Rokok, Pinang, Kopi, Sepak Bola dan Reggae (2/5)

Buah Pinang Photo: Thimotius M
Buah Pinang Photo: Thimotius M

(Beberapa “Sakramen” dan Simbol Pemersatu OAP)

Oleh : Siorus Degei

Dengan berani penulis mengajak sidang pembaca budiman untuk merefleksikan lima hal sederhana yang diangkat dalam tulisan ini sebagai Simbol dan Sakramen Pemersatu Bangsa.

Penulis sengaja memilih Roko, Pinang, Kopi, Mob, Persipura dan Musik Reggae sebagai Beberapa Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua secara antropologis dan sosiologis.

Roko Sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu OAP

Kita sudah cukup menangkap inti sari dari definisi Simbol dan Sakramen. Berikut kita akan mengawasi penulisan ini dengan membahas dan mengupas Roko sebagai Sakramen dan Simbol Pemersatu Bangsa Papua.

Bacaan Lainnya

Pertama, Roko Sebagai Sakramen. Kita sebut saja “Sakramen Roko”. Namun sebelumnya perlu kita pahami dulu apa itu Roko?

Rokok atau sigaret adalah sebuah benda yang bisa membuat kanker paru apabila terhirup dan silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau kering yang telah dicacah.

Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh.

Pada abad 16, ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba mengisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa, (https://id.wikipedia.org/wiki/Rokok, 24/11/2022).

Sebenarnya budaya merokok ini sudah ada dalam kehidupan bangsa-bangsa di dunia sesuai konteks, situasi, kondisi, lingkungan, geografis, antropologis dan sosiologis masyarakat tersebut.

Di Papua sendiri roko ini punya banyak jenis dan atau bentuk. Bahan-bahan yang digunakan pun juga berbeda-beda.

Penulis akan membedakan dua jenis rokok di sini, yakni rokok tradisional dan rokok moderen. Rokok tradisional adalah rokok asli yang memang sudah ada dalam kebudayaan masyarakat dan suku-suku di Papua. Sementara roko moderen adalah roko-roko yang datang dari luar teritorial bangsa Papua.

Hingga kini di beberapa daerah di Papua tradisi merokok roko lokal atau tradisional itu masih ada dan belum terkikis roko global atau modern. Roko Surya, Roko Anggur Kupu, dan jenis rokok lainnya itu merupakan roko komersial atau roko moderen. Sementara roko asli atau roko budaya itu adalah roko tradisional.

Berikut beberapa manfaat dan ancaman dari roko moderen dan roko tradisional:

Pertama, Roko Modren. Manfaat Roko modern adalah kemasannya yang mudah dibawa kemana, dapat menenangkan sistem syaraf, dapat menghilangkan stres, dapat mengahangatkan tubuh, melancarkan sistematis pernafasan dan lainnya.

Sementara ancaman roko modern adalah seperti yang sudah terpasang atau terpampang dikemasannya sendiri bahwa roko dapat menyebabkan, kanker paru-paru, kanker payudara, bibir pecah-pecah, tenggorokan bolong dan lainnya.

Masih dalam topik pembahasan rokok moderen, belakangan muncul juga trend Roko terbaru di bidang narkotika, yakni Ganja. Ganja (Cannabis), Ganja atau mariyuana adalah psikotropika mengandung tetrahidrokanabinol dan kanabidiol yang membuat pemakainya mengalami euforia.

Ganja biasanya dibuat menjadi rokok untuk dihisap supaya efek dari zatnya bereaksi. Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai 2 meter.

Banyak generasi penerus bangsa Papua yang hingga kini sudah terjangkit Roko yang berbahaya ini. Sebenarnya Roko ini baik jika digunakan secara proporsional dan profesional sesuai manfaatnya, semisal digunakan dalam bidang medis atau pengobatan.

Namun kebanyakan Roko tersebut disalahgunakan sebagai salah satu jenis narkoba oleh oknum dan pihak tak bertanggungjawab.

Alhasil hingga kini gurita bisnis ganja sudah merembet dan melahap habis hampir separuh teritori Papua.

