PENGANTAR
Demokrasi yang dijunjung tinggi di masa modern ini pada masa purba peradaban politik sering dianggap sebagai bentuk rusak dari sistem yang dianggap “baik”, seperti monarki, tempat raja yang berkuasa.
Sedangkan rakyat sama sekali tidak dipikirkan sebagai pihak yang akan atau boleh memegang tampuk pemerintahan untuk berkuasa.[2] Kutipan tersebut menjadi pengingat penting bahwa pada abad ke 17 demokrasi dipandang sebagai bentuk rusak dari monarki. Mirip dengan apa yang ditulis Dhakidae, Plato sebagai salah satu filsuf besar era klasik Yunani juga tidak mengidealkan demokrasi. Tulisan ini memang secara gamblang akan menuduh sistem demokrasi sebagai utopis karena bayak cita-cita atau jargon demokrasi yang menurut penulis[3] tidak pernah benar-benar nyata terjadi.
ISI
Demokrasi menjadi sistem politik yang hampir paling banyak dianut oleh negara-negara di seluruh dunia pada dewasa ini. Dianggap sebagai sistem yang paling ideal dan paling adil untuk semua warga negara. Namun ada banyak contoh situasi di negara-negara penganut demokrasi yang dapat membuktikan bahwa sistem demokrasi yang dianut beberapa negara di dunia saat ini tidak menjamin kestabilan negaranya secara ekonomi, dan politik. Hal ini juga sebagaimana disebutkan oleh Setyo Wibowo[4] Rezim demokrasi ditandai dengan kehendak rakyat yang ingin hidup di bawah Undang-undang yang sebisa mungkin tidak membatasi kebebasan dan sejauh mungkin mendukung hasrat bebas untuk mendapatkan apa yang dimaui.
Setiap lima tahun kita di Indonesia secara umum dan secara khusus di Papua melaksanakan pemilihan umum dengan mekanisme demokratis. Kita berharap mekanisme demokratis ini berhasil melahirkan pemimpin sebagaimana ungkapan terkenal “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” dari Abraham Lincoln[5]. Namun sangat disayangkan jika slogan atau ungkapan itu tetap tinggal sebagai slogan dan ungkapan saja dan tidak pernah makna slogan itu dibawa membumi oleh mekanisme demokrasi yang kita anut. Slogan diatasi dapat kita pelintir[6] seperti ini : “bahwa demokrasi dari parpol oleh rakyat untuk oligarki”. Artinya rakyat hanya ditugaskan sebagai pemberi stempel atau tanda pengesahan bahwa system demokrasi telah dilangsungkan melalui mekanisme pemilihan umum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem politik kita adalah system yang transaksional seperti catatan Polri bahwa pada 2019 dari 554 laporan pelanggaran pemilu, politik uang adalah yang terbanyak[7].
PENUTUP
Namun demokrasi masih diagung-agungkan sebagai system yang mampu menjamin beberapa hal di antaranya, Hak Asasi Kemanusiaan, kesetaraan gender, dan keadilan social. Demokrasi dianggap sebagai system yang tidak mengekang dan memberi kebebasan kepada warga negaranya untuk bebas berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum.Untuk menghalau politik uang dan praktik demokrasi yang tidak semestinya agar slogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat dapat kita bawa semakin membumi dan mencapai apa yang kita cita-citakan bahwa rakyat tidak lagi sekedar menjadi pemberi stempel semata. Rakyat harus benar-benar terlibat dalam proses politik mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari rekrutmen parpol mestilah terbuka dan berbasis kompetensi. Tidak perlu ada lagi ambang batas parliamentary threshold karena itu membatasi hak politik warga Negara untuk mencalonkan diri.
[1] Utopis/utopia merujuk pada suatu komunitas masyarakat khayalan denga kausalitas-kausalitas yang sangat didambakan atau nyaris sempurna
[2] Dhaniel Dhakidae (2017). Demokrasi, Demografi dan Kemalahatan. Prisma. 2
[3] Sundi Roberth Wayangkau
[4] A. Setyo Wibowo, Haryanto Cahyadi. Mendidik Pemimipin dan Negarawan (Jogjakarta:Lamlera, 2014) 265
[5] Presiden Amerika Serikat ke 16
[6] Diputar balikkan dari makna yang sebenarnya
[7] https://katadata.co.id/berita/2019/04/06/polri-catat-554-laporan-pelanggaran-pemilu-politik-uang-terbanyak diakses pada tanggal 10 Juli 2020 pukul 16.45 wit