(Beberapa “Sakramen” dan Simbol Pemersatu OAP)
Oleh : Siorus Degei
Dari hal-hal yang bersifat kuliner kultural yang terpatri hingga dewasa ini sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu bangsa Papua. Sekarang kita akan melaju dan masuk pada pembahasan yang lebih bersifat seni atau estetis, yaitu seni olahraga, dalam ini sepakbola, (https://id.wikipedia.org/wiki/Sepak_bola, 24/11/2022).
Sepak Bola Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu OAP
Sepakbola bukan murni berasal dari salah satu permainan tradisional orang Papua. Olahraga sepakbola lagi-lagi dibawah pertama kali ke Papua oleh para misionaris dan Perintis asing yang saat itu berkarya di Papua.
Olahraga ini diajarkan di sekolah-sekolah, dan dimainkan oleh orang-orang asing sendiri. Namun sering berkembangnya waktu. Olahraga sepakbola mulai dimainkan oleh orang asli Papua saat itu.
Sepak bola sendiri adalah salah satu cabang olahraga tim, yang masing-masing pemainnya umumnya memainkan suatu bola khusus (yang disebut bola sepak) dengan kaki mereka di atas lapangan khusus.
Olahraga ini dimainkan oleh dua tim yang masing-masing beranggotakan 11 (sebelas) orang pemain inti dan beberapa pemain cadangan. Memasuki abad ke-21, olahraga ini telah dimainkan oleh lebih dari 250 juta orang di 200 negara.
Sepak bola bertujuan untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya dengan memasukan bola ke gawang lawan. Sepak bola dimainkan dalam lapangan terbuka yang berbentuk persegi panjang, di atas rumput atau rumput sintetis.
Secara umum, hanya penjaga gawang saja yang berhak menyentuh bola dengan tangan atau lengan di dalam daerah gawangnya, sedangkan 10 (sepuluh) pemain lainnya diizinkan menggunakan seluruh tubuhnya selain tangan, biasanya dengan kaki untuk menendang, dada untuk mengontrol, dan kepala untuk menyundul bola.
Tim yang mencetak gol paling banyak pada akhir pertandingan menjadi pemenangnya. Jika hingga waktu berakhir masih berakhir imbang, maka dapat dilakukan undian, perpanjangan waktu maupun adu penalti, bergantung pada format penyelenggaraan kejuaraan.
Salah satu Tim kebanggaan bangsa Papua adalah Persipura. Lahirnya klub Persipura pada 25 Mei 1965. Dengan bakat alamnya, para pemuda pemain Persipura dijadikan kemiripan dengan negara penghasil pemain sepak bola berkelas dunia yakni Brasil. Persipura seperti Brasil-nya Indonesia. Prestasi Persipura pernah menjuarai perserikatan pada 1980,(https://www.kulturnativ.com/gaya-hidup/pr-701274264/sejarah-klub-sepak-bola-persipura, 24/11/2022).
Persipura Jayapura yang berjulukan Mutiara Hitam itu tampil secara melegenda dan menyejarah dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Klub kebanggaan masyarakat Papua pada khususnya dan Indonesia Timur pada umumnya ini tercatat empat kali meraih trofi juara Liga Indonesia yakni pada musim 2005, 2009, 2011 dan 2013. Persipura pun meraih runner-up pada 2010, 2012 dan 2014.
Karena merasa Persipura hadir sebagai ancaman bagi klub-klub sepakbola lainnya di tanah air. Tetapi lebih daripada itu karena alasan politis. Maka Persipura mulai dironrong oleh oknum-oknum dan pihak-pihak internal maupun eksternal Persipura guna meredamkan Persipura pada kelas degradasi dan liga 2 persepakbolaan Indonesia.
Perluh dicatat secara kritis dengan menggunakan tinta merah oleh semua dan setiap pihak serta oknum yang peduli pada eksistensi Persipura dalam rahim persepakbolaan IIndonesi.
Bahwa setiap Club sepakbola di Indonesia selaluh dan tidak pernah tidak memiliki yang dijagokan, diandalkan dan menjadi motor penggerak bagi pemain lain, khusus pemain kawula.
