Yali : Tangga-Tangga Musim Cahaya Terang di Dunia Yang terlupakan

Sinode GKI di Tanah Papua Launching Buku Damai di Pegunungan Papua - Ko'SaPa/Obock I. Silak
Sinode GKI di Tanah Papua Launching Buku Damai di Pegunungan Papua - Ko'SaPa/Obock I. Silak

Oleh : Obock I. Silak

 

Jayapura (KoSaPa) – Antropolog dan Dosen Universitas Cenderawasih Dr. Ibrahim Peyon PhD mengatakan, Judul Buku Damai Di Pegunungan Papua yang dituliskan oleh Pdt.Dr. Siegfried Zollner dalam bahasa Jerman yang diterjemahkan oleh Pdt. Dr. Rainer Scheunemann  dilaunching di Aula P3W Padang Bulan pada Minggu (12/03/2023). Buku ini merupakan sejarah peradaban Baru di Yalimu, Balim dan Mamberamo. Karya: Pdt Misionaris, Dr. Siegfried Zöllner. Edisi Jerman terbit 2014 dengan judul: Vergessene Welt: Erste Begegnungen mit dem Yali im Bergland von New Guinea. (Dunia yang terlupakan: Perjumpaan pertama dengan orang Yali di daerah Pegunungan New Guinea).

Dalam peluncuran buku ini dihadiri oleh pimpinan Am Sinode GKI-TP, Pdt Rolo, mantan Ketua Sinode Pdt Herman Saud, mantan ketua Sinode Pdt. Herman Awom, anggota BP-Am lain, Mantan Walikota bapak Daniel Pahabol, dan para dosen dari STT-GKI I. S. Kinje dan Uncen, serta banyak lain. Dengan demikian, saya pikir sejarah pekabaran injil dan misi peradaban baru di wilayah ini sudah lengkap.
“Penulis buku Pdt.Dr. Siegfried Zollner menuliskan dalam Bahasa Jerman dengan judul asli “Vergessene Welt”: itu artinya dunia yang terlupakan. Vergessene sendiri terlupakan, dan sub judul dari buku tersebut adalah “Erst Begegnungen Mit Den Yali Im Bergland Von New Guinea“ itu judul  aslinya. Artinya Dunia yang terlupakan perjumpaan pertama dengan orang Yali di daerah pegunungan New Guinea“. Dalam buku itu juga menjelaskan Perjumpaan Pertama Pdt.Dr. Siegfried Zollner dan  dr. Wim Vriend di Suku Yali, Papua,” kata laki-laki asal suku Yali itu.

Peyon mengatakan, judul asli ini memberikan gambaran bahwa kata perjumpaan, itu kata yang mengakui eksistensi bahwa disini ada orang yang bermukim.

“Saya datang ini karena ada orang, maka saya ketemu mereka. Beda dengan kata-kata yang biasa dipakai oleh para  peneliti, antropolog, penjelajah dan ekspedisi. Mereka jalan itu, mereka biasa bilang kami telah menemukan,”katanya.

Peyon menjelaskan dalam bahasa Jerman sama dengan itu, “Finden“ (menemukan)  sementra “Wir Haben Die Vergangenheit Gefunden” (kami telah menemukan, kata menemukan itu menunjukkan bahwa kami menemukan sesuatu yang baru”.

Bacaan Lainnya

Negri ini tidak pernah diketahui oleh orang lain, itu dia tidak mengakui eksistensi, tetapi dia mengklaim diri bahwa saya adalah orang pertama yang menemukan.

“Karena pandangan dari berbagai orang yang datang baik para antropolog, wisatawan dan penjelajah dulu mengelilingi bumi ini mereka katakan kami telah menemukan tempat ini, jadi karena tempat ini baru tidak ada orang disini, maka mereka kasih nama semau mereka,” jelas Peyon.

Peyon mencontohkan nama gunung misalnya New Guinea, itu nama lain, Guinea di Afrika Barat, New Baru, jadi seperti orang Afrika Barat itu ada disini (Pulau Papua), maka mereka menamakan pulau ini adalah “Guinea New” yang baru.

