Cinta Mereka Sonder Pudar

Sampul buku Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua - Doc. Alep
Sampul buku Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua - Doc. Alep

“Supaya gembala tahu isi hati domba. Andai mereka tak  sayang, mana mungkin surat itu ditulis kepada gembala. Meski tak pernah bersua, gembala selalu ada dalam doa dan cinta. Semua  demi sebuah perubahaan di masa mendatang.”

 

BUKU  Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua yang ditulis oleh putra dan putri asli Papua (indegeneous people).  Mereka terdiri dari berbagai denominasi :  Katolik, KINGMI di Tanah Papua, GKI di Tanah Papua, GIDI, GPDI dan PGGP.

 

Isi surat ini menyoroti polemik yang tengah dialami umat di Tanah Papua. Berangkat dari realita sosial yang didengar, dilihat, dialami dan dirasakan. Ini merupakan ungkapan kegelisahan, kerinduan, doa serta harapan mereka kepada  para gembala yang dirasa ‘pangang jauh dari api.’

 

Bacaan Lainnya

Ditambah dengan dinamika politik di Papua. Hidup dalam situasi konflik terutatam di beberapa wilayah (Intan Jaya, Maybrat, Nduga, Puncak, Kiwirok dan Timika). Umat hidup dalam ketakutan dan intimidasi, kekerasan, pelanggaran HAM, perampasan hak atas wilayah adat, kesakralan nilai-nilai leluhur orang Papua serta hak hidup pun dalam bayang-bayang ketidak nyamanan. Bahkan hingga memakan korban—penembakan hingga mati.

 

Dalam situasi  itu, terkadang “gereja-diam.” Di mana suara kenabian para gembala?

 

“Surat Cinta Domba Kepada Gembala- Di Tanah Papua”

Penulis            : Soleman Itlay dan kawan-kawan

Penerbit          : SKPKC-Fransiskan Papua

Cetakan          : Pertama,Oktober 2022

Tebal               : xix+206 halaman

 

Di tengah situasi itu, penulis surat cinta mencoba memotret riak-riak konteks hidup warga asli Papua dan non-Papua.  Umat tak lagi bergeming, terkadang umat    kepasrahaan di tengah situasi ini, hanya ada dua pilihan: hidup dalam gereja atau di luar gereja?

 

Penulis Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua—merasa, kekristenan  itu sangatlah penting bagi kehidupan pribadi dan kolektif mereka dalam semua aspek.’

 

Gereja dilihat sebagai korden yang menutupi ruang-ruang diskusi umat. Bahkan ada dua jenis umat: umat “miskin” dan umat yang kaya. Yang berada, tak peduli dengan dinamika  sosial yang dialami kaum lemah. Dalam perjalanannya, mereka tak lagi merasa sejalan antara peran gereja dan gejolak yang tengah menghimpit sendi-sendi kehidupan umat.

 

Jangankan itu, untuk mendoakan korban penembakan atau kekerasan militer yang terjadi di wilayah konflik: para gembala sekaan sembunyi di balik altar. Tak pernah ada ucapan doa untuk umat di wilayah konfllik. Berangkat dari situ, gereja dinilai, tidak adil, dan lebih membela “sepihak” Seakan  manusia Papua bukan bagian dari umat yang mesti di doakan.

 

Itulah ungkapan kegelisahan hati mereka. Di balik semua,  sesunguhnya ada  satu harapan akan  masadepan gereja dan sikap para pemimpin gereja di Tanah Papua.

 

Pesannya, mengajak gembala untuk kelu ar dari`surat-surat cinta’ dan ‘turun ke lapangan yang sebenarnya.’kata Cypri Jehan Paju Dale pada prolognya tentang buku ini.

 

<><><>

Selain itu, penulis perempuan  penghuni Asrama Katolik, Astri Nurjaya, Jayapura.

Menyoal tentang kehidupan dan fasilitas di asrama tersebut. Melalui surat ini, mereka berkisah dan merindukan kehadiran gembala tertinggi umat Katolik (Uskup Keuskupan Jayapura) dan melihat langsung kehidupan mereka di sana.

 

<><><>

Soleman Itlay, penggagas sekaligus penanggungjawab  penulisan Surat Cinta Domba Kepada Gembala,  telah mengumpulkan sejak (2017-2021).

 

Dan pada Sabtu,5 November 2022, buku ini diluncurkan di Aula Gereja Katolik, Paroki Gembala Baik, Abepura. Di hadiri, 71 peserta.

 

Menghadirkan para pemateri buku: Frederika Korain, Pastor Jhon Djonga,Pr, Pendeta Umbu Akwam (Pendeta GKI di Tanah Papua) dan Pendeta Mathan Ayorbaba(Pentakosta), Sekretaris FKUB.Di moderatori, Alfonsa Jumkon Wayap.

