Rokok, Pinang, Kopi, Sepak Bola dan Reggae (1/5)

Salah seorang sedang memegang roko - Doc. Papuans Photo
Salah seorang sedang memegang roko - Doc. Papuans Photo

(Beberapa “Sakramen” dan Simbol Pemersatu OAP)

Oleh : Siorus Degei

Pada penulisan kali ini penulis hendak mengangkat beberapa hal fundamental dalam sejarah peradaban bangsa Papua yang kadang-kadang dianggap remeh-temeh oleh orang Papua sendiri, dan terlebih oleh komunitas masyarakat di luar Papua.

Objek-objek vital dalam sejarah peradaban bangsa Papua yang hendak Penulis angkat tersebut memang terkesan sangat lumrah, lazim dan sederhana, namun tepat pada saat yang sama pula rupanya bangsa Papua hingga hari ini belum begitu sadar, paham, dan menghayati hal-hal tersebut sebagai sarana-sarana keselamatan dari alam, luhur dan Tuhan.

Beberapa hal tersebut penulis sebut sebagai simbol-simbol pemersatu bangsa Papua atau sakramen-sakramen penyelamatan perabadan orang asli Papua yang kian hari kian terancam eksistensinya lantaran desain dan settingan penjajahan yang mulus, halus dan rapih dari bangsa Indonesia dan sekutunya.

Simbol-simbol pemersatu bangsa dan atau sakramen-sakramen penyelamatan perabadan bangsa Papua yang penulis maksudkan tersebut antara adalah; Roko, Pinan, Persipura dan Musik Reggae. Mengapa demikian?

Bacaan Lainnya

Berikut penulis hendak mengeledah, meretas dan mengupas lima entitas pemersatu dan Penyelamat bangsa Papua di atas.

Namun sebelumnya perlu ditegaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Simbol dan Sakramen oleh penulis dalam penulisan kali ini?

Apa Itu Simbol?

Secara etimologis, kata Simbol berasal dari bahasa Yunani symballo yang artinya melempar bersama-sama, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau gagasan objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat mengantarkan seseorang ke dalam gagasan masa depan maupun masa lalu.

Dalam kamus Antropologi dikatakan bahwa simbol adalah tanda yang mengandung arti atau nilai yang dihubungkan dengan sesuatu (benda, tradisi, budaya, bahasa dan lainnya yang ditunjukkan berdasarkan kebiasaan atau kebudayaan setempat.

Simbol merupakan keseluruhan dari kejadian-kejadian dan kenyataan-kenyataan yang dialami langsung maupun tidak langsung dalam pengalaman hidup bersama secara dinamis di suatu tempat dalam hidup.

Arti dan makna simbol yang yang akan kita pakai dalam penulisan kali ini adalah simbol sebagai sebuah tanda yang bermakna dan berharga bagi suatu masyarakat, yakni bangsa Papua.

Penulis akan memakai terminologi-terminologi atau istilah-istilah baru seperti “Roko Sebagai Simbol Pemersatu Bangsa Papua”, “Pinang Sebagai Simbol

Penulis akan memakai terminologi-terminologi atau istilah-istilah baru seperti “Roko Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua”, “Pinang Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua”, “Kopi Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua”, “Sepak Bola Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua”, dan “Musik Reggae Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua” guna mengkoneksikan subtansi penulisan ini ke dalam dinamika dan dialektika konteks pergumulan dan persoalan bangsa Papua.

Apa Itu Sakramen?

Secara Etimologis Sakramen Ekaristi teridiri dari dua sub kata dalam Bahasa Latin, yakni Sacramentum dan Eucharistia. Kata Sacramentum ini dipakai pada abad ke II untuk menerjemahkan kata Mysterion dalam Bahasa Yunani dalam kitab Suci.

Sacramentum berarti “ Sumpah” atau “Janji Militer”. Jika tilik maka tidak ada sama sekali arti atau makna teologis atau liturgis di sana. Namun jika ditilik dari inspirasi asal katanya, yakni Mysterium (Bhs. Yunani) yang berarti “Rahasia”, “Terselubung”.

Dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama, kata Mysterium ini dipakai oleh penulis Suci untuk menjelaskan “Wahyu Allah”. Jadi, Sacramentum dan atau Mysterium itu secara Biblis.

Khususnya dalam secara keselamatan Allah berarti “Simbol Wahyu Allah” atau “Tanda Keselamatan”. Sementara Eucaristi berarti “ Perjamuan”. Dengan demikian, Sakramen Ekaristi berarti Tanda Keselamatan Allah dalam Perjamuan.

Dalam perkembangan waktu, tepatnya pada abad XII terjadi perubahan makna Sakramen, yakni Tanda yang menghadirkan maknya yang tak kelihatan, unsur manusiawi yang menampilkan unsur surgawi.

Sakramen tidak lagi dipahami dalam konteks karya keselamatan, melainkan dalam konteks liturgis sebagaimana yang kita pahami saat ini melalui dan dalam 7 Sakramen. 7 Sakramen ditetapkan dalam konsili Lyon 1274, Konsili Florenzo 1439, dan Konsili Trente 1547 .

Dalam konteks penulisan ini arti dan makna sakramen yang akan kita gunakan adalah Sakramen sebagai sebuah Sarana Keselamatan. Penulis akan berusaha mereferensikan bagaimana “Roko, Pinang, Kopi,  Sepakbola dan Musik Reggae” itu lahir dan hadir secara eksistensial, subtansial dan esensial dalam sejarah peradaban bangsa Papua.

Penulis akan memakai istilah baru, seperti “Sakramen Roko”, “Sakramen Pinang”, “Sakramen Kopi”,  “Sakramen Sepak Bola”, dan “Sakramen Reggae” guna mengkoneksikan pembahasan ini ke dalam konteks kehidupan masyarakat Papua sendiri.

