Oleh; Safitri Shinta Pribadi
PROLOG
Artikel ini didedikasikan bagi jiwa-jiwa yang mencintai dan merindukan Lembah Balim lebih dari apa pun. Jiwa-jiwa yang pernah mendiami dan menjadi bagian sejarah dari keindahan Lembah Balim.
Dan bagi Anda yang belum mencintai dan merindukan Lembah Balim karena tidak pernah menjejakan kaki di atasnya, artikel ini adalah alasan bagi kalian untuk menguras rekening tabungan kalian tanpa berpikir panjang, mengepak koper kalian secepatnya, dan mencari penerbangan berikutnya ke Kota Wamena.
“Buka jelajah bumi Papua deh, coba kamu ikut lomba tulisnya.” Itu isi BBM yang dikirimkan oleh seorang teman saya.
Penasaran dengan isi website serta bersemangat dengan kata magic “Papua” yang terkandung dalamnya, saya langsung membuka website tersebut dengan jantung berdebar-debar dan tangan gemetaran. Entahlah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Papua selalu bisa menjungkirbalikan perasaan saya: perpaduan antara perasaan cinta yang teramat sangat, rindu yang menbuncah hingga ke ubun-ubun, memori yang berputar dan mengalun bak nyanyian merdu pengantar tidur, serta sensasi memiliki yang rasanya tak waras dan lak lazim lagi. Semua bercampur-aduk sehingga saya merasa terengah-engah menahan debaran jantung yang bedetak brutal tak terkendali karenanya.
Oke, saya segera melewati embel-embel mengenai ketentuan lomba karena perhatian saya langsung tertuju pada hadiah utama nan menggiurkan yang tertulis di sana. Kali ini kata magic “Lembah Balim” yang kembali menjungkirbalikan perasaan saya.
Lembah Balim, Wamena. My lovely land Lembah Balim. My precious town, Wamena. Kota tercinta di mana jantung dan hati telah saya kubur hingga berakar menyatu dengan setiap unsur hara yang terkandung di tanahnya. Kota tersayang di mana semua mimpi dan memori telah saya pupuk hingga tumbuh tinggi menjulang bagaikan Empire State of Building. Kota kebanggaan yang selalu saya kenang dan rindukan dalam setiap helaan nafas dan dalam setiap tapak serta langkah kaki saya. Kota yang sangat saya puja dihadapan semua orang sehingga mereka semua nyaris berpikir bahwa mungkin saja Kota itu adalah sejenis dewa baru untuk disembah.
Saya memejamkan mata, meresapi sensasi luar biasa yang muncul atas sentuhan magic kata “Lembah Balim”, sementara air mata saya tidak terasa mengalir dengan deras membasahi pipi dan melunturkan bedak saya. Bukan, air mata itu bukan air mata kesedihan atas memori buruk yang pernah tercipta di Lembah Balim. Bukan, air mata itu bukan air mata penyesalan atas dosa besar yang pernah saya lakukan di Lembah Balim. Air mata itu adalah air mata haru yang muncul karena rasa rindu yang teramat sangat akan setiap jengkal tanah Lembah Baalim, air mata itu adalah air mata kebahagiaan yang muncul karena penggalan-penggalan kisah indah yang berkelebat di dalam kalbu.
Saya memfokuskan pikiran saya, biasanya tidak sulit untuk menampilkan kembali slide show dalam otak saya mengenai kota itu. Namun kali ini saya berjuang dengan keras untuk memfokuskan pikiran saya karena saya tak ingin ada satu saja memori indah yang terlewat. Saya tidak peduli jika saat itu saya tengah berada di kubikel kantor yang sempit dengan tumpukan dokumen bau yang menggunung. Saya tidak peduli jika terkena pemotongan gaji saat boss saya melihat tingkah saya dan berpikir jika saya sedang tertidur. Saya tidak peduli bahwa saat itu hampir tiba jam makan siang dan semua naga dalam perut saya mendengus-denguskan nafas apinya minta diberi makan. Karena saat itu saya seolah telah tersedot dalam lubang waktu berwarna keemasan, kembali ke masa-masa indah saat masih hidup di Lembah Balim. Saya seolah terlempar dalam dimensi masa lalu dan kembali pada keindahan alam Lembah Balim.