“Sama halnya gunung cyclop, cyclop dalam sejarah Yunani orang pertama yang datang melihat gunung ini seperti gunung raksasa cyclop dalam sejarah Yunani kuno, maka mereka katakan ini cyclop. Seperti itu termasuk nama pulau Papua juga terus berganti ganti seperti dulu sukarnopura, Irian ,Trikora, Cartenz dan macam-macam. Jadi banyak nama mereka diberikan, karena konsep penemuan tadi, bukan berjumpa lain halnya penemuan,” katanya.

Peyon menjelaskan, dalam buku ini Pdt Doktor Siegfried Zollner tidak menulis, saya telah menemukan orang Yali. Tidak, tetapi saya telah berjumpa dengan orang Yali, maka dia mengakui eksistensi bahwa disini ada  orang.

“Jadi saya kesana pergi kepada mereka, lalu saya berjumpa dengan mereka, itu makna dari kata menemukan dan perjumpaan,” tuturnya.

Siapa Suku Yali ?

Peyon menjelaskan juga terkait dengan istilah nama Suku Yali, memang istilah Yalimo orang dari hubula, mereka menunjuk kepada kita orang Yali. Tetapi orang Yali sendiri, istilah yang namanya Yalimu bukan Yalimo.

“Istilah nama asli Yali dalam bahasa Yali adalah Yalimu. Istilah ini tidak banyak orang tahu, tetapi kalau kita menggali lebih dalam lagi kita menemukannya. Misalnya ada kata Yal, Li dan Mu. Jadi kata Mu jelas dia menunjukkan arah, tetapi kata Yal kita bisa melihat kembali dalam sejarah orang Yali, ada di Mitos Pohon Yeli, jadi kata Yeli itu, dia melahirkan kata Yalimu, Yali dari kata Yeli, perubahannya terjadi pada kata Yal dan Li,”jelasnya.

Peyon menjelaskan bahwa suku hubula menyebut suku Yali itu sesuai dengan arah keberadaan kampung atau suku-suku setempat. Seperti suku Yali itu letaknya di arah timur sehingga Suku hubula menyebut kami suku Yali dengan nama Yalimo.

“Asal-usul manusia Yali berasal dari Mitos Pohon Yeli, tapi tidak banyak orang yang bicara itu berdasarkan mitos itu, tetapi orang hubula berikan nama berdasarkan pandangan mereka,”katanya.

Peyon mengatakan,  terkait dengan penggunaan nama Yali  harus dikaji secara ilmiah, kata Yali lebih ke dalam lagi, maka bertanya, kenapa ada kata Yal dan Li. Apa itu Yal, Yal itu ada tangga ya, dan Li musim, berarti terang dan cahaya. Dari kata inilah kemudian dia muncul, karena Yeli itu jalan keselamatan dan cahaya.

“Yeli turun menjadi manusia, leluhur ini orang katakan, dia datang di tengah jalan, dia menciptakan orang, dia lakukan ini dan lakukan itu. Dia sebagai jalan, jalan membawa keselamatan. Istilah Yeli itu di gali lebih kritis, ilmiah, ke dalam lagi, maka Yali berarti jalan keselamatan, cahaya, terang. Jadi tidak salah orang hubula katakan, Yalimo berarti daerah timur tempat terbitnya matahari, Itu isi filosofi dasarnya,” katanya.

Peyon berharap agar setiap orang yang menggunakan nama Yali harus sesuai dengan nama dari Mitos Pohon Yeli.

“Sebab kalau merujuk dari mitos pohon Yeli kami adalah orang yang membawa terang, maka buku adalah terang, kita meletakkan buku ini terang. Kita hanya awal memotivasi anak-anak yang akan datang. Kemudian termasuk generasi adik, generasi kalian, generasi berikut anak-anak kami, cucu-cucu dan cicit-cicit,”katanya.

Peyon mengatakan, peradaban manusia lahir hanya melalui tulisan, lewat tulisanlah orang mengenal dunia. Kalau tidak ada tulisan, menutup semua budaya, adat dan peradaban. Kalau tidak menulis itu, sama saja kita membunuh ilmu pengetahuan.

“Kalau kita tidak menulis sama saja kita membunuh sejarah, kita membunuh peradaban. Tugas hari ini anak-anak yang akan datang harus menulis dan menulis. Kembali ke kampung, gali informasi tulis taru, tulis taru, itu akan bermanfaat seratus tahun sampai dua ratus tahun ke depan,” pungkas Peyon.

 

Editor : Pace Ko’SaPa