Penyair ; Giyai Aleks
Jayapura, Ko’Sapa – Gunung-gunung lemas dalam rindu, lembah-lembah karam dalam rindu, pohon dan daun-daun gigil bertalu-talu dalam rindu, burung-burung berkicau ria dengan rindu. Beberapa waktu kenangan menghunjam laju, deras hujan tirani mencumbu memisah jalan-jalan yang telah kehilangan temu, di mana wajahku selalu berpapasan dengan wajahmu, hingga akupun gagal menghafal tahun-tahun yang kita belum pernah bersatu, entah sampai pada kapan..?
Langit gelap menghumban paras persada bumi keriting ini ke sudut hitam pekat, warna-warna tanggal dari bunga-bunga gugur di terpa rintik kolonial, pesan-pesan angin jatuh dari telinga yang tuli, jendela sembunyikan dunia dari mata yang luka, pintu hati telah kehilangan mata tuk membuka diri, barangkali cedera oleh keegoisan tanpa melihat penidasan, sedang nyatanya yang lain menjatuhkan airmata tanpa sengaja, ingin bersatu.
Berpuluh-puluh jalan coba kususuri, mengintai bayang-bayang persatuanmu lewat langit yang mendung, gerimis hujan yang berderai, lewat cela pohon dan dedaunan atau laju waktu yang tak menungu, terkadang aku mengejar dikau menuju ke rumah yang belum kita, di sana ada matahari dan langit jingga yang merah merona, warna kebebasan. Sementara di sini, hanya hujan sedang menggila dari langit mendung tirani colonial.
Kusembunyikan separuh hatiku di dalam tubuh puisi, ketika malam menyikat cahaya di paras rembulan yang sepi, padahal petang masih benderang. Mengikat kenangan di tirai pintu gelangsar, sesekali angin merayu dan membuai rindu tentang persatuan kolektif, memujuk ingatan pasionis dengan manja, menggoda luka di bathin berkali-kali, insan manusiawi pun jatuh berkali-kali; namun hujan koloial di luar sana masih tertawa enggan berhenti.
Kesepian ini bersambung lagi dan tak pernah melepaskanku sendiri. Kesepian ini membunuhku. Kadang-kadang terasa menikam dadaku, memberiku pilu, sesekali seperti kematian yang belum aku tandatangani dengan rindu. Sedang kau, bersambung dengan riuh kemeriangan tirani dalam keegoisan, sesekali menandatangani kematian bangsamu dalam tawa terbahak-bahak, nyatanya persada negerimu setiap waktu mendung di bawah langit tirani colonial yang jahanam.
West Papua
Onago, 31-07-20