Saat membuka mata, saya seolah telah berada kembali di kota itu. Saya bisa merasakan dinginnya yang menusuk-nusuk menembus tulang dan kabut tebal yang membutakan panca indera. Saya bisa mencium kembali bau pinang dan sirih yang menghiasi setiap sudut kota serta mendengar alunan lembut Pikon dimainkan. Saya bagaikan tengah menapaki jalanan aspal kecil kota Wamena dan menyapa wanita-wanita setengah telanjang dan pria-pria berkoteka: “Mama la’uk! Bapa Nayak!”. Semua serasa begitu nyata dan proyeksi yang begitu nyata ini sangat membantu saya untuk bercerita ulang kepada Anda mengenai Lembah Balim.
Saya tidak butuh Wikipedia. Saya tidak butuh Google. Walau telah berlalu sepuluh tahun yang lalu, semua terekam dengan sangat baik dalam ingatan saya.
It’s a Very Small Town with Limitted Acces.
Lembah Balim yang dikelilingi oleh perbukitan dan terletak di kaki Pegunungan Jayawijaya adalah daerah terpencil yang hanya bisa dicapai dengan menggunakan pesawat dari Jayapura (Ibu Kota Provinsi Papua). So sorry, we don’t have another transportation accept plane to reach Lembah Balim. Sebenarnya ada juga sih jalan darat dari Jayapura menuju Wamena. Hanya saja jalur ini begitu rawan untuk dilalui. Jadi kecuali kalian punya sepuluh nyawa atau sakti mandra guna seperti Wiro Sableng atau berangkat dengan membawa lima batalion tentara, sangat amat tidak dianjurkan untuk menempuh jalan darat. Keterbatasan akses inilah yang membuat harga-harga barang dan makanan di Kota Wamena luar biasa mahal. Oleh karena itu, selain harga tiket pesawat dan penginapan yang mahal, Anda memang harus menyiapkan cukup dana untuk berlibur ke Lembah Balim.
Perjalanan Jayapura – Wamena ditempuh selama kurang lebih 30 menit. Beruntung saat ini maskapai penerbangan dengan rute Jayapura – Wamena sudah menggunakan pesawat yang beradab. Di masa saya dulu (tahun 90an), hanya pesawat focker yang bisa mencapai Wamena. Tahu kan, pesawat dengan tenaga baling-baling yang kalau menembus kabut sedikit saja sudah berguncang heboh seperti terkena badai di tengah Samudera Atlantik.
Setibanya di Airport, jangan heran. Wamena belum mempunyai bandara keren dengan fasilitas eskalator dan elevator. Kalau dilihat dari luar, bandara Wamena justru lebih mirip Kantor kelurahan. Dan please, please, please, jangan panik saat porter-porter bertampang sangar begitu galaknya menawarkan jasa membawa barang-barang Anda. Nada bicara masyarakat di sana memang keras dengan intonasi suara tinggi. Tolong diperhatikan tariff porter di sana pun tidak semurah di daerah lain. Coba saja beri Rp. 10.000,- kalau Anda tidak mau di caci maki.
Saking kecilnya kota ini, ke mana pun kita pergi pasti akan bertemu dengan orang yang sama. Ya, istilahnya Lu lagi… lu lagi… Tapi justru hal ini lah yang membuat persahabatan anak-anak yang lahir dan tumbuh di Lembah Balim menjadi abadi. Dengan pergaulan yang itu-itu saja, kami menjadi sangat akrab satu sama lain. Tak heran walau terpisah bertahun-tahun lamanya, persahabatan kami anak-anak Lembah Balim tetap terjaga dengan baik. Kami tidak hanya mengenal satu sama-lain, kami bahkan mengenal adiknya, kakaknya, orangtuanya, tantenya, bahkan pembantunya. Ya, seperti yang saya katakana tadi, semua karena lu lagi.,. lu lagi…
Panas Terik di Siang Hari, Dingin Menusuk di Malam Hari, Selimut Kabut Tebal, dan Waspadalah terhadap Angin Kurima.
