Kisah dari Numfor

Api unggun malam, anak anak mendengarkan cerita orang tua. Ilustrasi: sastrapapua
Api unggun malam, anak anak mendengarkan cerita orang tua. Ilustrasi: sastrapapua

Oleh; Dwi Cipta, cerpenis, bermukin di Yogyakarta

Manusia tanpa sejarah tak terlepas dari waktu, karena sejarah adalah suatu pola dari momen-momen nirwaktu…. TS Eliot.

AKU berasal dari Numfor, sebuah pulau kecil di sebelah atas daratan Pulau Papua, negeri hitam kami yang diliputi hutan belantara dan sungai panjang. Dari tepiannya aku dilahirkan. Selama ratusan tahun nenek moyangku mendiami pulau itu, dihidupi dan menghidupkan semua dan segala. Kehidupan kami bagai tak terbatas, memiliki hutan-hutan dengan segala isinya, lautan dengan segala yang ada di dalamnya. Anak-anak bersahabat dengan angin, dengan akar-akar pepohonan, bergelantungan seperti kera-kera memetik buah-buahan. Kaum perempuan kami berdendang riang, menunggu para lelaki pulang berburu atau menangkap ikan. Sungguh masa lalu yang riang.

Pada malam hari, kami berkumpul membentuk lingkaran mengelilingi api, menghitung bintang-bintang, mendengarkan tetua kami mendongeng, melacak dan mewariskan yang silam. Laki-laki dan perempuan, tua-muda, kakek-nenek maupun cucu-cucu bergelak-gelak atau menangis mendengarkan tetua kami menyihir setiap kata menjadi dunia ajaib. Kami ditenggelamkan oleh gegap gempita kejayaan, sampai suaranya yang serak dan kelip sinar matanya yang letih itu menandai berakhirnya cerita.

“Pergilah tidur dalam damai, dan esok kalian harus lebih menang daripada kami, sebab kalian adalah mutiara-mutiara hitam, pemilik masa depan yang gemilang.”

Kami menyingkir, menjauhi pendiangan, kembali ke gubuk-gubuk yang telah menunggu dalam kegelapan. Oh, masa lalu yang damai, keriangan yang telah silam, kejayaan yang kini menghilang!

Bacaan Lainnya

Kepada siapa harus kupertanggungjawabkan nista ini, terusir dari tanah sendiri, dikhianati nasib sengit? Kami tiada salah, tiada memanggil bala dan bencana. Namun seperti kisah orang-orang asing yang pertama-tama datang ke negeri kami, kami bagai diturunkan dari surga milik Tuhan serupa Bapa Adam dan Ibu Hawa jatuh terperosot dari langit dan terjerembap di wajah lengas bumi, hanya kuasa mencucurkan air mata, kian kemari menanggung sengsara. Inikah kutuk masa depan seperti yang dituturkan tetua kami jikalau di antara kami ada yang berkhianat terhadap leluhur?

“Jika ada satu di antara kalian tak mau mendengar keluh angin, debur ombak lautan, keheningan hutan; jika ada di antara kalian enggan membaca tanda-tanda dari langit, kemalangan akan dijatuhkan atas kalian. Terkutuklah kalian sampai jauh di masa depan,” ujar tetua kami setiap kali akan mengakhiri kisahnya yang penghabisan.

Benar, tetua, kami telah mengkhianati semuanya, nenek moyang, tanda-tanda alam, kisah-kisah lama dalam dongeng kita, segala hal di sekitar kami. Lebih kami dengarkan suara padri-padri berkulit putih yang berwajah seperti malaikat itu, ancaman-ancamannya yang mengerikan ketika ia berbicara tentang neraka, keindahan dan kenikmatan yang ditawarkan oleh surga. Kami tinggalkan masa lalu, terlepas dari sejarah, dan kemudian melayang-layang tanpa arah. Jikalau kami kemudian ternista, hidup dalam semesta tak berwaktu, menyusuri lorong-lorong kegelapan, pada siapa akan kami keluh-kesahkan?

***

Sebenarnya, aku tak tahu apakah persisnya memang demikian. Aku tak tahu pasti siapakah yang salah, padri kulit putih bermuka malaikat yang datang menawarkan Tuhan baru bagi kami beserta surga dan nerakanya, orang-orang katai yang membuat kami musnah dan meninggalkan tanah leluhur, ataukah nenek moyang kami yang mewariskan sejarah kepada kami beserta kemuliaan gunung dan lautannya, kemahadayaan hutan-hutan dan roh-roh yang bersemayam pada setiap benda dan harus kami puja untuk menjaga rantai kedamaian masa depan.

Bencana itu barangkali memang telah diperuntukkan bagi kami, dengan atau tanpa kutukan sebelumnya. Setelah padri-padri itu datang dan berdiam di sekitar kami, kemudian berturut-turut mengekorlah orang-orang kulit putih rakus itu, mengambili milik kami. Mereka, pendatang kulit putih yang tiba sesudah padri-padri itu, berkata kasar bahwa merekalah pemilik negeri kami.

