(Beberapa “Sakramen” dan Simbol Pemersatu OAP)
Oleh : Siorus Degei
Kita sudah melihat dan merefleksikan bersama Roko sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua. Berikut kita akan mendalami pula misteri yang sama dan satu, yakni Pinang Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua.
Pinang Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu OAP
Sebelum jauh membahas dan mengupas Pinang Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua, kita akan lebih dahulu mengenal sebenarnya Pinang Itu Apa? Atau Apa Itu Pinang?
Mengenal Pinang
Pinang adalah sebutan untuk salah satu makanan adat atau semacam pencuci mulut yang khas di masyarakat Papua, terutama di wilayah pesisir pantai, Kepulauan dan rawa.
Pinang sendiri merujuk pada tiga entitas, yaitu Buah Pinang Sendiri, Kapur, dan Sirih. Kita akan mengenalnya satu persatu.
Pertama, Pinang atau nangpi (Areca catechu) (bahasa Inggris: Betel palm) adalah salah satu jenis tumbuhan monokotil yang tergolong palem-paleman. Pohon pinang masuk ke dalam famili Arecaceae pada ordo Arecales.
Pohon ini merupakan salah satu tanaman dengan nilai ekonomi dan potensi yang cukup tinggi. Tanaman yang memiliki batang lurus dan ramping ini memiliki banyak sekali manfaat dan umum dikenal sebagai tanaman obat, (https://id.wikipedia.org/wiki/Pinang, 24/11/2022).
Ada dua jenis pinang yang biasa dikonsumsi di Papua, yakni Pinang Buah dan Pinang Kebe. Pinang buah adalah pinang dalam bentuk buah yang dikonsumsi langsung bersama Kapur dan Sirih sebagai “tri-tunggal”.
Sementara pinang kebe adalah buah pinang yang sudah diiris pipi dan dijemur hingga kering berwarna coklat keriput. Jika dikonsumsi bedanya pinang buah akan meninggalkan ampas buah pinang, sedangkan pinang kebe tidak meninggalkan ampas sama sekali.
Namun, jika dikonsumsi berlebihan, buah pinang berpotensi menimbulkan efek samping berbahaya bagi kesehatan. Seperti, menimbulkan peradangan mulut, mengganggu kesehatan saraf dan otak, serta membahayakan kehamilan dan janin.
Potensi khasiat buah pinang yaitu menambah energi, menjaga kesehatan jantung, melindungi hati dari kerusakan, berpotensi menurunkan risiko kanker, berpotensi mengurangi gejala skizofrenia (gangguan kronis pada otak).
Kedua, Sirih. Sirih adalah tanaman asli Indonesia yang tumbuh merambat atau bersandar pada batang pohon lain. Sebagai budaya daun dan buahnya biasa dikunyah bersama gambir, pinang, tembakau dan kapur. Namun mengunyah sirih telah dikaitkan dengan penyakit kanker mulut dan pembentukan squamous cell carcinoma yang bersifat malignan.
Ketiga, Kapur. Kapur sirih atau kalsium hidroksida adalah produk yang dihasilkan dari campuran kalsium oksida dan air. Zat ini memiliki pH basa yang kuat dan tidak berbau.
Zat kimia ini juga kerap digunakan pada industri seperti pengolahan limbah, produksi kertas, konstruksi hingga pengolahan makanan.
Secara sederhana Buah Pinang, Sirih dan Kapur merupakan sebuah pencuci mulut yang khas bukan saja di Papua, tapi di beberapa daerah Indonesia Timur lainnya seperti di NTT, Ambon, Sulawesi Selatan, bahkan budaya seperti itu juga ada di beberapa wilayah Nusantara lainnya. Sehingga budaya makan pinang ini menjadi budaya yang tidak cukup asing di Indonesia, khususnya di Papua.
Di Papua sendiri budaya makan pinang ini juga tidak murni milik seluruh orang asli Papua. Seperti sudah disinggung sedikit di atas bahwa budaya makan pinang ini hanya dikenal di beberapa daerah pesisir pantai, kepulauan, dan muara berawa.
Secara wilayah adat budaya makan pinang ini eksis di wilayah Saireri, Bomberai, Domberai, Anim Ha, dan Mamta. Sementara wilayah adat seperti Meepagoo dan Lapago yang notabene wilayah dataran tinggi dan pengunungan budaya makan pinang sangat jarang dijumpai.
Jika demikian kenapa saat ini banyak orang gunung yang berasal dari Lapago dan Meepago yang makan pinang semacam itu menjadi budaya asli mereka?