Lembah Balim berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut walau pun namanya praktis Lembah. Tak heran udara di sana begitu dingin menusuk. Di malam hari, suhu normal mencapai 10 hingga 15 derajat Celsius. Di siang hari walaupun panas terik menyengat kulit, hembusan angin dingin yang kering tetap membuat suasana terasa sejuk. Karena itu, bagi wisatawan atau pun pendatang baru, tolong, jangan berani-beraninya untuk mandi tanpa air panas. Dan sekedar saran, pakailah selalu lotion dan pelembab bibir untuk mencegah kulit dan bibir pecah-pecah.
Dahulu, dipagi hari, kabut tebal selalu turun menyelimuti Lembah Balim. Kabut ini benar-benar tebal sehingga jarak pandang pejalan kaki pun sangat terbatas. Tak jarang pesawat yang hendak masuk ke Wamena harus kembali lagi ke Jayapura karena kesulitan untuk mendarat. Saat ini walaupun tidak lagi setebal dahulu, kabut masih menghiasi keindahan alam Lembah Balim dan seolah mempertegas unsur mistis yang dimiliki oleh Lembah Balim.
Bulan Juli menandakan datangnya musuh kami di sore hari yang biasa kami sebut Angin Kurima. Seperti namanya, angin kencang berhawa dingin ini bertiup dari sebuah Kecamatan bernama Kurima. Angin dingin yang bertiup sangat kencang dan muncul di sore hingga malam hari ini tidak saja membekukan, tapi juga menerbangkan debu, rok dan jemuran, membengkokkan payung, mematahkan dahan dan ranting pohon, bahkan membuat kami susah berjalan dan mengayuh sepeda melawan terpaannya.
Alhasil, di bulan Juli hingga Desember saat musim Angin Kurima datang, kami semakin mempertebal jaket-jaket pelindung kulit. Tak jarang serangan iritasi mata akibat debu yang terbawa angin kurima melanda kami, dan juga wabah bibir kering dan pecah-pecah tak ketinggalkan menghampiri kami. Walaupun angin ini cukup menyebalkan, herannya kami terkadang menunggu-nunggu saat musim angin kurima datang. Rasanya desingan angin kencang di telinga kami, dingin sapuannya menghantap pipi kami, dan sensasi sulit berjalan serta mengayuh sepeda yang ditimbulkan saat melawan tiupan angin menjadi kesenangan tersendiri bagi kami.
Suku Penghuni Lembah Baliem dan Pakaian Adat Mereka
Terdapat tiga suku besar yang mendiami yang mendiami Lembah Balim, yaitu Dani, Lani dan Yali. Namun suku Dani lah yang terbesar dan mendiami hampir seluruh wilayah lembah Balim. Dahulu waktu saya masih kecil, ayah saya mengajarkan bagaimana cara untuk membedakan mereka. Cukup mudah, tinggal melihat bentuk dan ukuran koteka (baju adat untuk pria, yang terbuat dari labu yang dikeringkan dan hanya menutupi bagian vital saja) mereka. Suku Dani mengenakan koteka dengan ukuran kecil. Sementara Suku Yali mengenakan koteka dengan ukuran besar dan ditambahkan dengan lilitan rotan yang menutupi pinggang. Suku Lani sedikit sudah dibedakan dengan Suku Dani karena pakaian adat mereka hampir mirip. Namun jika mendengar dialek yang digunakan, maka akan terlihat perbedaan antara keduanya.
Lembah Balim di tahun 90an jauh lebih tradisional dibandingan jaman sekarang. Dahulu pemandangan pria-pria berkoteka dan wanita topless dengan menggunakan Sali dan Yokal (pakaian adat untuk wanita seperti rumbai-rumbai yang terbuat dari tanaman rawa yang dikeringkan) sangatlah lazim. Saat ini di Kota Wamena pemandangan pria berkoteka dan wanita bersali sudah mulai jarang terlihat. Kecuali pada saat-saat tertentu yaitu pada Festival Lembah Balim di bulan Juni, atau pada saat pesta-pesta adat mereka. Jangan lupa abadikan moment saat berjumpa dengan mereka yang mengenakan pakaian adat, kapan lagi ada kesempatan berfoto dengan wanita dan pria hampir telanjang namun tidak termasuk dalam kategori pornografi?