 

Disela itu, Pastor Jhon dengan pertanyaan skeptis terhadap para penulis “surat cinta”menurutnya,” Dengan adanya buku ini, justru saya melibat terbalik. Bisa jadi, para penulis tidak pernah terlibat dalam kehidupan menggereja? Dan mereka  hanya bicara dari luar—lewat surat ini?.”

 

Jika memang demikian,dikatakan,”Mari, masuk dalam lingkup gereja dan berikan kontribusi penuh sebagai bagian dari umat beriman.”

 

Ia yakin, surat ini benar-benar jujur dan bagian dari pesan iman. Penuh dengan pesan nurani. Representasi dari umat Allah.  Dengan adanya tulisan ini, mari kita perbaiki bersama. Sehebat-hebatnya domba, dia juga membutuhkan gembala.

 

Sisi lain, pesannya,”anak muda harus menulis. Menulis itu penting.”

 

Pandangan Pendeta Akwam mengakui apa yang disampaikan Pastor Jhon, ia pun mengatakan,” Gembala tidak bisa bekerja sendiri tetapi dia mesti kerjasama dengan umatnya. Melihat sisi lain dari buku ini dengan pertanyaan. Apakah selama ini gembala berada di posisi aman? Gembala yang baik, pasti mengenal domba-dombanya.”

 

Gereja juga menyadari ada persoalan HAM di Tanah Papua. Gereja tidak tinggal diam. Gereja bersuara dengan tetap menjaga alur penyampaian. Menurut Pdt. Akwam,”Mungkin suara gereja tidak terekspos atau sampai ke publik. Tapi, saya mau tegaskan, gereja tidak tinggal diam. Masing-masing gereja memiliki mekanisme dalam menyuarakan pelanggaran HAM dan kemanusiaan lainnya. Cara lain gereja hadir juga melalui pewartaan pendidikan, kesehatan dan lainnya yang langsung menyentuh kehidupan umat. Haru ada buku berikutnya.”

 

Pendeta Ayorbaba menganalogikan peran gembala,”Gembala itu adalah mata,telinga, kaki, tangan. Domba harus diperhatikan, apa yang menjadi keresahaan domba, gembala harus ada bersama mereka.”

 

Catatan dari Frederika,”Surat-surat ini yang benar-benar dari hati nurani. Umat yang merasa tidak disapa. Ini bukan curhat, tetapi sesuatu yang mendasar.

 

Kesannya, mereka(kami) ada ini-kamu di mana? Ini merupakan ungkapan domba yang merasa gelisah. Mungkin  tidak ada ruang untuk berdiskusi, tersumbatnya ruang-ruang diskusi antara domba dan gembala. Tersirat pesan iman: sehebat-hebatnya domba, dia juga membutuhkan gembala.”

 

Kepada para penulis surat yang rencanya ada cetakan berikut. Harus menulis alamat dan siapa si penulis surat, itu penting. Bukan saja, sebaliknya,hanya alamat ditujukan kepada gembala. Sedangkan gembala yang akan membacanya, tidak mengenal dombanya. Sebab, beberapa penulis dalam surat cinta ini, anonim.

 

“Ini penulis tidak jelas. Jika mau menyampaikan pesan yang benar-benar dari domba, harus nampakan indentitas keumatan Anda. Supaya tulisan itu berkarakter dan dipandang penting. Perlu menjelaskan apa itu ‘Gembala’ dan ‘domba’ pada bab awal. Agar  esensi dari domba dan gembala  dapat dipahami pembaca.

 

<><><>

 

Perensi pernah membaca buku berjudul,”Surat-surat cinta kepada May Ziadah”. Kisah nyata ini ditulis seniman,penyair dan penulis  Dunia, Kahlil Gibran (1926). Gibran asal Lebabon, dia tinggal di New York. Dan kekasihnya, May Ziadah,  tinggal di Kairo, Mesir. Keduanya tak pernah bertemu muka.

 

Percintaannya  terjalin  dari jarak jauh. Komunikasi itu terbangun melalui surat-menyurat selama lebih dari dua puluh tahun. Kita boleh ragu dengan konsep itu.

 

Komunikasi yang terjalin melalui pesan-pesan dalam surat-menyurat Gibran dan May telah membuktikan, bahwa ketulusan, dan kesetiaan untuk menjaga cinta walau dipisahkan jarak sejauh apapun memang bisa diwujudkan. Setelah Gibran meninggal di usia 48 tahun. May kemudian kemudian membukukan surat-surat Gibran yang pernah dikirim kepada May.

 

Sepajang surat-menyurat, keduanya tidak hanya bercerita tentang situasi sosial, politik di negara masing-masing. Tetapi, dari surat-surat keduanya, pembaca jadi tahu tentang kondisi iklim (musim) di kedua negara.

