Oleh: Dr. Ir. Agus Sumule · Ph.D dan Dr. Yusuf Willem Sawaki, S.Pd, MA, Dosen Universitas Negeri Papua
Berapa lama suatu bahasa dipelajari sehingga bisa hadir sebagai dalam berbagai bentuk: bahan bacaan – termasuk kamus?
Mari kita lihat contoh berikut ini. Di Papua bahasa-bahasa umumnya dipelajari oleh para misionaris dan warga gereja tertentu agar Alkitab, Firman Allah, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa setempat agar pesan-pesan rohaninya bisa lebih dimengerti dan mengubah hidup manusia di suku tersebut.
Berapa waktu lalu saya berkunjung ke Omban yang sangat cantik, yang adalah salah satu kampung di Distrik Borme, Kabupaten Pegunungan Bintang. Sekitar 40 tahun yang lalu, Bapak Andre Sims, seorang misionaris SIL, tiba di Kampung Omban untuk memulai pekerjaan penerjemahan.
Tetapi ia tidak bekerja sendiri. Ia lebih suka disebut sebagai seorang konsultan, sementara yang melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Ketengban (penuturnya diperkirakan 10.000 orang) adalah orang-orang Ketengban sendiri. Jubi online mencatat 11 orang penerjemah, yaitu Pdt Libius Urwan, Yulius Uropka, Yakobus Urwan, Marius Uropka, Elias Basini, Aprius Lepitalen, Pdt Andi Dipur, Amos Kulka, Herman Kulka, Enos Dipur dan Damotius Kulka.
Orang-orang seperti Pdt. Libius Urwan dkk. dan Pdt. Andrew Sims inilah yang telah bekerja keras, melakukan banyak penelitian, dan akhirnya orang-orang Ketengban bisa memiliki Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam bahasa mereka sendiri! Dan, masih banyak orang-orang lain yang telah membaktikan seluruh hidup mereka untuk mempelajari dan melestarikan bahasa-bahasa asli Papua.
Menurut salah seorang teman yang sudah puluhan tahun terlibat dalam organisasi penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku di Papua, hari ini sudah ada 9 (sembilan) bahasa asli Papua yang telah dilestarikan dalam bentuk Alkitab lengkap (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), yaitu Hatam, Sougb, Dani Barat, Ngalik, Hupla, Una, Ketengban, Yali (Angguruk), dan Yali (Ninia).
Yang telah memiliki Perjanjian Baru saja ada 40 bahasa, yaitu: Abun, Maybrat, Moskona, Meyah, Mairasi, Yawa, Biak, Auye, Mee, Moni, Moi-Wadea, Damal, Nduga, Bauzi, Isirawa, Berik, Nggem, Walak, Yali (Pass Valey), Dani (UGV), Dani (MGV), Dani (LGV), Kosarek, Nalca, Eipomek, Kimyal, Momuna, Asmat (Central), Asmat (Yausakor), Sawi, Citak, Citak Tamnim, Wambon, Ngalum, Waris, Sentani, Kemtuk, dan Orya.
Yang sudah memiliki bagian-bagian dari Alkitab adalah bahasa-bahasa Tehit, Mpur, Wandamen, Irarutu, Dusner, Tandia, Ansus, Munggui, Waropen, Barapasi, Tausi (Deirate), Tausi (Weirate), Fayu, Wolani, Dem, Wano, Turu, Edopi, Obo Kuitai, Iau, Dovlu, Doutai, Kwerba, Sika-ritai, Foau/Abawiri, Dibroud/Taworta, Nipsan, Diuwe, Korowai, Komyan-Daret, Tangko, Naki, Marind, Morop, Kimki, Dalme, Yetfa, Dera, Kaure, Elseng, dan Nimboran.
§§
Mengapa saya membuat daftar Panjang bahasa-bahasa Papua yang sudah memiliki Alkitab – lengkap Perjanjian Lama dan Baru, atau Perjanjian Baru saja, atau hanya bagian-bagiannya?
Pertama, untuk menunjukkan penghormatan akan kekayaan budaya Papua yang perlu dipelihara, dan sekaligus menunjukkan apresiasi dan penghargaan yang sangat mendalam kepada semua orang, misionaris dan hamba-hamba Tuhan asli Papua, yang sudah memilih jalan yang sunyi dalam ketekunan dan disiplin yang luar biasa, sehingga Alkitab dalam sejumlah bahasa suku bisa tersedia. Pekerjaan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa suku adalah pekerjaan Ilmiah yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang ahli.
Kedua, sebagai pendorong bagi Pemerintah dan masyarakat pada umumnya untuk segera memulai upaya pemanfaatan dan inklusi bahasa-bahasa daerah ke dalam sistem pendidikan di Papua. Ini adalah salah satu cara yang paling efektif untuk memelihara dan mengembangkan suatu bahasa.
Langkah konkritnya bisa seperti ini. Karena penduduk asli kelurahan Amban, Distrik Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari adalah penutur bahasa Meyah, maka sekolah-sekolah di Amban, mulai dari PAUD sampai Unipa, perlu mengajarkan bahasa Meyah kepada para peserta didiknya. Buku-buku perlu disusun, lagu-lagu Meyah diajarkan, bahkan tarian-tarian dipertunjukkan secara berkala. Dengan cara seperti ini timbul apresiasi kepada bahasa yang dituturkan oleh sekitar 15.000 orang penutur aslinya ini.
Prinsip yang sama bisa dilakukan di semua tempat di Papua, dimulai dari sekolah-sekolah yang berlokasi di daerah perkotaan. Pasti akan luar biasa kalau semua sekolah di wilayah Sentani mewajibkan pengajaran bahasa Sentani sebagai muatan lokal (mulok) kepada para muridnya. Atau di Biak. Atau di Wamena. Atau di Merauke, dan di tempat mana saja yang sudah memiliki Alkitab dalam bahasa setempat.
Pasti hal ini tidak sulit untuk dilakukan. Referensi utamanya sudah ada: Alkitab dalam bahasa setempat. Pasti sudah ada kamus bahasa-bahasa tersebut – entah sudah diterbitkan oleh belum. Kewajiban pemerintah daerah adalah untuk mengalokasikan Dana Otsus yang besar itu untuk juga membiayai upaya pelestarian kebudayaan Papua melalui pengajaran bahasa-bahasa asli Papua di sekolah-sekolah, sesuai wilayah budaya/bahasa aslinya.
§§
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menceritakan tentang Harlince Yoman. Dia adalah seorang Sarjana Peternakan lulusan Program Studi Peternakan Universitas Mataram pada tahun 2021. Skripsinya berjudul “Aplikasi Etnobotani Untuk Mengidentifikasi Pakan Ruminansia di Papua.”
Apa yang menarik dari skripsi ini? Pembimbingnya, Prof. Suhubdy, seorang ahli peternakan terkemuka di Indonesia, meminta Harlince untuk menulis abstrak skripsinya dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan bahasa asli Harlince. Jadi, dengan bangga menulis ia menulis abstrak itu dalam bahasa Lani “Wone Abe Likogon – Etnobotani Eringga Ruminansia Nonggo Menggarak O Papua Ekologorak.”
Kalau seorang Prof. Suhubdy yang begitu jauh di Universitas Mataram memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap bahasa-bahasa Papua, seharusnya kita juga melakukan hal yang sama – bahkan lebih dari itu.
SELESAI