Budaya Bakar Batu yang Melegenda.
Saat membaca Bakar Batu, pasti banyak yang berpikir: kurang kerjaan banget sih, apa-apaan batu dibakar-bakar. Apa gunanya coba? Well, bukan berarti batu itu dibakar karena kurang kerjaan. Itu adalah nama pesta adat Suku Dani dimana mereka memasak daging, ubi-ubian dan sayur-sayuran dengan menggunakan batu yang telah dibakar hingga menjadi bara, dalam sebuah lubang yang digali di dalam tanah. Bakar batu biasanya diadakan di lapangan yang luas karena dihadiri oleh masyarakat luas.
Jadi begini prosesnya, tanah digali sedalam satu meter, lalu batu-batu berdiameter 15 s/d 20 cm yang telah dibakar diletakkan di dasar lubang tersebut. Pertama diletakkan daun-daun/rumput dibagian dasar, kemudian batu-batu panas, setelah itu ubi serta jagung, lalu batu-batu panas lalu sayuran lalu daging babi, sapi atau ayam yang telah dibumbui dan dibungkus daun diletakkan di atasnya. Kemudian di atas lapisan daging tersebut kembali diletakan batu-batu yang telah dipanaskan hingga benjadi bara. Di atasnya kemudian diletakan ubi-ubian dan pada lapisan teratas diletakakn sayuran yang telah dibumbui dan dibungkus daun pisang. Setelah batu pada lapisan terakhir diletakkan, lubang tersebut kemudian ditutup dengan menggunakan daun-daun dan ditunggu hingga semuanya matang.
Bagaimanakah dengan rasanya? Jangan Tanya! Jika Anda termasuk pemerhati kesehatan dan kebersihan, Anda dapat dipastikan tidak akan mau untuk menyentuh hasil masakan tersebut. Namun percayalah, dapat kesempatan untung mengikuti pesta adat Bakar Batu saat ini sangat lah langka karena hanya diadakan pada saat-saat tertentu saja. Jadi beranikan diri Anda. Anggap saja Anda tengah mengikuti lomba Fear Factor.
Babi dalam Gendongan, Uang dalam Koteka
Mungkin saat tengah menelusuri jalanan pesedaan lembah Balim, Anda akan menemukan pemandangan tidak lazim di mana seorang wanita tengah menggendong seokor babi dengan penuh kasih sayang sementara anaknya yang terlihat baru saja bisa berjalan dibiarkan luntang-lantung sendiri. Well, adalah hal yang biasa jika masyarakat adat Lembah Balim memperlakukan babi dengan penuh cinta. Karena di Lembah Balim babi adalah hewan yang sangat berharga melebihi emas sekali pun. Dalam adat masyarakat Lembah Balim, babi memiliki nilai adat tinggi dan berharga sangat mahal. Mau bayar mas kawin pakai babi, ada yang meninggal potong babi, denda pembunuhan dibayar pakai babi. Jadi tidak heran kalau mereka memperlakukan babi peliharaannya dengan sangat hati-hati. And just for you know, jangan sampai Anda menabrak babi jika sedang berada di sana. Denda membunuh babi berkali-kali lipat mahalnya dibandingkan dengan denda membunuh orang. Trust me!
Wamena ditahun 90an masih dipenuhi oleh penduduk asli yang masih menggunakan koteka, Sali dan Yokal sebagai pakaian adat. Jadi penduduk Wamena sudah sangat terbiasa melihat pemandangan lelaki dan wanita setengah bugil berkeliaran ke sana ke mari. Yang lebih unik, terkadang para lelaki berkoteka ini menyimpan uang dalam koteka mereka. Kebayang gak sih saat kita hendak membeli sesuatu dari mereka, lalu kemudian mereka membuaka koteka mereka untuk menyimpan uangnya? Hehehehehe, unik dan menggelikan.