“Bangsa kami lebih mulia daripada kalian, orang-orang hitam dan barbar! Kamilah pemilik dunia seperti yang dikabarkan Injil. Dan kalian tiada lain adalah pelayan kami. Kami telah berkuasa atas lautan selama ratusan tahun, dan kini saatnya kami juga menguasai daratannya.”
Jadi mungkin inilah nujum seperti yang dikatakan para tetua puluhan tahun lalu tentang jaring kegelapan yang sewaktu-waktu bisa datang dan menyergap kami.

“Jika suatu saat kalian tak lagi bertuan atas tanah dan air kalian sendiri, hidup kalian akan sengsara. Tiada yang lebih mengetahui tanah dan air, gunung dan lautan di sini kecuali kalian sendiri.”

Generasi demi generasi, sejak kedatangan orang-orang berkulit putih itu, kami mulai tersingkir. Orang-orang kami tak lagi memiliki kemerdekaan. Hidup kami terbelenggu. Sejarah kami sendiri perlahan-lahan menyusut dan terbang bersama angin yang tak lagi membelai kulit kami dengan mesra. Kami mulai kehilangan segalanya….

***

Sampai beberapa tahun lalu, seperti serombongan setan dari neraka atau roh-roh jahat yang muncul dari dalam lautan, berhamburanlah di tanah kami orang-orang katai itu, membawa-bawa senapan dan pedang panjang berkilat. Pecah perang di lautan kami antara orang-orang kulit putih dan bangsa katai berkulit kuning dan bermata sipit itu. Dalam pertarungan dua binatang buas itu, kami bagai dijadikan pelanduk, mati di tengah-tengahnya. Dari orang-orang berkulit putih, nasib kami dilemparkan ke tangan orang-orang katai yang gemar membuat gua dan lubang persembunyian.

Kami dikumpulkan bersama dalam satu tempat. Orang-orang kulit putih yang semula ikut tinggal bersama kami telah pergi beberapa hari sebelum kedatangan serombongan setan katai dari dalam lautan itu. Mereka rupanya lebih cepat mencium bahaya daripada kami. Hanya ada beberapa orang pencari emas yang tertinggal dan satu padri yang memang berjanji akan menemani kami sampai mati. Mereka dipisahkan dari rombongan kami, disekap dalam rumah mereka sendiri, dijaga ketat oleh tentara berbayonet.

Kami hidup seperti dalam mimpi buruk. Segala mantra dari tetua kami tak memiliki kekuatan untuk mengusir orang katai itu, atau memperlunak sikap mereka kepada kami. Tanpa rasa belas kasihan, mereka memaksa kami membangun gua-gua persembunyian dan membuat parit-parit pertahanan. Pemimpin katai menyebut kami romusa. Tetua kami dijadikan pemimpin, namun tanpa taji dan kekuatan dari nenek moyang kami. Karena kedukaan dan kehinaan yang kami alami, ia membunuh diri dengan panah pusakanya, melolong-lolong minta ampun kepada nenek moyang.

Sejak itulah kami yakin sejarah kami berakhir. Kami diantarkan kereta sejarah ke dalam kehampaan, kehidupan tanpa kebahagiaan, tersisih ke dalam ruang gelap dan anyir. Sebagian kecil dari kami, yang bertubuh paling kuat, dibawa ke suatu tempat dengan kapal. Mereka menyebut-nyebut nama Morotai. Kabarnya setelah dibawa ke tempat jahanam itu, mereka semua menemui kematian di ujung pedang. Ya, mereka dikirimkan ke dalam ketiadaan. Dan begitu juga dengan kami. Bekerja siang dan malam hampir tanpa makanan. Perempuan kami diperkosa, dilemparkan dari satu lelaki katai kepada lelaki katai berikutnya. Anak-anak kami kelaparan. Pada malam hari, kami menangisi diri sendiri dan mengutuk kejahatan kami kepada nenek moyang, segala roh yang ada di bumi dan langit, pada bintang-bintang yang tak lagi berkedip riang kepada kami. Mereka semua murung, bisu, semakin jauh, jauh, sampai samar….

***

Pada suatu malam, kubangunkan kedua saudara laki-lakiku. Kami berbisik-bisik kecil.

“Kita harus meninggalkan tempat ini. Jika tidak, semua dari kita akan musnah oleh orang-orang katai itu,” kataku.
“Tapi penjagaan sangat ketat. Dan telinga katai itu alangkah tajamnya. Mata mereka yang sipit seperti menyembunyikan matahari. Jika dibuka lebih lebar oleh sebab tindakan bodoh yang kita lakukan, musnahlah kita semua,” kata kakakku.

“Benar, tapi tanpa melawan kita juga akan musnah. Kita sungguh-sungguh telah dikutuk!” ujar adikku. Dalam kegelapan aku tahu ia menangis, berusaha menahan diri supaya suaranya tak menciptakan kegaduhan sekalipun kecil.