Apa Itu Pemersatu Bangsa Papua?

Kita sudah memahami secara cukup ringkas terkait subtansi dan definisi dari arti dan makna kata Sakramen dan Simbol dalam penulisan kali ini.

Berikut hal ikwal lain yang hendak penulis ketengahkan adalah berkaitan dengan persatuan. Pernyataan yang mau kita jawab bersama di sini adalah bahwa mengapa penulis menyebut Roko, Pinang, Kopi, Sepak Bola, dan Musik Reggae sebagai Pemersatu Bangsa Papua?

Apa yang mendorong penulis merefleksikan hal-hal remeh-temeh dan sederhana itu sebagai pemersatu bangsa Papua?

Pertama, harus kita akui bahwa bangsa Papua itu merupakan sebuah entitas yang plural, jamak, holistik dan komprehensif. Belakangan Papua disebut sebagai “Indonesia Mini” lantaran hampir semua suka bangsa berserta kebudayaannya yang beragam itu eksis di Papua.

Ada orang Sabang, Miangas hingga Rote di Papua. Papua juga sering disebut sebagai “Miniatur Dunia” hal ini berlandaskan pada geografi dan topografi Papua yang tersusun mulai dari pesisir pantai, dataran rendah berawa, dataran rendah, lemba, gunung, dan puncak pegunungan yang berselimutkan salju abadi.

Sehingga memahaminya Papua itu tidak semua kita menelaah suatu suku bangsa toh. Jumlah suku di Papua diperkirakan mencapai 255, yang masing-masing mempunyai bahasa dan kebudayaan sendiri.

Hal ini semakin merumitkan kita melihat Papua. Apalagi ketika kita bicara persatuan di bumi Papua, sungguh sebuah upaya yang terbilang berani, berat dan muskil. Namun itulah kerja-kerja nyata yang mesti dilakukan di Papua, terutama dalam misi menjadikan Papua sebagai Papua Baru, Tanah Damai dan Honai Surga.

Secara garis besar ada dua perbedaan besar di Papua jika kita ringkas, yakni orang Papua pegunungan dan orang Papua pesisir pantai. Papua pegunungan terdiri dari wilayah adat Lapago dan Meepago, di Lapago sendiri sepertinya belum ada beberapa suku yang saling berekonsiliasi, sebut saja Suku Yali, Suku Lani, Suku Hubulal, Suku Damal, Suku Dauwa, dan lainnya.

Sementara di Meepago ada beberapa Suku pula yang belum saling berekonsiliasi secara paripurna, yakni Suku Mee, Suku Moni, dan lainnya. Bahkan di Suku Mee sendiri ada beberapa daerah yang belum saling merekonsiliasi dirinya, yakin orang Mee di daerah Paniai, Deiyai, Dogiyai, Mapia, Nabire dan Timika. Fenomena dikotomi dan distingis yang serupa juga ada di wilayah adat lainnya di Papua seperti Saireri, Domberai, Bomberai, Mamta, dan Anim Ha.

Selain polarisasi, segmentasi, dan segregasi lintas tujuh wilayah adat di atas (bahkan hendak ditambah satu lagi wilayah adat, yakni Tabi) ini mak terlihat sudah jurang pemisahan yang cukup terjal hubungan bisa menghubungkan orang Papua dari satu wilayah adat dengan wilayah adat lainnya.

Ada juga polarisasi, segmentasi dan segregasi di bidang keagamaan. Secara garis besar ada dua agama besar di Papua, yakni Katolik dan Protestan. Wilayah Gereja Katolik terbagi menjadi Lima Keuskupan, ratusan Paroki, Ratusan Quasi, Ratusan Stasi, dan ribuan Komunitas Basis dan Kategorial.

Sedangkan wilayah Gereja Protestan kini sudah sangat berkembang pesat sekali, ada GKI, GKIP, GIDI, ADVEN, semuanya berhimpun dalam Dewan Gereja Papua (DGP). Hampir setiap tahun, bahkan per beberapa bulan sekali pasti ada dedonimasi Gereja yang berdiri di tanah Papua.

Selain di bidang adat, agama, ada banyak organisasi-organisasi masyarakat yang menjamur di tanah Papua. Baik itu organisasi lintas kampus, provinsi, kabupaten, kecamatan, kampung, dusun, Keluarga dan kerabat.

Ada juga perhimpunan lintas pemerintahan, partai politik, ekonomi bisnis, lintas profesi, lintas golongan, lintas pandang politik, lintas Gender dan lintasan lainnya.

Penulis menyangsikan bahwa kesemuanya merupakan strategi, taktik, dan teknik polarisasi, segmentasi dan segregasi yang dimainkan oleh negara, dalam hal ini Intelejen negara (BIN/BAIS) guna memecahkan kesatuan dan persatuan bangsa Papua sampai ke sendi-sendi, pondasi-pondasi dan dimensi-dimensi kehidupan yang intim.

Sehingga berdasarkan semua itu Negara punya pemetaan dan pembabakan bangsa Papua yang kompleks dan komprehensif. Negara sudah punya peta jalan atau Roadmap penjajahan bangsa dan tanah Papua dalam rangka Perampokan Sumber Daya Alam Papua dan Pemusnaan Etnis Melanesia di Papua Barat. Maka dari itu sangat diperlukan sekali semangat persatuan dari bangsa Papua.

Berkaca atas fenomena politik perpecahan yang sudah secara kristal dipertontonkan oleh negara di atas ini, maka penulis melihat dan menilai perlu sekali kerja-kerja persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bangsa Papua. (Bersambung.)*

 

 

)* Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur Abepura-Papua.

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.