Kenapa Mahasiswa Uncen Berdemonstrasi ?

Oleh : Bung Mecky Tebai

Universitas Cenderawasih (Uncen) adalah anak sulung pendidikan tinggi di Papua. Lahir dari hasil aneksasi paksa, kampus ini dimaksudkan menjadi pusat pencerahan dan rumah bagi kebangkitan intelektual anak-anak asli Papua.

Didirikan tahun 1962, saat gejolak politik  Papua  di aneksasi ke Indonesia sedang panas, Uncen berdiri sebagai representasi negara untuk membuktikan bahwa Papua tidak diabaikan. Bahwa pendidikan adalah jalan utama menyatukan bangsa.

Seiring waktu, Uncen menjadi institusi prestisius. Banyak tokoh Papua lahir dari sini. Namun, kejayaan itu perlahan memudar, digantikan dengan aroma busuk nepotisme, politisasi birokrasi kampus, dan komersialisasi pendidikan.

Salah satu titik krusial adalah ketika Uncen berstatus sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Di atas kertas, BLU dimaksudkan agar kampus bisa lebih fleksibel mengelola keuangan dan meningkatkan mutu layanan.

Namun dalam praktiknya, status BLU membuka ruang luas bagi manipulasi anggaran, pengelolaan dana secara tertutup, serta komersialisasi layanan akademik yang membebani mahasiswa.

Bacaan Lainnya

Kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) secara diam-diam dan sepihak, tanpa dialog dengan mahasiswa dan pemangku kepentingan, menjadi puncak kemarahan publik. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal rasa keadilan.

Rakyat bertanya: mengapa Uncen yang katanya milik rakyat Papua justru memeras rakyatnya sendiri? Mengapa anak-anak asli harus membayar mahal untuk belajar di tanahnya sendiri?

Rektor sebagai pemegang kuasa tertinggi di universitas, bukan tampil sebagai juru damai, tetapi sebagai aktor dominan yang mempertegas garis perlawanan: antara birokrasi dan rakyat.

Banyak kebijakan strategis kampus tak lagi berdasarkan asas ilmiah, tapi berdasarkan kepentingan kelompok. Penunjukan pejabat, pengadaan proyek, dan arah kebijakan pendidikan ditentukan oleh klik sempit, bukan proses akademik terbuka.

Mafia kampus bekerja dalam selimut. Mereka menyusup dalam sistem legal kampus, tapi mengatur semuanya demi keuntungan kelompok tertentu. Ada aroma KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semakin kuat mengakar.

Data penyaluran anggaran kampus tidak terbuka. Laporan keuangan tidak diumumkan secara transparan kepada publik. Mahasiswa tak tahu pasti ke mana arah dana BLU dibelanjakan.

Padahal, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak warga negara untuk mengetahui pengelolaan dana publik, termasuk di lingkungan pendidikan tinggi.

Selain itu, dalam PP No. 23 Tahun 2005 tentang BLU, diatur bahwa BLU tetap harus mengutamakan pelayanan publik, bukan mengejar keuntungan. Bila justru memberatkan mahasiswa, maka prinsip BLU telah dilanggar jadi kembalikan saja status BLU ini kepada pihaknya agar kembali seperti sebelum ada BLU.

Lebih dari itu, bila terbukti ada penyalahgunaan anggaran, pengangkatan pejabat tidak sah, dan manipulasi prosedur, maka itu bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

Ironisnya, ketika mahasiswa memprotes kenaikan UKT, justru aparat dipanggil masuk kampus. Mereka yang menyuarakan kebenaran dibungkam, diintimidasi, bahkan diancam secara fisik dan administratif.

Hal ini jelas melanggar prinsip otonomi kampus dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang melindungi kebebasan akademik dan kemerdekaan berpikir dalam lingkungan kampus.

Polisi yang masuk kampus tanpa alasan keamanan yang sah melanggar prosedur. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyebut bahwa tindakan polisi harus proporsional, legal, dan berdasar permintaan resmi.

Jika mahasiswa Papua tidak lagi merasa aman di kampusnya sendiri, maka krisis Uncen bukan lagi soal akademik, tapi soal hak asasi.

