(Beberapa “Sakramen” dan Simbol Pemersatu OAP)
Oleh : Siorus Degei
lata sudah bersama menyelami dan mendalami Pinang sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua.
Berikut kita akan melihat dan merefleksikan bersama bagaimana Spritualitas Kopi sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua.
Kopi Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu OAP
Kopi adalah minuman hasil seduhan biji kopi yang telah disangrai dan dihaluskan menjadi bubuk. Kopi merupakan salah satu komoditas di dunia yang dibudidayakan lebih dari 50 negara.
Jenis Biji Kopi: Kopi Arabika. Kopi arabika; Kopi Robusta; Kopi Liberika, Racemosa, Excelsa. Jenis kopi ini berasal dari afrika; Kopi Luwak. Luwak makan biji kopi. Dua spesies pohon kopi yang dikenal secara umum yaitu Kopi Robusta (Coffea canephora) dan Kopi Arabika (Coffea arabica), (https://id.wikipedia.org/wiki/Kopi, 24/11/2022).
Pegunungan Bintang rupanya terkenal sebagai salah satu penghasil kopi Arabika terbaik di pegunungan Papua. Kopi ini berjenis Arabica Typica. Kopi tersebut ditanam secara organik dengan mengandalkan kebaikan alam. Kopi ini bertipikal rasa berry, jeruk, peach atau apricot.
Proses pembuatan kopi antara lain; sebelum dapat diminum melalui proses panjang, yaitu dari pemanenan biji kopi yang telah matang baik dengan cara mesin maupun dengan tangan kemudian dilakukan pemrosesan biji kopi dan pengeringan sebelum menjadi kopi gelondong.
Proses selanjutnya, yaitu penyangraian dengan tingkat derajat yang bervariasi. Setelah penyangraian, biji kopi digiling atau dihaluskan menjadi bubuk kopi sebelum kopi dapat diminum.
Sejarah mencatat bahwa penemuan kopi sebagai minuman berkhasiat dan berenergi pertama kali ditemukan oleh bangsa Etiopia di Benua Afrika sekitar 3000 tahun (1000 SM) yang laluKopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.
Indonesia sendiri telah mampu memproduksi lebih dari 400 ribu ton kopi per tahunnya. Di samping rasa dan aromanya yang menarik, kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu, dan berbagai penyakit jantung.
Seperti sudah disentil di atas bahwa Papua menjadi salah satu Rumah Penghasil Kopi terbesar di Indonesia jika diperhatikan secara proporsional dan profesional oleh masyarakat Papua sendiri dan pihak-pihak atau aktivis petani atau praktisi kopi yang mumpuni dan berbakti.
Beberapa kopi di Papua sudah goo internasional dan diminati peminat dan penikmat kopi mancanegara. Sebut saja Kopi di Lembah Baliem, Wamena, Kopi Amungme, dan Kopi Pegunungan Bintang, (https://travel.tempo.co/read/1364961/3-kopi-papua-paling-diburu-di-mancanegara, 24/11/2022).
Hal ihwal yang hendak penulis tegaskan di sini adalah bahwa kopi di Papua sudah menikah entitas vital lainnya selain Roko dan Pinang. Penulis menyebut ketiga hal ini sebagai “tri-tunggal” pemersatu bangsa Papua.
Agak kurang lengkap jika Roko, pinang, dan kopi dinikmati secara terpisah-pisah. Kenikmatan dari Roko, Pinang dan Kopi akan terasa kurang. Tiga tri-tunggal ini mesti eksis secara bersamaan sebagai satu jiwa dan satu bangsa.
Banyak orang serumah memplesetkan kopi sebagai Ketika Otak Perlu Inspirasi. Ada juga yang sering memplesetkan Ngopi sebagai “Ngomong Pintar” atau “Ngobrol Pintar” atau “Ngobrol Politik Indonesia”.
Kita juga tentu masih ingat dengan salah satu kawakan komika handal dan fenomenal di Indonesia, yakin WARKOP DKI yang adalah akronim dari “Warung Kopi Dono, Kasino, dan Indro”.
Istilah warung kopi menjadi semacam “kode alam” atau “bahasa kode” pada generasi muda saat itu untuk berdiskusi di warung-warung kopi. Hal ini dilakukan sebab seperti yang kita ketahui bersama bahwa saat itu, tepat saat era orde baru, di mana Soeharto memimpin dengan tangan besi yang berwatak dan berotak Diktator serta Otoriter, tentu pintu demokrasi sangat tertutup bagi mahasiswa dan rakyat.
Sehingga warung-warung kopi digunakan sebagai tempat untuk berdiskusi, berdebat, dan membahas situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi dan religi di Indonesia saat itu yang penuh kesenjangan dan ketimpangan menyolok mata hati naluri dan nurani.
