Judul : Perempuan Berbicara Kretek
Penulis : Abmi Handayani, dkk
Penerbit: Indonesia Berdikari
Tahun : 2012
Tebal : 320 halaman
Kata Pengantar
Di negeri dengan sistem patriarkhal yang melekat dalam keseharian masyarakatnya, tidak mudah bagi perempuan untuk mengekpsresikan diri. Ada banyak hal yang kemudian menjadi tidak pantas dilakukan perempuan. Mereka seakan-akan berada dalam satu ruang yang memiliki garis demarkasi antara yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Sayangnya, yang tidak pantas dilakukan perempuan itu bisa dengan leluasa dilaksanakan lelaki tanpa ada pandangan miring terhadapnya.
Pandangan masyarakat terhadap kretek (rokok) merupakan salah satunya. Tindakan mengkretek apabila dilakukan oleh lelaki, akan dinilai masyarakat sebagai hal yang biasa. Namun, apabila seorang perempuan terlihat sedang mengkretek, maka akan dilabeli sebagai seorang yang entah itu “tidak baik”, “nakal”, atau bahkan “jalang”.
Terlebih dalam realitasnya, begitu stigma diberikan, selesailah sudah. Mereka tidak pernah diberikan kesempatan menjawab, atau setidaknya memberikan alasan. Buku ini mencoba mengajak para perempuan untuk memberi penjelasan terkait penilain yang serta-merta pada kaumnya. Buku ini semacam jawaban dari perempuan atas penilain dari masyarakat itu.
Memang di antara penulisnya ada yang mempunyai pengalaman langsung dari penilaian masyarakat itu, karena mereka kebetulan seorang pengkretek. Di samping itu, buku berjudul “Perempuan Berbicara Kretek” ini juga menyoroti perkembangan gerakan anti kretek yang meresahkan. Meskipun, para penulis dalam buku ini tidak semuanya pengkretek, tapi kebutuhan untuk mempertahankan identitas dan penyangga ekonomi nasional memanggil mereka turut berbicara mengenai kretek. Terlebih industri kretek tanah air banyak membantu dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi kaum perempuan.
Bilamana gerakan yang didanai pihak asing itu benar-benar berhasil memusnahkan satu-satunya industri nasional ini, yang dari hulu hingga hilir bisa dikelola bangsa sendiri, maka akan banyak perempuan kehilangan pekerjaan. Banyak perempuan yang tidak akan bisa lagi mencari penghasilan tambahan dari keterlibatannya dengan indutri kretek.
Buku ini berawal dari inisiatif aktifis perempuan Komunitas Kretek dari berbagai daerah yang memiliki kepedulian terhadap kretek. Para perempuan ini, dari berbagai kalangan dan pekerjaan, berkumpul dan bahu-membahu menjaga warisan bangsa ini supaya dapat bertahan dari gelombang serangan, baik dari dalam negeri maupun pihak luar, yang mengkehendaki industri nasional ini hancur.
Secara umum buku ini dibagi dalam empat bagian. Pertama, Ritus Keseharian, di sini mereka bercerita tentang kehadiran kretek dalam keseharian mereka. Kedua, Perempuan di Simpang Stigma. Dalam bagian ini mereka berkisah bagaimana stigma “buruk” terhadap perempuan pengkretek hadir di tengah-tengah kehidupan bermasayarakat kita. Ketiga, Dalam Pusaran Arus Zaman. Setidaknya, di bagian ini dikisahkan bahwa kretek sedang menghadapi tantangan tersendiri. Tantangan ini berkaitan dengan gerakan anti rokok, munculnya fatwa haram dari organisasi keagamaan, dan regulasi pemerintah yang justru menyudutkan industri kretek. Di bagian keempat, Kretek, Budaya, dan Keindonesiaan, membahas kehadiran kretek sebagai warisan budaya bangsa.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Kang Sobary, Salamuddin Daeng, dr Saraswati yang telah meluangkan waktunya menemani berdiskusi dan memperdalam pemahaman dalam sengkarut persoalan kemandirian dan kedaulatan bangsa.
Akhir kata, semoga karya ini bisa memberikan wacana alternatif dalam perdebatan tentang persoalan kretek secara khusus, maupun persoalan kedaulatan bangsa secara lebih luas.
Indonesia Berdikari
Untuk membaca buku untuhnya silahkan download di http://bukukretek.com/