Oleh: Dr. Ir. Agus Sumule · Ph.D dan Dr. Yusuf Willem Sawaki, S.Pd, MA, Dosen Universitas Negeri Papua
Pada tanggal 22 Februari 2024 yang lalu, ada berita kematian yang hampir tidak diperhatikan oleh publik di Papua maupun di Indonesia pada umumnya. Tidak ada tanda perkabungan, tidak ada pernyataan belasungkawa.
Kantor berita Antara melaporkan, bahwa ada 4 (empat) bahasa Papua yang telah punah. Telah mati. Hilang. Punah karena penuturnya sudah tidak ada. Sudah tidak ada itu tidak berarti karena mereka semua sudah meninggal dunia. Mereka itu mungkin saja masih ada, tetapi sudah tidak bisa lagi menggunakan bahasa itu, yang sesungguhnya adalah Bahasa Ibu mereka.
Pada saat yang sama hampir tidak ada hasil penelitian dan dokumentasi tertulis mengenai bahasa-bahasa itu, sehingga tidak mungkin lagi dipelajari secara lengkap – termasuk oleh keturunan para penutur Bahasa tersebut.
Bahasa-bahasa yang telah almarhum itu adalah: Tandia di Teluk Wondama, Air Matoa di Kaimana, Mapia di Supiori (Kepulauan Mapia dan Kepulauan Ayau di Raja Ampat), dan Mawes di Sarmi. Konon, masih ada sejumlah bahasa lagi yang sementara menuju kepunahan kalau tidak diambil tindakan-tindakan segera, seperti bahasa Dusner di Teluk Wondama, Dialek Biak Doreri di Manokwari, Bahasa Tobati dan Kayu Pulo di Jayapura.
Mengapa Bahasa begitu penting? Mengapa Bahasa harus dijaga, harus dipelihara, harus dikembangkan? Salah satu alasannya adalah karena bahasa itu bagian dari kebudayaan. Bahasa itu identik dengan jati diri dan identitas suatu kaum. Makanya semua Bahasa itu indah, setiap bahasa itu unik.
Saya bertanya kepada fasilitas kecerdasan buatan di google tentang mengapa Bahasa penting bagi pelestarian kebudayaan. Ini jawaban yang diberikannya: “Bahasa adalah bagian penting dari budaya dan pewarisan [budaya] …[M]melestarikan Bahasa … memastikan kelanggengan tradisi untuk generasi mendatang. Bahasa merupakan cara berkomunikasi, mengekspresikan identitas budaya, dan mewariskan nilai dan tradisi. … [Bahasa] dapat membantu menumbuhkan perasaan identitas kelompok dan solidaritas. Ketika suatu bahasa hilang, maka sebagian budaya yang diwakilinya juga hilang.”
§§§
Untunglah bencana kematian Bahasa tidak perlu terus menerus terjadi di Papua. Sudah ada orang-orang baik yang memiliki visi jauh ke depan yang telah, sementara dan terus berupaya mendokumentasikan bahasa-bahasa Papua.
Mari kita ambil contoh Bahasa Mee – bahasa yang dituturkan oleh kurang lebih 100.000 orang penduduk asli yang bermukim di sekitar danau-danau Wissel (Paniai, Tigi dan Tage).
Hingga sekarang sudah ada ada 2 (dua) kamus Bahasa Mee yang diterbitkan. Yang pertama terbit tahun 1960. Penyusunnya adalah Ibu Marion Doble, seorang misionaris perempuan C&MA. Judulnya “Kapauku-Malayan-Dutch-English Dictionary”, diterbitkan oleh M. Nijhoff, Den Haag. Nama Marion ini diberikan oleh Bupati Karel Gobay kepada puterinya, usi Marion Gobay, salah seorang anggota MRP yang pertama.
Kamus Bahasa Mee yang kedua disusun oleh Steltenpool. Terbit tahun 1969 dengan judul “Ekagi-Dutch-English-Indonesian Dictionary” oleh Martinus Nijhoff, Den Haag, Belanda. Saya (Agus Sumule) sangat beruntung memiliki kamus-kamus ini. Kamus yang disusun oleh Stertenpool didapat dari pak John Gobay, anggota DPRP, lebih dari 10 tahun yang lalu.
Bahasa-bahasa lain juga sudah memiliki kamus. Misalnya, bahasa Yali dialek Apahapsili (Sonja Risberg 2016) telah memiliki kamus Yali-Inggris-Jerman. Bahasa Meyah juga telah memiliki kamus Meyah-Indonesia. Kamus ini rampung tahun 2019, dikerjakan oleh Nathaniel Mancadan dan Giles Gravelle. Bapak Nathaniel Mandacan adalah mantan Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat.
