Oleh: Soleman Itlay
Judul tulisan dari sumber pertama dan kedua adalah HUBUNGAN SUKU KEY DAN PAPUA VERSI MISI KATOLIK. Tetapi dengan pertimbangan tertentu, saya Taru judul “sa rindu orang Kei”.
Catatan dibawah ini murni tulisan dari sumber pertama. Kecuali yang ditulis dalam tanda […]. Itu ditambah oleh saya hanya untuk memperjelas maksud lain.
Setelah mendengarkan langsung dari beberapa tokoh, dan anak-anak perintis, saya merasa perlu untuk menambah catatan dibawah–di akhir catatan sesui perkembangan pendidikan katolik di tanah Papua.
Tujuan tidak kurang dan tidak lebih dari bagaimana untuk memperjelas sedikit saja. Supaya ke depan kita, khususnya anak cucu kita nanti tidak sesat berfikir.
Berikut ini tulisan dari sumber pertama dan kedua.
Tahun1920an-1960an, banyak guru-guru dari Kei yang diminta bantu oleh Misi [Katolik] mengajar di Papua, terutama di Merauke, Asmat, Timika, Paniai, Jayapura, Keerom, Fak-Fak dan lainya. Mereka didatangkan secara bertahap.
——-
Tahap pertama adalah guru yang sudah menikah. Guru yang pertama kali tiba di Merauke adalah Kassimirus Maturbongs dan Adrianus Dumatubun yang datang bersama keluarga mereka [pada] tahun 1921.
Setelah kedatangan guru pertama ini, misi kemudian mengirim banyak guru lagi [bukan tahap dua, dan masih di tahap satu, hanya beda waktu saja]]. Mereka mulai mengajar di Sekolah “Model Kampung” yang dibuka misi waktu itu.
Tahap kedua adalah guru bujang. Mereka mulai datang tahun 1930-an. Mereka membantu mengajar di Merauke dan daerah-daerah sekitar termasuk Asmat setelah banyak sekolah yang dibuka dan butuhkan tenaga.
Sebagian dari mereka kemudian menemukan pasanganya di tanah misi, [salah satunya] Merauke, [sehingga tidak heran apabila orang Papua Selatan banyak kawin silang dengan orang Key]. [Tetapi] sebagian lain memilih pulang Kei dan mencari pasangan hidupnya disana.
Berbeda dengan Merauke, daerah Jayapura termasuk Keerom, guru Kei datang belakangan. Tidak tahu mereka ini datang langsung dari Kei atau dari tempat tugas lain di Papua.
Menurut catatan “50 Tahun Misi Katolik di Perbatasan, yang datang paling awal adalah adalah Otto Suarabun. Beliau datang tanggal 20 Maret 1940, disusul Willem Nuhuyanan tahun 1945.
Mereka ini berpindah tempat tugas dari satu kampung ke kampung lain.
———
Tambahan dari saya berikut.
Apa latar belakang dan status sosial mereka di Kei; apakah mereka hanya mencari lapangan kerja; mencari keuntungan karena disana tidak ada pekerjaan dan lainnya, itu ada cerita dan pasti akan ada pula itu.
Pemastian hal seperti ini penting. Tapi bukan untuk dipersoalkan, hanya untuk sebatas semua generasi tahu sejarah secara utuh. Lebih daripada itu agar orang paham sejarah tak terlepas dari entitas dibalik “kemenjadian”.
Mari mulai. Bahwa Papua dulu tidak seperti Papua sekarang. Dulu jalan terbatas. Kenyataan menuntut guru-guru Kei ini harus meninggalkan kampung halaman, berani tenggelam dalam kehidupan orang Papua.
Mereka merintis jalan, hutan, gunung, lembah sungai, danau dan lautan dengan mempertaruhkan nyawa. Mereka ini “parangnya para misionaris”.
Artinya, mereka yang buka jalan kegelapan. Mereka harus membabat hutan kegelapan pendidikan yang masih menghantui kehidupan orang Papua. Ini adalah pengorbanan yang tidak kalah penting daripada misionaris Eropa.
Misionaris hanya perintahkan, pegang remote dan kendali atas mereka. Tetapi yang pikul barang berat milik Pastor dan melaksanakan tugas di lapangan adalah guru-guru Kei.
Misionaris lebih banyak memberikan parang untuk bikin jalan dan kebun. Meskipun sebagian lain tidak bisa dipungkiri kalau mereka juga bekerja secara nyata, bakal seperti orang Kei mempertaruhkan nyawa.
Tapi yang kasih keluar keringat dingin, dan tidur bangun di honai, rasakan manis pahit dan jatuh bangun dengan orang Papua adalah orang Kei.
Peran dan jasa mereka di tanah ini tinggi nilainya dan mahal harganya. Tidak bisa dibalas dengan apapun. Uang, jabatan dan emas, perak dan lainnya pun tidak bisa disamaratakan.
Kecuali memberikan pengakuan, penghormatan dan penghargaan khusus [bukan sebagai anak adat, tapi harus mencari istilah yang tepat] dalam benak orang Papua di tanah Papua.