 

Kepada mereka yang akan menulis surat cinta kepada gembala diedisi berikutnya. Mesti menulis alamat suratnya jelas. Para pembaca seakan diantar dalam alam dua benua. Dengan begitu, komunikasi antara gembala dan domba yang meski tidak pernah berjumpa. Melalui surat-surat dalam buku yang akan datang, boleh terjadi komunikasi dua arah.

 

<><><> 

 

Doa Dalam Surat Cinta itu Terkabulkan

 

Menulis surat juga merupakan doa.  Beberapa isu surat meminta kepada Tuhan Allah dan  otoritas Gereja Katolik supaya pengganti Uskup Leo Laba Ladjar,o.f.m, itu orang asli Papua.

 

Tidak hanya menulis surat. Para penulis surat telah melakukan aksi nyata di depan Gereja Gembala Baik Abepura (Paroki Gembala Baik) pada Minggu, 01 Agustus 2021. Dengan spanduk bertuliskan,”Kami tolak uskup titipan dari luar. Tolong prioritaskan Pastor Pribumi Papua untuk menjadi Uskup di Keuskupan Jayapura dan Timika.

 

Dan aksi berikutnya pada, 10 Oktober 2021,” di Depan Gereja Kristus Terang Dunia Waena,” Kami minta uskup orang asli Papua.”

 

Aksi-aksi itu mendapat reaksi’ negatif’ hingga larangan melakukan aksi di depan gereja. Dan itu datang dari pimpinan gereja setempat. Justru membuat semangat mereka pudar.

 

Peresensi teringat, ketika,2014, berada di Suva, Fiji (Pasifik Selatan). Menjadi kerinduan umat di Fiji, akan sosok orang asli Fiji yang suatu kelak menjadi uskup.

 

Setelah sekian puluh tahun, Pastor Petero Mataca, yang fokus menggagas pendirian sekolah Seminari menengah hingga seminari tinggi di Suva.

 

Dalam perjalannya, ia dipersiapkan oleh Uskup Floey asal Kanada—uskup Fiji sebelum Petero Mataca. Doa dan harapan itu terkabulkan dengan diikukuhkan Petero Mataca menjadi uskup pertama orang asli Fiji, pada 1974.

 

Uskup Petero Mataca menjadi uskup selama 40 tahun. Lantaran sakit, ia meninggal, 30 Juni 2014. Ketika itu, peresensi juga mengikuti prosesi pemakamannya di lantai bawa Gereja Katedral Hati Kudus, Suva. Peresensi pernah menulis feature meninggalnya Uskup Petero Mataca  dan dimuat pada media lokal di Papua,”Pelopor Gereja Katolik Lokal Uskup Petero Mataca-Orang Fiji telah mengimani konsep leluhur dalam tata gereja  dengan konsep adat Fiji-hingga kini.”

 

Ketika itu, peresensi sempat berdoa di makam Emeritus Petero Mataca,”semoga suatu waktu ada pastor Papua juga menjadi uskup sepertimu.”

 

Semua harapan dan doa umat di Tanah Papua, dan terkhusus yang tersurat di dalam isi”Surat Cinta,”merupakan pergumulan panjang anak-anak negeri West Papua. Pasti sebagian dari kita mengatakan kapan? Entah? Mari,Pemuda, kita terus memperjuagkannya!”

 

Doa itu telah terjawab pada Sabtu, 29 Oktober 2022. Diumumkan langsung dari Roma(Italia) oleh  Paus Fransiskus. Di Jayapura diumumkan Ukusp Leo Laba Ladjar  di  Gereja Katedral Kristus Raja, Dok V, Jayapura, Papua. Sosok uskup orang asli Papua, dia adalah Pastor RD. Yanuarius Theofilus Matopai You—Mgr. Yanuarius Theofilus Matopai You, sebagai pengganti Uskup Leo Laba Ladjar, O.F.M.

 

<><><>

 

Berikut, ada empat catatan dari peresensi kepada editor buku ini:

 

Pertama, pada kata pengantar,  penulisan nama,”Pada hal: xvi (alinea-xx; Petero “Macata”-seharusnya, “Mataca”.

 

Kedua, Perkata Penulis, masih terjadi pengulangan pada alinea kedelapan,” Kini waktunya….kecemasan,cita-cita, harapan,nasib dan masadepan umat. Menjadi doa-doa,pergumulan,cita-cita, harapan, nasib dan masa depan dari para pemimpin gereja dan seterusnya …..”ada pengulangan.

 

Ketiga, surat hal:84;penulisan di alinea kedua (dari sini kita berpikir bahwa”gereja katolik”…..seharusnya“Gereja Katolik”. Keempat, di hal: vii; dari anggota jemaat GKI….”PGGB”yang benar itu,“PGGP.” [*]

 

 

Alfonsa Wayap ( Penulis adalah jurnalis dan Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pemuda Katolik Pengurus Pusat(2021-2024)

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.