Jari-Jemari Buntung dan Masker Lumpur Sebagai Tanda Duka Cita
Adat masyarakat Lembah Balim lainnya yang cukup terkenal adalah budaya memotong ruas jari tangan saat ada anggota keluarga yang meninggal. Mungkin Anda pernah melihat adegan tersebut dalam Film Di Timur Matahari. Mengerikan? Tentu. Saya pun sering bergidik ngeri saat melihat ada masyarakat Lembah Balim yang memiliki jari-jemari buntung. Filosofi pemotongan jari ini adalah untuk menunjukan duka cita mereka yang teramat mendalam atas kepergian orang yang dicintai. Saat ini praktek memotong ruas jari tangan sudah dilarang baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Gereja. Namun tetap saja, suku-suku pedalaman hingga kini masih melakukan pemotongan jari saat berduka.
Tanda lainnya jika sedang berduka adalah dengan melumuri badan dengan mengenakan lumpur. Jika orang Israel menggunakan lumpur Laut Mati sebagai kosmetik, penggunaan lumpur saat kedukaan bagi masyarakat adat Lembah Balim sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah kecantikan. Pertama kali melihat masyarakat adat Lembah Balim melakukan hal ini, saya sempat berpikir betapa jorok dan gilanya mereka. Maksudnya, lumpur itu kan kotor dan mungkin saja banyak telur cacingnya kan? Namun ternyata itu adalah budaya mereka dan yang digunakan adalah tanah liat dan bukan sembarang tanah, salah satu kekayaan negeri yang saat ini hampir punah termakan jaman.
The Famous Danau Habema dan Pasir Putih Tanpa laut
Membaca itenery hadiah Lomba ini yang mengatakan bahwa pemenang akan diajak untuk melihat keindahan Danau Habema membuktikan betapa terkenalnya danau tersebut di mata dunia. Perjalanan ke Habema cukup dekat, hanya sekitar 45 kilo dari Kota Wamena atau sekitar 3 jam perjalanan. Dahulu akses menuju Danau Habema sangatlah dulit. Selain medannya yang mengerikan karena jalanan curam mendaki dan belum diaspal, faktor keamanan yang rawan juga membuat Danau ini sulit untuk dikunjungi. Saat ini dengan semakin kondusifnya situasi keamanan serta semakin majunya infastruktur daerah, wisatawan telah dimanjakan dengan akses mudah menuju Danau Habema.
Danau Habema terletak di komplek Pegunungan Jayawijaya dan merupakan salah satu danau tertinggi di Indonesia. Tidak heran suhu udara di Danau Habema berkisar antara 8 derajat Celsius di siang hari dan bisa mencapai 3 derajat Celsius di malam hari. Dari danau ini Anda bisa langsung melihat kemilau salju yang menghiasi Puncak Trikora. Atau kalau beruntung, Anda bisa melihat cendrawasih secara langsung. Keindahan danau ini seolah tak habis-habisnya untuk dinikmati. Siapkan kamera terbaik anda jika berkunjung ke sana.
Wisata lainnya yang terkenal di Lembah Balim bernama Pasir Putih yang terletak di Distrik Pikke, kurang lebih 5 km dari pusat kota Wamena. Hapus khayalan Anda tentang laut biru dengan pantai putih bersih nan indah. Pasir Putih ini bukanlah wisata pantai seperti yang dimiliki oleh Pangandaran, melainkan daerah perbukitan batu yang indah yang dihiasi aliran pasir seputih salju. Dari atas Pasir Putih kita dapat menikmati pemandangan Distrik Pikhe yang dihiasi oleh padang rumput hijau dan rawa-rawa bening dengan batuan unik dan indah.
Entah bagaimana sejarahnya pasir tersebut bisa berada di perbukitan batu tersebut tanpa adanya laut. Hingga saat ini tampaknya belum ada peneliti yang tertarik untuk menelitinya. Namun jika Anda datang ke Lembah Balim, sempatkan diri Anda untuk mampir ke tempat ini.
Who Said We Don’t Have Mummy?
Lagi-lagi, lupakan khayalan Anda tentang Mummy berbalut perban yang dibaringkan dalam peti mati mewah berlapis emas seperti layaknya Mummy Firaun Mesir. But still, yes Lembah Balim has Mummy. Jika tidak salah mengingat, ada sekitar tujuh Mummy yang ditemukan di Lembah Balim. Sebagian berasal dari Distrik Kurulu yang merupakan wilayah dari Kabupaten Jayawijaya, dan sebagian berasal dari Distrik Kurima yang merupakan wilayah dari Kabupaten Yahukimo (Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya).