Selain itu, ada kamus trilingual bahasa Sentani-Indonesia-Inggris yang ditulis oleh Bapak Andreas Jefri Deda tahun 2018. Bapak Deda adalah dosen Fakultas Sastra Universitas Papua. Beliau meninggal dunia pada akhir Oktober tahun 2021. Masih banyak kamus bahasa lain yang sudah diterbitkan.
Ada juga kamus-kamus lain namun belum diterbitkan, seperti kamus bahasa Mpur yang disusun oleh Boas Wabia. Beliau bekerja di Center for Endangered Languages Documentation, Universitas Papua. Kamus bahasa Wooi disusun oleh Jimmi Kirihio dan Yusuf Sawaki. Ada kamus bahasa Wano yang disusun oleh Wiem Burung. Masih banyak lagi kamus-kamus bahasa Papua yang menunggu untuk diterbitkan.
Untuk bisa menyusun kamus-kamus ini, pasti ahli yang disebutkan di atas harus secara tekun mewawancarai dan/atau mencatat kata-kata yang mereka dengar dari para penuturnya. Tidak jarang mereka harus memeragakan arti dari kata-kata itu supaya catatan mereka akurat untuk dianalis lebih jauh.
Selain dalam bentuk kamus, sudah banyak bahasa-bahasa daerah di Papua yang diteliti dan ditulis grammar/ tatabahasanya, mulai dari periode pekerjaan misionaris dari tahun 1855 sampai sekarang.
Tata-bahasa Bahasa Biak Numfor ditulis oleh Carl Ottow (1860an) sampai dengan Suriel Mofu (2008). Tatabahasa Ambai oleh Peter Silzer (1983); Maybrat oleh Philemina Dol (2010), Abun oleh Keith dan Christine Berry (1999); Wandamen oleh Emily Gasser (2014), Wooi (Yusuf Sawaki 2016); Ambel di Raja Ampat oleh Laura Arnold (2018), dan masih banyak yang lain.
Hanya saja, seperti yang tampak di atas, sebagian besar karya tatabahasa ini ditulis oleh peneliti asing. Hanya sebagian kecil saja yang ditulis oleh peneliti-peneliti orang asli Papua.
Di Fakultas Sastra dan Budaya (FSB) Universitas Papua, khususnya di Program Studi Sastra Inggris, mahasiswa linguistik diwajibkan menulis skripsi tentang bahasa-bahasa daerah di Papua. Sudah ratusan skripsi yang dihasilkan — mulai dari wilayah Selatan Papua di Merauke tentang bahasa Marind, ke Utara Jayapura tentang bahasa Tobati, Sentani, Kayu Pulo, juga bahasa Biak, Ambai, Waya dan bahasa lain di Teluk Cenderawasih. Tatabahasa beberapa bahasa di Pegunungan Tengah, di wilayah Kepala Burung dan Raja Ampat, juga telah ditulis dalam bentuk skripsi.
Semua skripsi yang disebut di atas itu ditulis oleh mahasiswa S1 Program Studi Bahasa Inggris. Kekuatan di FSB Unipa, adalah banyak mahasiswa dari berbagai suku di Papua yang masih lancar berbahasa daerah. Jadi ini merupakan satu kekayaan yang dapat menjadi sumber inspirasi akademik. Selain itu, ini merupakan perwujudan misi Program Studi Bahasa Inggris, FSB Unipa untuk mengkaji dan menyimpan bahasa-bahasa daerah dalam bentuk skripsi sebagai bagian dari visi dokumentasi bahasa-bahasa daerah di Papua.
Di Universtas Papua juga terdapat Center for Endangered Languages Documentation (CELD), atau Pusat Dokumentasi Bahasa-bahasa Yang Terancam Punah. Pusat ini saya dirikan pada tahun 2009 melalui kerja sama dengan Cologne University di Jerman, yaitu dengan Prof. Nikolaus Himmelmann.
Visi dan misi lembaga ini adalah menjadi pusat dokumentasi bahasa-bahasa daerah di Papua. Sekarang sudah lebih dari 10 bahasa yang memiliki dokumentasi lengkap baik dokumentasi tulisan maupun dokumentasi audio dan video. Lembaga ini masih self-funded dan dibiayai atas kerjasama dengan universitas dari luar negeri. Alangkah baiknya jika, pemerintah di Tanah Papua juga dapat menunjang pendanaan untuk kerja-kerja dokumentasi bahasa daerah di Papua.