi ada jalan cari benang untuk pake bikin noken…”

“Oh…, lama kah?”

Su pulang ini. Tapi sa naik ojek ke Toko Diana dulu. Ada barang satu yang sa lupa beli dari kemarin jadi. Kenapa?”

Sa butuh ko malam ini…”

“Heee?”

“Malam sa ke Kuala jemput e? Ria dong ke pasar malam kapa? Sa pu maksud kitong dua ke sana supaya de bisa liat ko deng sa jalan sama-sama…”

“Heee… ko bikin sa kepala pusing saja. Stop tipu perempuan sudah yo…”

Jiii.., kenapa ko sewot begitu? Ko su janji selama di sini mo bantu sa baru…”

Iyo, sa su janji bantu ko, bantu tipu orang. Yeskon ee, sa takut demi…”

“Hahahaa.. jang begitu kah? Ko bikin sa tra enak saja. Pulang istirahat sedikit, malam nanti sa jemput. Oke?”

“Iyo sudah…,” sahut Delila kemudian mengakhiri pembicaraan. 

Ia menarik napas panjang lalu berjalan ke arah pangkalan ojek.

Kesibukan kuliah membuat Delila benar-benar lupa dengan kesendiriannya. 

Jangankan jatuh cinta, melirik lelaki untuk sekadar icip mata saja nampaknya urung diniatkan. 

Namun, pertemuan dengan kawan lama sebulan terakhir ini membuat keadaan berbalik 180 derajat. Delila keliru menilai hatinya. Ia sadar bahwa Ia mulai jatuh cinta. 

***  

Semilir angin mendesau lembut, melambaikan daun pohon trembesi yang menjulang tinggi. Delila duduk di halte sambil sesekali melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. 

Berkali-kali bola basket yang dipegangnya Ia drible menimbulkan suara pantulan nyaring di tengah suasana menjelang senja itu. 

Gadis itu termenung. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. 

Selesai dari lapangan basket Delila langsung pulang meninggalkan teman-temannya yang masih ngerumpi di pojok lapangan basket. Bukan bosan, Ia hanya berusaha menepati janjinya pada Alfian mengenai pembicaraan mereka di telepon tadi siang itu. 

Remang senja di antara rumput ilalang perlahan memudar digantikan gelapnya malam. Gadis itu berjalan pulang dengan langkah gontai. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Alfian tak kunjung datang. Bahkan di-WA pun tak terlihat mengintip. Delila duduk di depan rumah dengan perasaan gusar. 

Ia gusar dengan skenario yang mereka mainkan itu, gusar kalau-kalau iya harus berpapasan dengan pacar Alfian di pasar malam nanti.  

Seandainya Alfian ada pacar sesungguhnya, pasti perasaan tidaklah segusar itu. Waktu bergulir hingga jarum jam berada di angka 10. Delila masuk ke kamarnya, mengganti pakaian tidur dan merebahkan badan di kasur empuknya.  

Baru beberapa menit matanya terpejam, dering ponsel mengagetkannya. Ternyata Alfian yang telepon.

Ko di…?”

Sa di rumah, kenapa?” Jawab Delila ketus. 

Sa minta maaf tadi sa ketemuan dengan Ria, trus sa lupa kas tau ko…”

Trapapa bagus juga, setidaknya kam dua su baikan. Jadi, sa tra perlu jadi kambing congek dalam hal ini…”

“Del…, ko marah sa iyo?” Tanya Alfian melemah. 

“Ah, tidak ee. Mo marah untuk apa juga? Malah sa bersyukur!” Jawab Delila tandas. 

Sa minta maaf su bikin ko tunggu lama…!!” ucap Alfian penuh kesungguhan.

“Iyo sudah, sa mengantuk skali nih. Sa mo tidur. Ko tra marah to? Besok ibadah pagi lagi jadi…,” ujar Delila mengakhiri percakapan di telepon. 

Delila melempar HP di antara tumpukan boneka yang tersusun di keranjang pakaiannya. Ia meringis. Hatinya pedih teriris. Setitik air bening mengalir di pelupuk matanya. Rasa cemburu seolah mengalahkan logika. 

Sementara di tempat berbeda, Alfian merasakan sesuatu yang aneh. Ada yang lain pada diri sahabat wanitanya itu. Alfian belum mengerti dan itu membuatnya sedikit frustasi. Sedetik kemudian Ia menyambar jaket tebalnya kemudian keluar dengan motor kawasakinya itu.  

Pagi itu saat Delila bersiap ikut ibadah pagi di gereja, ponselnya bergetar. Ternyata Yeri, teman Alfian yang telepon lewat WA.