Kedua, Roko Tradisional. Roko Tradisional bermanfaat sebagai penghangat, sebab kita tahu bahwa beberapa daerah di Papua yang padat dengan tradisi merokok itu bersuhu sangat dingin.

Manfaat lainnya juga sebagai “obat nyamuk”, seperti ketika saat berburu atau melaut di tengah malam hari. Roko juga bermanfaat sebagai tanda pengenal, bahwa yang bisa merokok adalah kaum pria/laki-laki, kaum wanita/perempuan sangat dilarang secara budaya untuk menyentuh dan mengisap rokok.

Ancaman roko tradisional, jika kita telisik secara kultur pada masanya roko tersebut tidak menyebabkan sakit-penyakit sebagaimana yang dihasilkan oleh roko modern.

Roko tradisional pada jamannya menjadi sesuatu yang “sakral” eksistensinya, bahwa belum ada cerita pada jaman itu bahwa ada orang yang sakit dan meninggal lantaran merokok.

Belakangan baru muncul kejadian kesakitan, keanehan dan kematian akibat merokok. Itu pun barang kali sebab si perokok mengonsumsi rokok di bawah umur, semisal ada anak kecil yang belum dewasa dan bijaksana secara budaya, atau orang sakit, ibu hamil dan para lansia yang memang secara kultural sudah tidak diperkenankan merokok.

Kita barangkali tidak asing dengan wejangan-wejangan orang tua bahwa anak kecil tidak boleh merokok, tunggu kerja lalu merokok, kalo sudah punya penghasilan yang jelas baru merokok jangan makan minum saja ditanggung oleh orang tua lalu berani menyentuh Roko.

Kurang lebih panorama Roko secara sepintas lalu yang berkembang dalam masyarakat kita. Berikut kita kembali lagi pada pembahasan tentang “Sakramen Roko”. Apa yang penulis maksud dengan istilah Sakramen Roko?

Pertama, Merokok adalah bagian dari identitas orang Papua. Bahwa tradisi merokok itu bukan hasil akulturasi, inkulturasi dan asimilasi kebudayaan orang Papua dengan kebudayaan orang non Papua atau kebudayaan orang Papua yang satu dengan kebudayaan orang Papua yang lainnya.

Tetapi sekali lagi mau dikatakan bahwa tradisi atau budaya Roko atau merokok itu memang sudah eksis dalam masyarakat atau suku-suku di Papua sejak awal suku bangsa Papua itu ada. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa roko bukan “barang baru dan asing” di tanah Papua. Roko sudah sangat akrab di tanah Papua terlebih dalam kehidupan orang Papua. Oleh karena roko sudah menjadi sebuah “tanda penyelamat” atau “sakramen”.

Kita bisa bayangkan saja bahwa di mana ada satu dua orang Papua berkumpul pasti di situ ada Roko. Di sekolah, di kampus, di Gereja, di kantor, di pasar, di bandara, fi pelabuhan dan di mana saja di Papua pasti ada ampas atau jejak Roko berupa asap, aroma, debu, dan pontong Roko.

Hal ini menunjukkan bahwa Roko itu adalah teman hidup yang senantiasa menemani orang Papua dalam suka maupun duka, untung maupun malang. Tanpa roko, hidup terasa hampa, kosong, sunyi dan sempit bagi orang Papua, terlebih mereka atau suku-suku yang kental dengan budaya merokok yang eksis di daerah-daerah dingin dan lembab tropis.

Terutama pada momen-momen kebersamaan roko mesti menjadi suatu sarana yang mesti ada. Momen-momen seperti ketika ada perkara, diskusi budaya, pembicaraan-pembicaraan seputar realitas sosial, politik, ekonomi, Religi dan budaya dalam honai atau rumah adat laki-laki, selain asap Tungku Api, asap rokok juga mesti wajib hukumnya untuk ada.

Setiap tarikan Roko yang dihirup di situ terpancar ide-ide inspirasi yang gemilang dan mengalir. Sehingga nuansa terasa hangat, akrab dan langgeng.

Ketika berjumpa dengan seseorang atau sekelompok orang pasti jamuan perketat kekerabatan dan kebersamaan yang disuguhkan pertama kali, jika itu tamu atau orang asing itu adalah pria adalah roko.