Sebelum ada Otsus Papua dan pemekaran DOB relasi antara orang Papua dan Kei itu sangat erat. Seperti saudara kandung. Apakah itu karena ada kaitan dengan Australo Melanosoid? Atau karena ada sesuatu yang lain? Silahkan cari tahu.
Yang jelas adalah Otsus Papua dan pemekaran DOB adalah penyakit. Sebuah penyakit yang merusak, memecah-belah, menghancurkan dan hanya menimbulkan iri hati, kebencian dan membangun sekat-sekat diskriminasi rasial.
Otsus Papua dan pemekaran DOB adalah racun kedamaian. Kedamaian, keintiman dan keharmonisan orang Papua dan Kei dulu dilululantahkan oleh kebijakan “hama etis ini”.
Hal ini ikut berdampak juga dalam gereja, walaupun di lain sisi mengikutinya pengaruh kekuasaan dan kebijakan otoritas. Tapi di lain sisi pemekaran DOB dan Otsus punya andil besar dalam perubah ini
Bahkan bikin orang Kei dan Papua saling jauh, terpisah dan jalan sendiri-sendiri. Kemudian, semakin kesini banyak yang mulai gelisah, kecewa dan merindukan peran.
Orang Kei merindukan agar mereka bekerja–melanjutkan misi, dan pesan dari orang tua dan benak moyang Meraka yang mati untuk manusia dan tanah ini.
Pada saat yang sama, orang Papua juga ingin dan sangat merindukan peran orang Kei, terutama guru-guru di sekolah-sekolah pedalaman yang nyaris tutup, bahkan tutup karena tidak ada guru.
Tetapi masalah semakin berat. Karena Otsus Papua dan pemekaran daerah bikin sampai sistem pemerintahan dan pendidikan yang dulu hanya memprioritaskan bidang kesehatan dan keguruan itu ditutup dan dialihfungsikan.
Misalnya, SPG Teruna Bahkti dan PGSD dan lainnya. Penutupan tempat-tempat ini ibarat orang (pemerintah) menutup rahim atau kandungan perempuan yang melahirkan kehidupan dan mencerdaskan bangsa.
Penutupan, pengalihfungsikan ini merupakan upaya kehancuran yang sangat “terencana”, karena sangat sistematis atas nama Otsus Papua dan pemekaran wilayah.
Otsus Papua dan DOB menawarkan sekolah, kampus, rumah sakit dan lainnya mewah, megah dan indah secara fisik dengan fasilitas lengkap dan memperhatikan kesejahteraan guru-guru. Tapi rohnya mati dalam realitas dan estetika yang kontroversial.
Gedung-gedung baru yang mewah, bukan memanusiakan manusia yang kritis. Tapi hanya melahirkan generasi elitis, yang mentalitas, moralitas, spritualitas, intelektualitas dan psikologisitas hancur-hancuran.
Seolah-olah orang dididik untuk menjadi DPR, bupati/walikota, gubernur dan lainnya yang sangat elitis yang ujung-ujungnya disiapkan untuk menjadi koruptor dan masuk di “penjara atau neraka kelak”.
Sistem pendidikan di masa Otsus Papua dan pemekaran wilayah di Papua tidak lebih dan tidak kurang dari “bak sampah”. Sistem pendidikan di Papua dari tingkat TK-PT adalah bak sampah.
Artinya, hanya melahirkan dan menyiapkan orang-orang untuk korupsi. Dengan hasil korupsi itu beli mobil, kawin laki-laki dan perempuan, bikin kios sana sini dan lainnya diatas realitas penderitaan orang dan krisis pendidikan yang sangat parah.
Ketika banyak misionaris dideportasi atas nama penertiban WNA, penerapan Otsus Papua dan pemekaran wilayah, peran guru-guru Kei makin hilang, dan sistem pendidikan katolik di tanah Papua makin “kebiri”.
Semenjak guru-guru Kei terpukul mundur dan kehilangan ruang untuk bekerja, perlahan orang Papua mengalami kemajuan dalam konteks kemunduran yang sangat luar biasa.
Akhirnya, tak heran apabila setelah sadar saya merindukan peran serta dari guru-guru katekis dari Kei yang dulu sangat dekat dengan orang Papua, masalah orang Papua, pendidikan orang Papua, kesehatan orang Papua dan masa depan orang Papua.
Sa rindu kamu, wahai saudaraku, orang Kei. Kam tra kasian kitorang kah? Masa kam yang buka jalan keluar untuk kami lihat terang dan dunia lain, baru kam jauh dari kitorang tu. Tolong jang kam liat kami jalan sendiri…
Kitong smua rindu kam oo…. Semoga pada suatu waktu Tuhan atur supaya kita ketemu dan kedekatan kita hangat terbangun kembali seperti tempo dulu. Yesus memberkati.
Sumber foto :
- Maakie Derksen (2016). Local Intermediaries? The Missionising and Governing of Colonial Subjects in South Dutch New Guinea, 1920–42
- Pim Schooorl. (2001). Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak, 1945-1962
- 50 Tahun Misi Katolik di Perbatasan (Dok gereja tidak dipublikasikan).