Berikut penulis hendak memberikan beberapa pendasaran klasik yang selalu muncul sebagai mekanisme defensif dari orang-orang gunung di Papua dalam rangka mengonsumsi pinang, bahkan sudah terkanonisasi sebagai budayanya pula:
Pertama, sebagai bentuk respek, apresiasi dan doksolosgis terhadap budaya bangsa Papua lainnya. Dalam hal ketika seseorang yang notabene orang gunung pergi studi di wilayah yang notabene wilayah pesisir pantai yang kental dengan budaya makan pinang.
Katakanlah ada pemuda atau pemudi asal Meepago dan Lapago yang pergi studi di kota Jayapura atau di Nabire, sudah barang tentu jika masa studinya itu berlangsung lama maka secara fisiologis ada hal-hal tertentu yang mesti ia sesuaikan.
Bahwa ada proses inkulturasi, akulturasi dan asimilasi yang terjadi. Salah satu yang paling kentara adalah dengan mengadopsi budaya makan pinang.
Memang secara hukum adat yang berlaku di daerah adat di Lapago dan Meepago misalnya tidak membolehkan budaya makan pinang atau meharami budaya makan pinang sebab implikasinya adalah bahwa orang tersebut akan dijauhi oleh para leluhur yang menjadi penjaga dan malaikat pelindungnya sebab sesuatu yang ia sentuh dan makan itu secara budaya asing dan tidak sesuai dengan budaya asalnya.
Alasan di atas sangat baik, logis dan masuk akal jika kita pandang dengan kacamata antropologi atau kebudayaan. Namun jika kita pandang dari kacamata sosiologis apakah hal demikian dapat dibenarkan? Ada banyak kemungkinan bisa benar bisa tidak.
Bahwa yang harus diperhatikan dalam budaya makan pinang ini adalah etensi atau motivasi dasariah seseorang makan pinang. Ia harus tahu konteks, situasi, kondisi secara antropologis dan sosiologis kenapa ia makan pinang? Untuk apa dan Siapa?
Yang harus dihindari di sini adalah jika ia makan pinang yang secara etensial itu sudah dikhususkan untuk upacara atau ritual adat yang dipersembahkan bagi para leluhur di wilayah pesisir pantai, nah pinang-pinang seperti inilah yang mesti dihindari untuk tidak dikonsumsi.
Bahkan bukan saja orang gunung saja yang tidak boleh mengonsumsi pinang upacara adat orang-orang pesisir sendiri pun tidak diperkenankan secara kultural untuk mengonsumsi pinang-pinang tersebut, hanya oknum dan pihak-pihak tertentu saja yang secara sah, layak, pantas dan resmi untuk mengonsumsi pinang-pinang tersebut.
Makan pinang dalam konteks seperti di atas itulah yang secara antropologis dan sosiologis dilarang untuk dikonsumsi oleh orang diluar dari komunitas masyarakat kebudayaan terkait.
Sementara makan pinang saat diskusi, saat duduk bersama, saat berkomunikasi, saat berjumpa dan berdialog, saat bergaul, dan saat-saat di ruang publik dalam wilayah adat yang sah untuk mengonsumsi pinang maka itu tidak akan pernah menyalahi hukum masyarakat adat ssetempat
Bahwa justru masyarakat adat setempatlah yang akan menyambut tamu-tamunya pertama-tama dengan jamuan makan pinang bersama.
Tujuan sederhana yaitu agar leluhur, alam dan penjaga wilayah tersebut bisa menerima tamu yang sedang berkunjung, berkerja, merantau, studio dan beraktivitas di wilayah tersebut.
Sehingga orang asing yang menjadi tamu itu merasa aman, nyaman, dan damai tenang ketika tinggal, beraktivitas dan hidup di daerah tersebut.
Semisal dalam contoh yang di atas, di mana agar pemuda dan pemudi asal Lapago dan Meepago itu dapat menyelesaikan masa-masa studinya dengan baik, lancar dan tanpa gangguan maka paling kurang mereka harus minta permisi terlebih dahulu dengan alam dan leluhur yang menghuni kota Nabire, Jayapura sebagai kota Studi.
Salah satu tata caranya dengan makan pinang. Nanti ketika mereka sudah pulang ke kampung halamannya atau keluar dari zona ekologi masyarakat berbudaya makan pinang baru mereka bisa mengurangi untuk tidak mengonsumsi pinang, sebab memang akan akan konfrontasi atau pertentangan energi spiritual kebudayaan.
Kurang lebih demikian dinamika dan dialektika budaya makan pinang di Papua. Sekarang kita akan melihat bagaimana budaya pinang itu tampil dan berandil sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua.
Pertama, budaya makan pinang sekarang bukan lagi 100% milik kepunyaan orang pantai di Papua, tetapi sudah menjadi makanan khas Papua.
Hal ini terbukti dengan fenomena-fenomena yang senantiasa kita saksikan di mana dewasa ini budaya makan pinang itu sudah menjadi budaya bangsa Papua.