“Alfian deng ko kah?”

“Ah, trada. Tadi malam de mo datang tapi tra jadi. Kenapa jadi?”

Trada, sa tanya saja. Pagi ini tong boarding bus ke Tembagapura tapi sa telepon de pu nomor tra aktif itu yang sa telepon ko…”

Su cek ke rumah?” Tanya Delila penasaran.

“Sudah, tapi trada. Motor juga trada…,” kata Yeri. 

Delila terdiam.

Sa tidak tau de dimana. Mungkin de nginap di de pacar kappa..??” Delila menebak-nebak. 

“Mungkin… nanti saja baru sa cek dia lagi. Oke sudah. Selamat hari Minggu lagi. Tuhan berkati…,” ujar Yeri kemudian menutup telepon.

Sampai Minggu sore pun, nomor telepon Alfian tak kunjung aktif. Delila cemas. Khawatir membuatnya tak tenang, apalagi kota ini sangat rawan kejahatan. 

Ia memutuskan untuk mengecek temannya itu di rumah teman lain yang biasa didatangi Alfian. 

Tak menemukan Alfian di satu tempat, Ia memutuskan ke rumah Alfian tapi rumah itu kosong; pintu pun terkunci rapat. Delila duduk di teras rumah besar itu. 

Sejurus kemudian gadis itu tertidur sembari menyandarkan kepala di tembok. Ia terkejut dengan bunyi deru motor yang masuk di halaman rumah itu. Delila mengucak matanya sebentar kemudian melihat jam tangannya. Ternyata sudah pukul 11 lewat.

Pengendara motor itu membuka helm menyadari ada yang duduk di depan rumah. Ternyata itu John, kakak laki-laki Alfian. Delila bangkit dari duduknya.

“Malam, Kaka…”

“Yo, malam. Sapa e?” John mencoba mengenali wajah Delila. 

Sa Delila, Kak. Alfian pu teman skolah. Sa mo datang cari Alfian. Sa su dari Yansen tapi katanya de trada di situ jadi sa sengaja tunggu dia di sini…”

“Oh, ade perempuan yang di Kuala ini kah? Sioo, maaf kaka lupa, su lama tra ketemu jadi!” Ucap John pangling. 

Delila hanya mengangguk. John melanjutkan ucapannya.

“Alfian de di rumah sakit. Subuh-subuh itu jatuh dari motor itu yang dong antar ke sana. Tra parah cuma mungkin de oleng, baru su mabuk juga jadi…” 

“Ehh, Tuhar…!!! Baru di rumah sakit mana, Kaka?” Tanya Delila dengan nada cemas.

“Di RSUD. Kaka baru pulang dari sana juga. Mo tidur di sana tapi besok apel pagi di kantor lagi jadi, biar mama dong yang temani dia dulu…,” kata John menjelaskan.

“Iyo sudah, Kaka. Berarti sa jalan ke sana dulu.”

Ade tra apa-apa? Su malam ini baru ko bawa motor sendiri lagi…”

Tra apa-apa, Kaka. Sa jalan ee…!!” pamit Delila kemudian tancap gas dengan motor matic-nya. 

John tertawa melihat gelagat Delila barusan. 

Sesampainya di rumah sakit, Delila segera masuk di sal pria. Ia langsung menyergap Alfian dengan segudang pertanyaan. 

“Kenapa bisa begini?” Delila dengan nada ketus tapi penuh perhatian.

Accident-lah… Ko kenapa bisa muncul di sini? Su malam begini baru…”

Sa duduk tunggu di kam pu teras rumah baru Ka John pas pulang itu yang de ada bilang…”

Tra parah juga mo. Ko liat sendiri cuma lutut yang luka…”

“Ah, brengsek ko, makanya jang aneh-aneh bikin orang pikiran saja.” 

“Cerewet urut-urut sa kaki kah!!! Jang marah terus begitu. Tra baik skali.”

Delila menekan lukanya yang diperban. Alfian meringis tapi tak bersuara sebab ada pasien lain yang sedang istirahat.

“Goblok!! Sakit…!!” Alfian meringis.

“Baru mama mana?”

“Itu ada tidur di bawa kasur itu,” jawab Alfian sambil menunjuk ke arah ibunya yang tidur di atas tikar yang digelar.

“Baru ko pacar?”

De barusan telepon. Sedikit lagi ke sini kappa? Trada yang antar jadi. De juga baru tau itu…”

“Hmmm… !!! Bagus sudah…,” jawab Delila singkat. 