Ada nama Lionel Messi di Barcelona (sebelum berpindah ke PSG Paris), ada Cristiano Ronaldo di Real Madri (sebelum berpindah ke Juventus dan Manchester United), dan juga sudah sangat pasti di Club lainnya, terdapat juga sosok-sosok yang mampu tampil sebagai Hero Tim.
Teruntuk di Persipura, setelah Edward Ivakdalam dan selain Boaz Salossa, belum ada pemain pengganti yang sanggup mengapit spirit mutiara hitam itu dengan begitu tersohor.
Bahwa Roh di balik kejayaan Persipura selama ini, sehingga seluruh tampil sebagai “Fajar Timur” yang mengharumkan fitrah dan marwah bangsa Papua lebih khusus, dan Indonesia Timur secara umum, yang notabenenya teramat terbelakang dan kerdil dalam perspektif politik diskriminatif Jakarta, Pemerintah Pusat.
Reggae Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu OAP
Reggae adalah aliran musik yang awalnya dikembangkan di Jamaika pada akhir era 60-an. Sekalipun kerap digunakan secara luas untuk menyebut hampir segala jenis musik Jamaika, istilah reggae lebih tepatnya merujuk pada gaya musik khusus yang muncul mengikuti perkembangan ska dan rocksteady.
Berbicara soal musik reggae berarti tidak terlepas dari dua sosok legenda dalam aliran musik yang diminta bangsa-bangsa berkulit hitam dan berambut keriting itu, yakni Bob Marley dan Lucky Dube. Robert Nesta Marley atau lebih dikenal dengan Bob Marley (6 Februari 1945 – 11 Mei 1981) adalah seorang penyanyi, pencipta lagu, dan musisi reggae berkebangsaan Jamaika. Bob Marley sampai saat ini dikenal di seluruh dunia sebagai musisi reggae yang paling tersohor dalam dunia musik reggae. Dia diakui perannya dalam memopulerkan dan menyebarkan musik Jamaika dan Gerakan Rastafari ke seluruh dunia, (https://id.wikipedia.org/wiki/Bob_Marley, 24/11/2022).
Sementara Lucky Philip Dube (diucapkan duu-beh; 3 Agustus 1964 – 18 Oktober 2007) adalah seorang musisi reggae dan rastafarian Afrika Selatan yang dianggap sebagai salah satu musisi terpenting dalam sejarah musik Afrika dan salah satu musisi reggae terbesar sepanjang masa, (https://en.wikipedia.org/wiki/Lucky_Dube, 24/11/2022).
Selain sebagai musisi reggae fenomenal, Lucky juga merupakan seorang pejuang kebenaran, keadilan, kedamaian kebebasan, kemanusiaan, kemerdekaan bangsa Afrika Selatan melalui Musik Reggae.
Lucky Dube dan para musikus reggae sebelumnya, seperti Bob Marley dan sesudahnya di Afrika memaknai musik reggae sebagai simbol perlawanan, pergerakan dan perjuangan kepada rezim kolonialisme, kapitalisme, imperialisme dan liberalisme.
Lucky Dube Legenda reggae yang lahir di Afrika Selatan tetapi dihormati secara global merekam 22 album dalam bahasa Zulu, Inggris, dan Afrika dalam periode 25 tahun dan merupakan superstar reggae terlaris di Afrika Selatan hingga saat ini. Dube dibunuh di Rosettenville pinggiran kota Johannesburg pada malam tanggal 18 Oktober 2007.
Orang Papua banyak terinspirasi dari Musik Reggae sebagai simbol perlawanan dan perjuangan menuju pembebasan dan alam perdamaian. Itulah Roh dan spiritualitas musik reggae yang sesungguhnya. Bukan sebagai topeng dan tameng untuk meloloskan agenda-agenda penjajahan, penderitaan dan penindasan bangsa dan tanah air.