“Itulah sebabnya aku berpikir meninggalkan tempat ini. Kita telah dikutuk, jatuh dalam jurang tanpa dasar. Kita lebih mengenal tempat ini daripada mereka, sekalipun mereka lebih berkuasa atas kita. Bukankah mereka tak tahu persis di mana harus merunduk dan menegakkan badan supaya tidak terlihat? Kalau kita pergi, mungkin kita selamat, dan bisa hidup baru di tempat asing.”

“Mungkin juga tidak, dan menemui kematian seperti yang lainnya,” ujar kakakku jeri.

“Tapi kita sudah mencobanya. Kita tidak akan malu kepada nenek moyang dan bisa menebus dosa kita.”

Dari hampir seratus orang laki-laki, hanya sepuluh orang yang bersedia mengikuti kami, itu pun mereka yang tak lagi memiliki istri atau anak-anak. Persis ketika rembulan telah habis, dan hujan turun deras di bumi yang telah dipekati kegelapan dan aroma kemusnahan, bersepuluh kami berjalan kaki, menghindari penjagaan dan sergapan. Dua orang berhasil ditemukan penjaga dan digelandang ke markas, tak lagi kami ketahui nasibnya. Satu orang tertangkap ketika sedang menyeberangi sungai, dan dua orang lagi memutuskan berpisah dengan rombongan. Kami berjalan naik turun bukit, sampai di tepi laut dan harus bersembunyi di sebalik perbukitan untuk menghindari patroli tentara katai.

Berlima kami membuat perahu dari batang pepohonan yang ditebang pada malam hari. Setelah perahu selesai, kami berselisih tujuan, apakah ke Serui yang tak diduduki orang katai–seperti yang dikatakan padri kami sebelum orang katai itu datang–ataukah ke pulau lain yang tak berpenghuni. Kami bertiga memutuskan melanjutkan perjalanan ke Serui. Sedangkan dua kawan kami memutuskan tinggal di pulau tak berpenghuni. Sesampai di Serui, kami bertiga berpisah jalan. Aku tinggal di Kampung Turu, kakakku tinggal di Kampung Anoterai, dan adikku tinggal di Kampung Menawi.

Kami tinggalkan masa lalu kami, bercerai dalam ketiadaan. Dan sejarah sungguh-sungguh menciptakan keasingan bagi kami, seperti anak yatim piatu yang ditinggalkan ayah-bundanya.

***

Untuk kalianlah kututurkan kisah ini. Tiada lain karena aku telah kehilangan siapa diriku yang sebenarnya. Aku tiada lagi bertanah, juga berair. Terusir dari surga yang telah kudiami sekian lama. Aku khianati hakikat kemanusiaanku yang memiliki sejarah, melayang-layang dalam kehampaan hidup yang kini kujalani. Kini, di tempat tinggalku yang baru di Serui, tak kupakai lagi nama fam yang dulu, fam yang sejak zaman nenek moyangku pertama-tama mendiami Numfor. Orang-orang bertanya nama famku, kujawab dengan keasingan yang menyembunyikan kedukaanku.

“Namaku Tera Kansay.”

“Fam Kansay? Apakah ada Fam Kansay di bumi Papua?” tanya orang-orang kebingungan.

“Ya, akulah orangnya, yang pertama-tama memakai nama fam itu.”

“Dari mana asal nama fam itu?”

“Karena aku lahir di tepi salah satu sungai tak bernama di Numfor, di bawah sebuah pohon beringin. Sejak kedatangan bangsa katai, sungai itu diberi nama Kansay untuk mengenang tempat muasal para tentara katai yang sedang membangun gua-gua persembunyian di tepi sungai itu. Aku tak tahu siapa ayahku, sehingga tak memiliki fam seperti kebanyakan orang. Jadi nama famku sesuai dengan nama baru untuk sungai itu.”

“Kansay…? Nama fam yang berasal dari nama tempat asal orang katai. Sungguh aneh,” gumam mereka tak mengerti.

Kedua saudaraku tetap menggunakan nama fam asal kami. Mereka tak mau lagi datang ke tempatku setelah mengetahui aku mengubah nama famku dan menyebutku seorang pengkhianat nenek moyangku. Benar, aku sendirilah yang memutuskan diri dari belenggu kutukan itu. Aku hormati masa laluku, tapi biarlah ia tenggelam dalam kelupaan. Setelah sepuluh orang meninggalkan kamp kerja paksa, orang-orang katai itu menyiksa seluruh laki-laki sesama saudara kami. Hanya tersisa lima orang, itu pun karena mereka meloloskan diri dari sergapan sebat samurai orang-orang katai itu. Kini, hanya tersisa para perempuan di tempat asalku, dan beberapa lelaki jompo. Kehidupan yang musnah dengan segala warisannya.

Jika suatu saat anak cucuku bertanya dari mana asalku, akan kukatakan asal-muasal mereka yang sebenarnya. Aku tak tahu apakah akan diterima kembali di tanah asal mereka seandainya suatu saat mereka ingin kembali ke sana, ataukah terusir, seperti aku yang terusir dari asal-muasalku.***

Yogyakarta, Agustus 2006

Untuk Adam Kansay dari Serui….

(Dimuat di Media Indonesia 01/07/2007)

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.