Mummy masyarakat Lembah Balim bukan lah orang sembarangan. Hanya kepala suku dan panglima perang yang terhormat saja yang bisa dibuat menjadi Mummy. Masyarakat Lembah Balim dikenal sangat menghargai leluhur dan nenek moyang. Oleh karena itu, mengawetkan jasad orang yang dihormati membuat mereka merasa masih dilindungi dan dapat berkomunikasi dengan leluhur mereka. Pembuatan Mummy itu sendiri bukan dengan cara di balsam seperti layaknya orang Mesir melainkan dengan metode pengasapan. Tidak heran Mummy yang dihasilkan menjadi sehitam arang.
Ingatlah, menginjakan kaki ke Lembah Balim tanpa melihat Mummy, sama saja dengan Anda belum pernah datang ke Lembah Balim. So, make it on your list!
Festival Lembah Balim
Lebih populer dengan nama Perang-Perangan di kalangan masyarakat Lembah Balim. Festival ini biasanya diadakan pada bulan Juni. Alasan logisnya sih, bulan Juni itu musim liburan dan karena memang ditujukan untuk menarik wisatawan lokal dan manca Negara, maka bulan Juni dianggap pas untuk menyelenggarakan Festival Lembah Balim.
Pada Festival ini, kolompok-kelompok suku adat dari tiap desa mengikuti lomba dimana mereka akan memperagakan atau mementaskan tata cara perang antara suku berdasarkan adan Lembah Balim. Karena itu masyarakat Lembah Balim lebih suka menyebutnya Perang-Perangan. Peserta akan menggunakan baju adat mereka, lengkap dengan semua atribut perang dan senjata adat mereka, lalu mereka akan memeragakan tata cara perang mulai dari awal sampai terakhir.
Festival Lembah Balim saat ini sudah terkenal di seluruh dunia. Banyak wisatawan asing berdatangan pada musim Festival ini karena ini merupakan moment yang tepat bagi wisatawan untuk mengabadikan budaya Lembah Balim. Anda akan disuguhi oleh pemandangan pria-pria berkoteka, wanita-wanita topless, hidung-hidung yang dilubangi oleh taring dan tulang babi, permainan pikon (alat musik tradisional yang terbuat dari kulit kayu dan dimainkan dengan cara ditiup) dan tari-tarian perang. Awalnya mungkin anda akan takut mendengar teriakan-teriakan dan nyanyian mereka yang terdengar mengancap dan meresahkan. Namun percayalah, saat meninggalkan Lembah Balim kalian akan merindukan dan mengenang teriakan dan nyanyian itu.
Sungai Baliem, Lautnya Lembah Baliem
Dengan sangat meneyesal saya harus menyampaikan bahwa kami di lembah Balim tidak memiliki pantai. Sebagai gantinya, kami memiliki sungai berwarna cokalat cappuccino yang sangat terkenal karena membelah Lembah Balim dari hulu ke hilir. Warna cokelat cappuccino itu sendiri dihasilkan dari lumpur. Mata air sungai Balim berasal dari Danau Habema dan sungai ini berakhir secara misterius di pegunungan selatan (mungkin masuk menjadi air bawah tanah).
Sungai Baliem yang menjadi pusat kehidupan bagi masyarakat Lembah Balim bisa menjadi sangat mematikan. Selain airnya yang sedingin es, Sungai Balim yang terlihat tenang ini ternyata memiliki aliran yang deras di dasarnya. Jangan coba-coba berenang di Sungai Balim jika Anda bukan perenang professional karena sejarah mencatatkan Sungai Balim telah merenggut nyawa banyak orang.
PENUTUP
“Ping!”
“Ping”
“Ping”
Suara BBM dari blackberry saya mengaburkan memori, perlahan kabut tebal yang menemani lamunan saya menipis, wangi pinang dan sirih berganti wangi secangkir kopi dingin di meja kerja saya, pemandangan bukit dan padang rumput indah berganti dengan layar komputer saya yang menampilkan halaman website Jelajah Bumi Papua. Saya menghela nafas panjang untuk mengusir kesedihan saya: “Kapan aku akan pulang kembali ke pangkuanmu, Papuaku?”