Tidak berapa lama Ria masuk ke ruangan itu. Wajahnya seperti baru bangun. Delila seperti tak nyaman. Ia pun segera pamit pulang. Alfian mengiyakan. Delila berjalan di koridor rumah sakit dengan perasaan tak menentu. 

Seketika Ia berhenti. Namanya dipanggil oleh suara asing. Delila berbalik. Ternyata Ria.  

Ko su mo jalan? Tra nginap saja baru. Su malam ini!” Ucap Ria terdengar ramah.

“Nanti sa pulang ke sa mama ade di Kebon Sirih. Tra pulang ke Kuala. Jauh jadi…,” ucap Delila dengan membuang pandangan ke tempat lain.

“Makasih ko su datang jenguk dia. Malam begini lagi. Soal ko deng Alfian sa minta maaf. Sa salah sangka. Alfian cerita semuanya apa yang terjadi. De ingin sa cemburu katanya…,” kata Ria panjang lebar.

“Oh, jadi Alfian su kas tau ko? Bagus sudah. Sa senang akhirnya kam dua baikan,” kata Delila dengan ada ketus.

Sa terima kasih skali, berkat ko juga sa deng Alfian bisa perbaiki hubungan ini lagi…” 

“Syukurlah kalo begitu. Su malam jadi ko masuk jaga dia sudah. Sa lagi jalan…,” ucap Delila kemudian pergi dari hadapan Ria. 

Angin malam berembus lembut. Delila sengaja membuka helmnya. Membiarkan kepalanya yang panas itu terhalau angin.

Suasana kian sepi membuat Delila memacu kendaraannya dengan santai. Air matanya berderai. Sungguh rasa cemburu itu membuatnya sesakit yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. 

Delila kembali menancap gas motornya. Dibiarkan angin mendesir, mengacak-acak rambutnya. Kegalauan hatinya sungguh tak terperi Ia rasakan. 

*** 

Empat hari lagi Delila bertolak ke Yogyakarta. Selama empat hari pula nomor ponselnya sengaja dinonaktifkan. 

Ia berencana mengganti nomor ponsel sesampainya di Jogja nanti. Berharap semuanya terkubur di Timika bersama kenangan yang sudah Ia ukir sebulan ini.  

Tahun ini Ia juga berpacu dengan komprehensifnya. Itu berarti tak lama lagi Ia meninggalkan bangku kuliah. 

Sementara Alfian bingung dalam diam. Entah apa yang harus Ia perbuat, sebab aneh saja Delila tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Bahkan nomor ponsel pun tak bisa dihubungi. 

Siang itu Alfian pulang dari Tembagapura, Ia pun berinisiatif bertandang ke rumah Delila di kawasan perumahan Kuala Kencana.  

Ka Dei su jalan dari tadi, siang ini de naik pesawat ke Jogja jadi…,” kata Vani, adik Delila saat Alfian mengetuk pintu rumahnya.

“Jam brapa take off?” 

Vani melihat ke arah jam dinding. 

“Jam 2 kapa..? Tra tau lagi. Coba Kaka susul saja ke sana…!!” jawab Vani. 

Alfian gelagapan. 

“Ini su jam 12 lewat berarti dong su check in ini. Iyo sudah e Ade. Kaka ke airport dulu. Da….!!!” 

Alfian bergegas ke terminal pojok, menyewa taksi cokelat menuju Bandara Moses Kilangin. 

Suasana bandara yang ramai pengunjung membuat Alfian bingung. Matanya awas, celingak-celinguk di antara ramai dan hiruk-pikuk. 

Matanya tertuju pada sosok yang tengah berdiri, bersandar di pilar, mengenakan jeans biru dan jaket kulit berwarna cokelat susu. Tak salah lagi itu Delila. 

Alfian berjalan perlahan. Disentuhnya bahu gadis itu. Delila berbalik.

“Ah, ko bikin apa di sini?” Tanya Delila bernada menghardik. 

Ia memperhatikan laki-laki itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bagaimana tidak, Alfian tiba dengan baju kerja lengkap, helm proyek, jaket, fest dan sepatu kings serta ID card menggantung di saku jaket.  

Jii, kenapa? Ko tra senang? Sa datang antar ko to. Berangkat tra bilang-bilang, baru nomor nonaktif orang telepon de tra bisa…,” jelas Alfian.

“Tidak, tapi ko liat celana sama sepatu itu, becek skali, Alfian.”

“Becek tapi ko suka to?” Ujar Alfian menggoda. 