Ekspresi kecintaan bangsa Papua akan musik reggae, Bob Marley dan lucky Dube itu termanifestasikan melalui kebangkitan musik lokal berbasis kebudayaan di Papua, yakni Mambesak. Mambesak adalah grup musik rakyat Papua yang dibentuk tahun 1978 di Universitas Cenderawasih. Mambesak mengangkat tema permasalahan politik Papua, seperti tentangan terhadap masalah lingkungan akibat industri pertambangan. Pada tahun 1984, tokoh utama grup ini, Arnold Ap, ditembak mati oleh militer Indonesia.
Selain Mambesak, orang Papua juga membentuk salah satu Grup Band tersohor, yakni Black Brothers. Black Brothers adalah grup band beranggotakan enam pemusik asal irian jaya Papua, yakni Hengky MS ‘Mirantoneng Sumanti’, Benny Bettay, Jochie Pattipeiluhu, Amry Kahar, Stevie Mambor, David Rumagesan. Andi Ayamiseba menjadi melengkapi formasi grup band yang beraliran musik pop, rock ini sebagai manager.
Karena dicurigai oleh rezim Suharto hingga Megawati, Group Band Black Brothers ini mulai diteror dan diintimidasi oleh aparat keamanan. Nasip mereka sama dengan nasip pendahulu, yakni Mambesak, bahkan persis juga seperti yang dialami oleh Bob Marley dan Lucky Dube. Barangkali inilah karakteristik dan spiritualitas kemartiran musik reggae. Bahwa barangsiapa bernyanyi untuk hidup, maka hidupnya akan serupa dengan alunan musiknya yang tidak pernah tenang, pelan dan lambat, selalu cepat, kuat, dan revolusioner. Bahwa kehidupan mereka layaknya suatu misteri sebagaimana judul lagu terakhir yang diciptakan oleh Arnold C. Ap di dalam tahanan Polda Jayapura oleh Kopassus.
Bagi bangsa Papua lagu reggae, Bob Marley, Lucky Dube, Mambesak, Arnold Ap, Black Brothers, Black Papas, Black Sweet dan lainnya hingga kini menjadi Sakramen dan Simbol Pemersatu bangsa Papua. Bahwa melalui musik reggae, suatu saat Papua pasti damai dan merdeka.
Sehingga orang Papua walaupun dibantai secara membabi buta sejak masa Aneksasi 1962 hingga detik. Orang asli Papua tidak mundur dari jalan perjuangan dan perlawanan yang sudah sangat tua. Orang asli Papua selama percaya diri dan penuh optimisme bahwa mereka pasti bisa menaklukkan penjajah Indonesia dan sekutunya.
Akhirul Kata
Sebenarnya masih banyak hal-hal fundamental, subtansial dan esensial yang selalu menjadi Sakramen dan Simbol Pemersatu bangsa dan tanah Papua. Namun pada kesempatan penulisan kali ini penulis hanya bisa meringkasnya menjadi lima, yakni Roko, Pinang, Kopi, Sepak Bola dan Musik Reggae.
Penulis menilai bahwa kelima hal sederhana ini mampu memutuskan mata rantai dan mampu merobohkan tembok-tembok polarisasi, segmentasi dan segregasi yang adalah manifestasi daripada praktek politik perpecahan dan adu domba dari neokolonial yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mari join roko dari Sorong sampai Samarai dan rawat jalan Melanesia. Mari tanam pinang, mari makan pinang, mari merahkan seluruh teritori West Papua dengan semburan luda pinang. Mari tanam kopi, mari minum lokal dari daerah masing-masing khas Papua seraya membicarakan nasip bangsa dan tanah air.
Mari main bola, jangan jadi pemawai karya sepakbola orang dan negara lain, mari berbangga dengan mutiara-mutiara hitam Papua yang gemilang di atas lapangan hijau.
Dan mari putar musik reggae (lagu Bob Marley dan Lucky Dube), musik Mambesak, musik Black Brothers, Black Papas, Black Sweet dan musik perlawanan, perjuangan, pembebasan dan perdamaian lainnya jika kita sulit Menyayikan secara lantang mengitari seluruh bumi West Papua.
)* Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur Abepura-Papua.