Oleh: Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Ada enam pilar dan kekuatan yang ditakuti bangsa kolonial atau penjajah firaun modern Indonesia yang menduduki dan menindas rakyat dan bangsa Papua, yaitu, kalau rakyat dan bangsa Papua Barat ada kesadaran, pendidikan yang baik; belajar, mengerti dan memegang sejarah bangsanya yang benar; solidaritas yang kuat antar-OAP (orang asli Papua) dan non-OAP di Papua dan luar Papua; persatuan dari berbagai suku (OAP dan non-OAP) di Tanah Papua; serta rakyat dan bangsa Papua Barat masih memelihara nilai-nilai kebudayaan asli seperti bahasa daerah.
Rakyat dan bangsa Papua Barat jangan sibuk mengurus atau mengganggu agama orang lain. Itu sama saja orang Papua menjadi bagian dari orang-orang yang menciptakan kekacauan dunia dan merusak solidaritas.
Sebaiknya, rakyat dan bangsa Papua Barat harus sibuk membangun iman masing-masing, supaya menjadi seperti lilin yang bercahaya untuk kedamaian dunia, Indonesia dan kedamaian permanen di Papua.
Orang asli Papua berkewajiban menjadi pelindung saudara-saudara Muslim, Hindu, Budha, Konghucu dan atheis atau sebaliknya. Kita boleh berbeda iman dan pandangan ideologi, tapi kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan dan kesetaraan. Orang Papua berjuang karena mempunyai hak politik untuk merdeka dan berdaulat; bukan melawan agama dan non-OAP. Orang Papua tahu siapa musuh atau lawan dan siapa kawan atau teman.
Ingat! Buka mata, pikiran, hati dan telingamu. Hai, orang-orang asli Papua, Anda sedang musnah atau mati pelan-pelan, Anda sudah dibuat hidup dalam kesadaran sejarah palsu dan semu; pendidikan yang porak-poranda, sejarah bangsamu dimusnahkan dengan dibakar, solidaritas dan persatuan dihancurkan, dan kebudayaan dihilangkan tanpa bekas.
Bangsa kolonial modern Indonesia selama 61 tahun (sejak 1 Desember 1961 sampai sekarang) membangun kesadaran palsu dan semu di antara orang asli Papua. Identitas kepapuaan OAP juga dilumpuhkan dan dijadikan keindonesiaan yang palsu.
Karena kesadaran palsu dan identitas yang dilumpuhkan dan dihancurkan, maka bangsa kolonial modern firaun Indonesia dengan mudah menduduki, menjajah, menindas, memperbudak, membunuh dan membinasakan penduduk asli Papua dan perampokkan tanah dan sumber daya alam; dari waktu ke waktu secara sistematis, terstruktur, terprogram, masif dan terpadu.
Dari enam kekuatan yang dilumpuhkan dan dihancurkan, saya mengangkat beberapa fakta sebagai contoh untuk dipelajari, diketahui dan dimengerti oleh pembaca yang mulia dan terhormat.
Di depan mata kita sekarang ialah Daerah Otonomi Baru (DOB) boneka Indonesia yang miskin administrasi dan pemaksaan dengan kepentingan politik dan militer untuk merampok sumber daya alam di Tanah Papua dan menyingkirkan penduduk asli Papua.
Ada dikotomi orang Papua pantai dan pegunungan yang dikemas dan dipelihara dengan baik oleh para penguasa kolonial firaun modern Indonesia. Bangsa kolonial sudah membuat pengelompokan Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Pegunungan Tengah.
Penguasa kolonial firaun modern Indonesia juga melarang buku-buku tentang sejarah bangsa Papua, sebagai berikut: Pembunuhan Theys Eluay: Kematian HAM di Papua (Dr. Benny Giay, 2005), Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (Socratez S. Yoman, 2007), Tenggelamnya Rumpun Melanesia (Sendius Wonda, 2007), dan Jeritan Bangsa (Sendius Wonda, 2009).
Pastor Frans Lieshout, OFM memberitahukan kepada kita perilaku-perilaku kejam dan barbar penguasa Indonesia dan TNI membakar buku-buku sejarah dan dokumen-dokumen penting tentang Papua. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda dibakar (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593).
Kejahatan kolonial modern Indonesia terhadap OAP yang paling kejam, biadab, dan primitif ialah membakar buku-buku sejarah dan dokumen-dokumen penting penduduk asli Papua. Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Indonesia disemangati dari rasisme, fasisme dan militerisme. Kekejaman dan kolonialisme primitif ini wajar karena Indonesia adalah pemerintahan berkultur militer. Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer (Amiruddin al Rahab dalam “Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme”. 2010: hal. 42).
Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 menyatakan: “Begitu mendapat tempat di Papua (setelah UNTEA 1 Mei 1963), para elite Indonesia yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal dan semua tulisan tentang sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan; semua dibakar di depan orang banyak di halaman kantor DPRP sekarang di Jayapura” (Acub Zainal dalam memoarnya “I Love the Army”). “Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (sekarang:TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs. Rusiah Sardjono.”
Pastor Frans Lieshout, OFM melayani orang Papua selama 56 tahun, sejak tiba di Papua, 18 April 1969 dan kembali ke Belanda, 28 Oktober 2019. Pastor Frans dalam surat kabar Belanda De Volkskrant (Koran Rakyat) diterbitkan 10 Januari 2020, menyampaikan pengalamannya di Tanah Papua:
“Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”
“Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.” (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593).
Fakta lain ialah pada April 1963, Adolof Henesby, Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digrebek untuk mencari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menyimpan lambang-lambang Papua” (TAPOL, Buletin No.53, September 1982).
Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno mengeluarkan Surat Larangan pada Mei Nomor 8 Tahun 1963.
“Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumuman, penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden.”
Rakyat dan bangsa West Papua tidak tahu apa itu Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Rakyat dan bangsa West Papua juga tidak tahu Pancasila, 17 Agustus 1945 dan bendera merah putih. Rakyat dan bangsa West Papua tidak tahu nama-nama pahlawan seperti Diponegoro dan lain-lain.
Pertanyaan yang dipertanyakan dalam tulisan ini ialah mengapa sejarah Belanda di West Papua dan sejarah bangsa West Papua tidak pernah diajarkan dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi di West Papua? Rakyat dan bangsa West Papua sejak 1 Mei 1963 hidup dan hafal serta belajar sejarah bangsa kolonial Indonesia.
Mari, kita sadar, bangkit, bersatu dan lawan kesadaran palsu, kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan, rasisme, fasisme, dan militerisme, kapitalisme, kolonialisme Indonesia yang berlangsung secara konstitusional, sistematis, terstruktur, masif dan kolektif di West Papua dan berdampak sangat buruk terhadap keberlangsungan kehidupan rakyat dan bangsa West Papua. (*)
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP), anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC), anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC), dan anggota Baptist World Alliance (BWA)