“Ko su lihat website-nya?” Teman saya kembali mengirimkan BBM, kali ini dengan dialek Papua.
“Iyo.” Saya menjawab singkat.
“Ko ikut to?” Saya tahu kali ini dia mendesak. “Ko bilang ko mau pulang?”
“Yup. Setidaknya walau nanti tidak menang, saya telah menceritakan betapa luar biasanya kampung halaman kita.” Tegas saya.
Saya kemudian membuka Facebook untuk melihat foto-foto masa kecil saya saat masih hidup di Lembah Balim. Foto-foto itu tidak seindah foto jaman sekarang yang sudah menggunakan camera digital canggih. Karena masih menggunakan teknologi roll film, foto-foto itu telah usang termakan jaman. Saya telah men-scan foto-foto itu dan menyimpannya di Facebook agar dapat melihatnya setiap saat. Foto-foto usang itu adalah satu-satunya harta saya untuk mengenang masa kecil saya di Lembah Balim yang hebatnya masih mampu membawa saya melewati lorong waktu dan mengobati semua rasa rindu atas Lembah Balim.
Dan inilah penggalan memori terbaik yang bisa saya ceritakan mengenai Lembah Balim. Mungkin Anda akan heran, mengapa saya mengikuti lomba menulis ini jika hadiahnya toh pergi ke Lembah Balim, tempat di mana saya pernah tinggal. Satu hal yang mungkin sulit untuk Anda mengerti, kecintaan saya yang begitu besar akan Lembah Balim dan tanah Papua membuat saya selalu merindukannya dan selalu ingin pulang. Sudah terlalu lama saya tidak pulang, sehingga kerinduan yang ada semakin menggunung dan menggebu-gebu.
Jika Tuhan mengijinkan, aku akan pulang ke dalam dekapanmu, Lembah Balimku. Jika Tuhan mengijinkan, akan ku kecup indahmu Lembah Balimku. Dan sembari aku merajut rasa rindu yang menggebu-gebu ini, ku tuliskan puisi cintaku ini untukmu, Lembah Balimku.
Kami anak-anak Lembah Balim,
Kami hidup dalam maha karya agung Pencipta,
Taman Lorentz hutan kami, Habema laut kami, Cenderawasih paduan suara kami
Salju abadi mahkota kami, mengalir pasir putih kami, siapa yang bisa menandingi?
Kami anak-anak Lembah Balim,
Kabut dingin selimut kami, hangat mentari atap kami, wangi rumput alas kami
Mainkan pikon kami, tarikan busur panah kami, kasut pun kami tak butuh
Nyalakan api itu, bakar batu kami, wangi semerbak ramaikan hari kami
Kami anak-anak Lembah Balim,
Kurulu, Kurima, Pugima , Piramid
Sinakma, Napua, Gunung Susu
Wesaput, Sogokmo, Asologaima
Tanah kami terbentang luas, kaya raya, melimpah ruah…
Kami anak-anak Lembah Balim,
Hutan ilalang sarang kami, merakit pion-pion kami jadi pesawat
Pinang, kapur dan sirih merahkan bibir kami
Manis tebu dan keras tuke segarkan terik menyengat
Kami anak-anak Lembah Balim,
Sungai-sungai es hanyutkan kami
Tangkap, tangkap semua todi!
Subur ladang hipere dan kasbi kenyangkan kami
Kami anak-anak Lembah Balim,
Persahabatan kami abadi, persahabatan kami abadi,
Waktu, tahun, jarak hari tak pisahkan kami
Hati kami ikat bersama dan simpan dalam noken
Kami anak-anak Lembah Balim,
Kami cinta Lembah Balim, kami cinta lembah Balim
Rindu hati akan tanahmu setiap saat
Rindu hati akan negerimu hingga urat dan nadi
Kami anak-anak Lembah Balim,
Lauk, lauk, nayak, wa wa wa
Yogotak hubuluk motok hanorogo
Kami cinta Lembah Balim, kami cinta Lembah Balim…