Oleh : Ibiroma Wamla
Saya mengenal Cina ketika masih SD, waktu itu saya baca buku yang mengisahkan bagai mana orang Cina menemukan kertas dan juga mesiu, kedua lewat biografi Jenghis Khan yang saya baca saat SMP. Ada sebuah kisah saat saya di kelas dua SMP, guru Guru FS (alm) menjelaskan tentang Cina, ia menjelaskan tentang bagaimana cara Cina menguasai sistem dagang dan adaptasi dalam satu wilayah yang menurutnya di lakukan secara licik –saat ini baru saya paham bahwa itulah pertama kalinya saya menerima pelajaran untuk antipati terhadap orang Cina.
Di kota saya Wamena, sejak tahun 70-an tidak menerima (menolak) transmigrasi dan dan juga berkembang cerita bahwa antara tahun 1970-1980 etnis cina juga tidak di perbolehkan untuk menetap di Jayawijaya.
Ketika saya melanjutkan sekolah SMT (Sekolah Menegah Teknologi), saya memulai babak baru mengenal Cina lewat cerita silat Kho Ping Ho dan juga film Kung Fu, action dan roman dan dilanjutkan saat kuliah, berteman dengan banyak anak Cina dan etnis lainnya.
Berteman dengan berbagai etnis itu menarik, banyak budaya dan karakter yang bisa di pelajari. Dari teman Cina, saya bertemu dengan karakter pekerja keras, dan tahan banting. Meskipun mereka sudah beberapa generasi menetap di Jawa, tapi sebagian masih menggunakan bahasa Mandarin, saya terkesima. Tidak pernah terbayang, ketika di kampus teman saya ini menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia, tapi saat saya bertamu ke rumahnya ia menggunakan bahasa Mandarin dengan orang tuanya. Imlek? Ini paling menyenangkan, karena pasti saya diajak untuk menikmati masakan Cina.
Seperti di wilayah lainnya di Indonesia, Cina di Papua memiliki sejarah panjang sejak ratusan tahun lalu, beberapa catatan pelaut dari Dinasti Tang menyebutan perjumpaannya dengan orang Papua. Perjumpaan ini menyebabkan terjadinya pertukaran material kebudayaan sejak tahun 1400. Di Papua, keramik Cina dan manik-manik merupakan peninggalan yang menjadi budaya dan “ritual” dalam prosesi “adat” di Papua. Dari Papua, ada burung Cenderawasih, teripang, kulit kayu masohi sebagai alat barter dengan para pedagang Cina.
Para pedagang etnis Cina yang ada kemudian menetap di pesisir Utara (Manokwari, Biak, Serui, Sarmi dan Jayapura), Selatan Papua (Fakfak, Bintuni, Merauke) dan di Doom, Sorong. Suatu saat saya bertanya pada seorang teman yang secara fisik tidak tampak sebagai Papua, “Ko asli mana?”
“Sa pu mama dari Kokas dan Bapa dari Bintuni!”
“Ah yang betul?”
“Betul nih, nanti ko ke Dok 9, ko tanya nama (dia sebut nama bapaknya), orang smua kenal, de tukang bawa speed!”
Saya memahaminya. Lalu kami tenggelam dalam lagu-lagu Bob Marley, dia punya koleksi waktu itu (di tahun 1996) sangat lengkap.
Di Papua “Cina Papua” tidak membangun sebuah komunitas yang ekslusif, tatapi mereka membaur, kawin mawin dengan masyarakat setempat. Di Abepura, Jayapura meskipun bernama Kamp Cina, namun tak nampak simbol-simbol Cina, yang tinggal di kawasan ini pun beragam, ada orang Papua, Maluku dan Cina.
Kam Cina ada sejak tahun 1950-an di masa pemerintah Belanda, di ujung jalan Ayapo terdapat bekas sebuah pabrik minuman lemon, di tahun 2009 saya pernah bertemu anak pemilik pabrik tersebut, mereka memanggilnya Ongko. Umurnya sudah lebih dari 50 tahun, ia sering sakit dan tinggal sendirian. Kabar terakhir ia telah pulang ke Cina, menyusul saudara-saudaranya.
Saat perayaan 50 tahun Hollandia (Jayapura), di tampilkan berbagai acara termasuk parade budaya, tarian dari Belanda, Cina dan suku-suku di Papua. Masyarakat Biak melakukan barapen dan jalan di atas batu panas, dari wilayah kepala burung, tarian tumbu tanah.
Saat masa transisi dari Belanda ke Indonesia banyak orang Cina yang mengungsi, para pengusaha memindahkan modalnya ke Singapura, Hongkong dan Eropa. Beberapa diantaranya ada yang ke Australia dan Amerika.
Suatu ketika Ferry Marisan yang ke Amerika masuk ke satu restoran Cina, ia memesan makanan. Saat memesan makanan, pemilik restoran bertanya, dari mana asal Marisan. Marisan menyebut dari Papua, lalu pemilik restoran mengataka ia sudah menduganya, karena Marisan secara fisik berbeda dari orang Afro. Pemilik restoran mengataka ia dahulu tinggal di Hollandia, Papua, tetapi pindah karena situasi politik yang berubah.
Beberapa orang Cina turut bergabung dalam perjuangan Papua pada tahun 60-an, Tan Seng They dalam kabinet Rumkorem yang menjabat sebagai mentri keuangan. Ia ikut sampai ke Belanda. Mereka yang tetap di Papua seperti Hendrik Tan di tahan dan di siksa, kemudian “dimiskinkan”, tapi mereka tetap bertahan, anak dan cucunya masih ada sampai saat ini.
Penulis saat ini tinggal di Kota Jayapura