Sebab perkenalan dan pendalaman perkenalan itu akan terjadi secara mengalir lancar ketika Asap Roko itu sudah menguasai diri, pikiran dan perasaan. Akan ada sense to belong atau rasa memiliki, simpati, empati dan solidaritas dalam diri kepada individu yang berbagi roko.

Hingga kini kita sering mendengar atau pun melihat fenomena interaksi, realisasi dan komunikasi sosial, politik, ekonomi, budaya dan religi yang menampilkan roko sebagai simbol peretas status quo, kelas, gender, golongan, ras, pandangan teologis, dogma dan otoritas budaya, pandangan politik, suku, wilayah adat dan lainnya. Roko menjadi bahasa yang bisa dimengerti, dipahami dan diterima oleh apa saja, di mana saja, kapan saja dan siapa saja.

Para milenial dewasa ini sering bercanda gurau di Papua dalam lingkup kehidupan sehari-hari dengan berkata “We Join Roko Dulu”, “roko cuman ini saja jadi nan tong dua join-join saja”, “ada Roko kh”, “We tawa (roko dalam bahasa Mee) dulu”, “ada korek tapi trada roko ini”, “tau isap roko itu tau bawah korek juga”, “ada roko ini yang biasa isap mari!”, dan llainnya.

Hal-hal seperti inilah yang mendorong penulis untuk merefleksikan dan menegaskan bahwa Roko Sebagai Simbol Pemersatu Bangsa Papua dan Sakramen Penyelamat Perabadan Bangsa Papua dulu, kini hingga mendatang.

Namun yang patut digaris bawahi oleh masyarakat Papua adalah bahwa tidak semua roko itu sehat dan menyehatkan. Penulis sudah sempat menyentil hal ini di atas bahwa Roko Modren terkadang menjadi amunisi dan senjata pemusnahan bangsa Papua yang digunakan oleh kolonel Indonesia berkedok bisnis Roko.

Kita bisa bayangkan bahwa dulu ada panduan, pedoman, dan kode etik dalam kebudayaan terkuat budaya Roko atau etika merokok. Tidak semua orang bisa merokok, tidak semua laki-laki bisa merokok.

Porsinya jelas bahwa hanya laki-laki yang sudah dewasa dan bijaksana dalam ketentuan-ketentuan otoritas kebudayaan saja yang bisa merokok, anak kecil, remaja, wanita dan lansia sangat tidak diperkenankan untuk merokok.

Hal ini bukan tanpa sebab, hal ini juga bukan suatu sikap diskriminatif, antipati dan atau patriarki bias intoleran Gender, tetapi bahwa ada implikasi-implikasi logis yang akan terjadi jika semua orang merokok, jika anak kecil merokok, jika wanita merokok, dan jika lansia merokok.

Dan fenomenal carut-marut akibat merokok tanpa etika dan norma budaya itu sudah, sedang dan akan terus terjadi ketika semua orang mau merokok di Papua.

Alhasil, ganja menjadi senjata ampuh yang digunakan kapital, kolonial, feodal dan imperial untuk menjajah dan memusnahkan manusia Papua secara psikis, di mana syaraf, hormon, dan aspek bio-psikis manusia Papua dihancurkan oleh Roko Modren, Ganja dan narkoba dan kawan-kawan zat adiktif lainnya.

Guna keluar dari cengkeraman itu langkah Strategis yang bisa ditempuh oleh orang Papua adalah dan hanyalah Kembali kepada pedoman dan panduan etika merokok yang sudah ada.

Khusus untuk yang sudah terlanjur merokok barangkali bisa berbesar hati juga untuk mencintai produk lokal, di mana ada sedikit rehat dan jeda merokok roko Modren dan kembali mengonsumsi roko tradisional tetapi mesti dibarengi dengan upaya-upaya proteksi, produksi dan distribusi roko-roko lokal tersebut agar eksistensinya tetap terjaga dan awet serta bisa dinikmati terus-menerus. (Bersambung.)*

)* Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur Abepura-Papua.

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

1 Komentar