Hampir di semua wilayah di Papua ada tempat jual pinang, ada banyak mama-mama Papua berjualan pinang di emperan pasar di toko dan di pinggir jalanan raya, banyak anak-anak Papua yang bisa menjadi sarjana dari hasil usaha jualan pinang, ada bekas atau jejak luda pinang di hampir sudut dan alun-alun seluruh kota di Papua yang menjadi ciri khas Papua.
Hal ihwal yang mau ditegaskan adalah bahwa dewasa ini budaya makan pinang itu sudah menjadi budaya Papua, bukan budaya orang Papua di pesisir pantai dan kepulauan. Bahkan kini orang gunung terlihat lebih pantai sebagai pengonsumsi pinang yang tulen.
Kedua, sama seperti Roko, sepertinya kurang lengkap jika forum-forum diskusi, pertemuan, pembicaraan, perkumpulan, dan atau keramaian orang Papua tidak ada pinang yang menemani Roko.
Pinang menjadi “konco” Roko bak dwitunggal Soekarno-Hatta yang tak terpisahkan. Kita pasti sering mendengar atau mengatakan kata-kata yang lazim dan tidak asing ini, “ We sa ada bawah pinang ni siapa yang biasa makan?”, “ado-ado tong duduk bagus-bagus tapi trada pinang ni sial juga coba yang ada buang beli dolo!”, “sio isap roko begini ada pinang boleh oo”, “ini kurang pinang aja ni”, “isap Roko bagus begini dengan pinang lagi bole oo”, “kita duduk bagus begini ada pinang boleh oo”, “ini ko pi beli pinang di mace depan de pu buah pinang bagus-bagus”, “kam biasa makan pinang kebe k buah?”, dan kata-kata seputar kepentingan dan kenikmatan budaya makan pinang lainnya dalam masyarakat Papua yang sudah sangat familiar dengan kita.
Kita bisa bayangkan mungkin hanya buah pinang itu saja yang dinikmati secara terpisah, tapi Sirih dan Kapurnya itu dinikmati secara bersamaan. Bahwa biasanya sirih yang dikonsumsi itu bisa dijoin kepada yang lainnya dengan cara dipotong menjadi beberapa bagian sesuai jumlah orang yang mengonsumsinya.
Sementara Kapur yang dikonsumsi itu biasanya dipegang oleh satu orang dan dicolo-colo oleh para penikmat pinang tersebut, fungsi kapur saat ini seperti ini sambal ketika orang makan rujak.
Dari sinilah kita melihat ada ikatan emosional yang semakin terjalin erat dan kuat. Bahwa pengalaman makan pinang bersama di pasar, di pinggir jalan, di halaman rumah, di para-para adat, di basecamp, di markas besar dan lainnya itu menjadi stimulus-stimulus atau implus-implus rangsangan Pemersatu bagi bangsa Papua.
Hingga kini belum ada budaya makan bersama di Papua yang bisa merajut tali kekeluargaan, persahabatan, persaudaraan dan persatuan seperti pinang. Memang ada budaya Bakar Batu, namun budaya tersebut tidak bisa terjadi setiap saat, di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja.
Sama saja dengan budaya “Makan Rica Garam” atau Rujak, sebab budaya itu akan muncul di saat-saat musim buah, semisal musim buah mangga, musim buah jambu, dan buah-buahan lainnya.
Bahwa karena orang Papua itu penuh kasih maka secara tidak sadar dan tidak langsung ada semacam semangat simpati, empati dan solidaritas yang terjadi secara alamiah dalam kehidupan orang Papua.
Bahwa apa mereka makan, minum, miliki, punya, rasakan, dan nikmati itu pun mesti dibagi-bagi kepada sesama yang lainnya terlebih mereka yang membutuhkan.
Penulis melihat itu sebagai sebuah model, modal dan bekal pembangunan dan kemajuan bangsa Papua menuju perabadan yang lebih maju.
Ketiga, dari pembahasan poin pertama dan kedua di atas kita tahu bahwa kini pinang sudah menjadi bahasa yang bisa dimengerti, dipahami dan diterima oleh semua orang Papua.
Bahwa pinang sudah menjadi sarana perekat relasi kekerabatan, kekeluargaan, persahabatan dan persaudaraan di antara orang Papua yang beranekaragam itu.
Sehingga dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa Pinang Menjadi salah satu Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua yang mesti terus diproteksi, diproduksi dan didistribusikan bukan saja oleh orang Papua di pesisir pantai tapi oleh semua orang Papua, termasuk orang Papua di pegunungan. Sebab hanya pinang yang bisa mempersatukan orang Papua dalam satu Honai bangsa Papua. (Bersambung.)*
)* Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur Abepura-Papua.