Alhasil pada 1998 rezim otoriter dan ditaktor Soeharto berhasil ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat Indonesia secara massal, komunal dan komprehensif se-Indonesia.
Hingga kini tabiat dan geliat demokrasi warung itu sudah bermetamorfosis dan bertransformasi ke arah yang lebih maju dan canggih lagi, yakni kafe, restoran dan hotel.
Sehingga kini kita kenal dengan istilah “demokrasi kafe”, “demokrasi restoran”, dan “demokrasi hotel”. Ada juga istilah “kuliah kafe”, “kuliah restoran”, dan “kuliha hotel”, atau “kelas kafe, restoran dan hotel”. Ada istilah “katekese Kafe, Restoran, dan Hotel”.
Hal ini memang nyata dan fakta sebab dewasa ini banyak hotel, restoran, dan kafe yang menjadi destinasi wisata politik dan demokrasi.
Banyak organisasi politik, partai politik dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, hukum, ekonomi dan religi yang menjadikan Hotel, Restoran, dan Kafe sebagai tempat untuk berdiskusi, rapat, sidang, kongres, wisuda, ulang tahun, pernikahan, seminar, kuliah, dan kegiatan-kegiatan resmi kelembagaan lainnya.
Di Papua sendiri, budaya kopi di bawah oleh para misionaris perintis. Kita tahu budaya kopi bukanlah murni budaya orang Papua. Bahwa itu adalah budaya asing yang dibawa oleh para misionaris dan Perintis.
Para misionaris dan Perintis sudah mempelajari antropologi, sosiologi, geografi dan topografi bangsa dan tanah Papua. Sehingga ketika menginjakkan kaki di daerah-daerah yang notabene beriklim tropis dan bersuhu dingin, tentu para misionaris ini akan membawa bekal yang mampu memastikan mereka bisa bertahan lama berkarya di suatu ekosistem kehidupan yang sangat kontras dengan ekosistem kehidupan mereka sebelumnya.
Tiga wilayah Papua yang kopinya diminati oleh para penikmat kopi mancanegara di atas, seperti Kopi Wamena, Kopi Amungme dan Kopi Pegunungan Bintang, belakang muncul lagi kopi Moanemani (Kabupaten Dogiyai) mau menegaskan bahwa kopi-kopi tersebut merupakan buah tangan dan karya tani dari para misionaris awal-awal yang ditugaskan untuk bermisi di daerah-daerah tersebut.
Juga jika kita telisik secara geografis dan topografis, iklim ekologis di daerah-daerah itu tentu sangat dingin dan berada di atas ketinggian pegunungan yang menjulang. Sehingga kualitas kopi yang dihasilkan pun memiliki kualitas dan khasiat yang original, alami dan nikmat.
Dalam konteks kehidupan orang Papua sehari-hari tentu kita tidak asing lagi dengan kata-kata seperti berikut, “ada yang pu kopi k?”, “nan selesai minum kopi sedikit baru tong jalan pulang”, “kita ikut duka sudah, supaya sambil bandar kopi to”, “tong bandar kopi sudah”, “kumpul rameh-rameh begini, tong sumbang-sumbang lagi bole supaya pake beli Kopi, Roko deng pinang!”, “sioo ini kalo ada Roko, Kopi deng Pinang ni lengkap sudah oo!”, “sioo ini kurang kopi saja ni kam!”, “ko biasa minum kopi apa, hitam k kopi susu?”, “Sa minum kopi susu saja ee!”, “Kopi hitam tua begini boleh oo de nikmat apa?”, dan kata-kata lainnya.
Kata-kata di atas merupakan ekspresi-ekspresi simbolik yang menegaskan kecintaan orang Papua kepada kopi. Atau kata-kata mau mendeskripsikan tentang bagaimana pengaruh Kopi itu dalam interaksi, relasi dan komunikasi sosial orang Papua.
Bahwa kopi menjadi salah satu jamuan perekat, pelekat, pemersatu bagi bangsa Papua. Sebab hanya dengan kopi saja atau jika ada kopi saja maka suatu diskusi, debat, diskursus dan relasi komunikasi sosial di antara orang asli Papua baik yang dari gunung, lantai, selatan, barat, timur, Utara, tengah, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang tua, mahasiswa, dosen, guru, murid, suku A Suku B, Agama A Agama B, Partai A dan Partai B dan lainnya bisa duduk bersama secara damai, humanis, penuh kepercayaan diri, penuh keterbukaan bisa berdialog dan berinteraksi sebagai satu keluarga, sahabat, komunitas dan saudara sebangsa dan setanah air.
Kopi dan pinang tidak sama dengan Roko. Kopi dan pinang bisa dibilang juga sebagai simbol kesetaraan atau feminisme. Sebab keduanya dapat dinikmati oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Tidak ada pengecualian atau pembatasan dalam hal penikmatannya. (Bersambung.)*
)* Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur Abepura-Papua.