Rektor bukan sekadar pemimpin administratif. Ia adalah simbol moral. Jika ia tak lagi mampu mewakili kepentingan mahasiswa dan rakyat Papua, maka secara de facto, ia telah kehilangan legitimasi.

Saya tidak menyebut nama, tetapi saya bicara tentang sistem. Sistem yang memberi ruang kepada pemimpin kampus untuk bertindak sewenang-wenang, dengan dalih hukum yang bisa dimanipulasi.

Mafia dalam kampus tidak selalu tampak jahat. Mereka memakai bahasa akademik, surat keputusan resmi, dan prosedur yang tampak legal. Tapi di balik itu, ada transaksi kekuasaan, dana, dan kursi.

Siapa yang sebenarnya mengatur Uncen? Apakah senat universitas? Ataukah sekelompok elite yang punya koneksi ke pusat dan menjadikan kampus sebagai lahan kekuasaan pribadi?

Rakyat Papua tidak butuh universitas yang megah bangunannya, tapi kosong nuraninya. Kami butuh kampus yang berpihak kepada yang kecil, bukan tunduk kepada yang kuat.

Banyak anak Papua hari ini putus kuliah karena tak sanggup bayar UKT. Di sisi lain, rektor dan pejabat kampus pergi dinas ke luar negeri, mengadakan seminar mewah, dan membangun gedung yang tak berdampak langsung ke mahasiswa.

Ini ketimpangan yang menyakitkan. Dan jika dibiarkan, maka kampus akan kehilangan fungsinya sebagai ruang perlawanan, dan hanya menjadi pabrik ijazah belaka.

Rakyat Papua, dosen-dosen jujur, mahasiswa yang sadar — semua harus bersatu menyelamatkan Uncen. Kampus ini bukan milik kementerian, bukan milik rektorat. Ini milik kita.

Maka seruan ini jelas: salibkan rektor yang menyalahgunakan kekuasaan. Salibkan dengan hukum, salibkan dengan desakan moral, salibkan dengan suara kolektif rakyat.

Saya tak bicara soal dendam. Saya bicara tentang masa depan menurut sudut pandang yang berbeda. Jika hari ini kita diam, maka besok yang akan membayar harganya adalah generasi anak cucu kita.

Jangan biarkan mafia menyelimuti kampus yang seharusnya suci. Jangan biarkan rektorat yang bebal menghancurkan mimpi anak-anak Papua. Jika tidak kembalikan Uncen saja pada pemiliknya.

Kampus bukan tempat bisnis. Kampus adalah ruang pembebasan. Dan pembebasan tak akan datang dari mereka yang bersekutu dengan kekuasaan.

Jika hari ini rektor dan kroninya masih bisa tidur nyenyak di tengah jeritan mahasiswa, maka itu tanda nurani sudah mati.

Dan ketika nurani mati, maka hukum dan suara rakyat harus turun tangan. Kampus harus direbut kembali dari mereka yang menodainya.

Tidak cukup dengan kritik. Harus ada tuntutan resmi, laporan hukum, audit terbuka, dan evaluasi menyeluruh dari Kemenristekdikti, KPK, dan Ombudsman.

Mahasiswa bukan sekadar objek didik. Mereka adalah pemilik sah kampus ini. Tanpa mahasiswa, tak ada kampus. Tanpa keadilan, tak ada masa depan.

Saya menulis ini bukan untuk mencari musuh. Saya menulis ini agar generasi Papua berikutnya tidak mewarisi kampus yang penuh luka dan pengkhianatan.

Pendidikan adalah hak, bukan komoditas. Kampus harus menjadi ruang aman bagi siapa pun yang ingin berpikir dan bertumbuh.

Rektor yang memperkaya diri dari penderitaan mahasiswa bukan pemimpin, melainkan penyamun berseragam akademik.

Untuk itu, tuntutannya sederhana: hentikan kenaikan UKT, cabut kembali status BLU, copot dosen-dosen berwajah premanisme dan copot pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan.

Jika tidak, maka gerakan mahasiswa akan terus tumbuh. Suara rakyat akan makin nyaring. Dan sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi kebenaran.

Kembalikan Uncen kepada pemiliknya: rakyat Papua.

 

Penulis Adalah Pegiat Literasi, Tinggal di Papua Tengah ….