Delila nyengir seperti tak senang digoda seperti itu.

“Kenapa ko menghindar dari sa Delila? Sa su bikin ko sakit hati kah?”

Ko bicara apa? Ini tempat umum orang dengar, otak!”

Sa hanya bicara apa yang su terjadi. Skarang su begini trus ko mo lari kas tinggal sa. Tra bisa Delila…”

Jiii, ko gila kah? Stop sudah!! Ko pulang baru makan kah, tidur kah. Panas bokar jadi otak pusing-pusing itu,” jawab Delila mengelak. 

Alfian tersenyum penuh kemenangan.

Skarang ko jujur!! Jujur tentang semua. Kalo tidak, sa tahan ko di sini, ko tra boleh ke Jogja!!!”

Jiii, stop sudah!!! Skenario apa lagi yang ko susun ini? Mo tahan sa untuk…??”

Sa tra susun skenario, Delila. Sa su mengerti semua. Sa kecelakaan itu sa pu kaka sama Yansen cerita ko jalan cari sa tengah malam. Semua itu apa kalo bukan ko cinta? Ko cinta sa to? Jujur sudah!!! Jujur tu sakit kah?”

Ko yang masih sakit gara-gara benturan waktu itu jadi ko pulang sudah!!” 

Delila masih mengelak tentang perasaannya, tetapi Alfian terus memandang lekat mata gadis itu.  

Sa tra mau pulang, sa mo kawin ko… jelas? Kah masih belum jelas…?” 

Alfian mencerca. Delila diam seribu bahasa. Air mata sudah menggenangi bola matanya. 

Jang menangis Delila!!! Sa tau ko, ko juga tau sa bagaimana. Sa su putuskan hubungan deng Ria karena memang itu yang seharusnya terjadi. Beberapa hari ini sa berusaha hubungi ko hanya untuk bilang semua ini. Sa baru sadar apa yang terjadi antara kitong dua bukan rekayasa. Ko cinta sa. Begitu pun sebaliknya. Itu yang sebenarnya. Delila, sa minta maaf baru sadar sekarang. Ko yang slalu ada, peduli deng sa.”

“Tapi lambat Alfian, sa harus pergi. Sa mo lanjutkan sa punya cita-cita. Mungkin sa tra kembali dalam waktu lama. Setelah sa dapat gelar sarjana sa mo kerja di Jawa saja…”

“Terserah ko mo balik ka tidak, nanti tiap cuti sa tiba di Jogja, sa tra tipu…” tandas Alfian. 

Perlahan diraihnya tangan Delila yang kaku itu. Jemari lentik itu perlahan lemas. Mereka saling menggenggam. Alfian tersenyum. Ia tau cintanya diterima. 

Ko jalan sudah!! Sa menyusul nanti. Jang macam-macam di sana!! Pokoknya aku padamulah, mbak,” kata Alfian menggoda, yang membuat Delila tertawa. 

Sa malas, ko juga nanti kete deng ko pu mantan itu mo…”

Trada, udik!!! Sa tra segila itu mo. Biar de mo kawin deng orang kantoran saja kitong yang kuli tambang ini bisa apa…”

“Ah, iyo sudah. Dari awal ko tinggal bikin sa pusing trus. Sa jalan dulu,” kata Delila memberi pamitan dengan nada datar. 

Mereka berpisah di pagar pembatas itu. Alfian melambai sembari menempelkan jari kelingking dan jempol di telinga.

Sa telepon nanti, kas aktif nomor itu!!!”

“Sippp…,” balas Delila. 

Sore itu jadi sore perpisahan mereka. Namun hati Alfian agak tenang sebab Ia sudah mengungkapkan isi hatinya. 

*** 

Setahun berlalu, Delila menyandang gelar S1-nya. Ia pun kembali ke Timika. Ada Alfian yang menunggunya. 

Penantian itu bukan tanpa pertemuan, sebab sebelumnya Alfian berkali-kali mengunjunginya di kota studinya itu.  

Bulan kelima di minggu pertama mereka mengikrarkan janji di altar kudus. Senyum bahagia terpancar dari kedua sejoli ini. Begitu pun kedua belah pihak keluarga. 

Gaun pengantin sederhana menegaskan kecantikan Delila. Fotoshop pernikahan mereka bertebaran di album instagram Alfian dengan captionAu Monda” yang dalam bahasa Biak berarti “ko saja”.

Alfian tersenyum memandang istri sahnya itu. 

“Akhirnya sa nikah deng ko, sa pu teman SMP…,” kata Alfian dalam hatinya. []

Pos terkait