Kasih Putih

Percintaan
Ilustrasi pasangan - Pixabay

Oleh: Dewi Raubaba

Angin malam membelai lembut wajah Amelia yang tengah duduk sendiri di terminal keberangkatan dan kedatangan gorong-gorong. Dengan hembusan napas panjang sesekali Ia menekan tuts HP Nokia X2-nya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. 

Dari kejauhan lampu respons dari bus karyawan sudah nampak. Terlihat raut sedikit lega terpancar dari wajah manisnya itu. 

Satu per satu karyawan turun dari bus. Wajah halus berhidung mancung itu sibuk celingak-celinguk memperhatikan setiap wajah yang jalan keluar dari ruang tunggu. 

Senyum sumringah merekah ketika dilihat suaminya berjalan ke arahnya, dengan menjinjing satu kantong plastik berlabel Hero yang isinya tidak lain dan tidak bukan adalah buah apel hijau dan jeruk sunkist kesukaannya. 

Ko su dari tadi?” Tanya lelaki berbadan tegap itu sembari menyodorkan kantong plastik tersebut. 

Bacaan Lainnya

“Barusan saja…” jawab Amelia singkat namun penuh ceria. 

Sebenarnya sudah sejak tadi dia berdiri duduk tak tentu arah, karena memikirkan sesuatu yang terjadi, hingga yang dituju tak kunjung tiba. 

“Ko masak apa di rumah?”

“Biasa sesuai pesanan, kangkung bunga pepaya tumis sama ikan asar goreng plus sambal…” jawab Amelia percaya diri. 

Sang suami tersenyum sembari menggenggam tangannya. Mereka kemudian berjalan menuju parkiran motor. 

Malam itu setelah singgah di warung coto makassar dekat gedung Eme Neme Youware mereka langsung pulang ke rumah kontrakan mereka di area Kwamki Baru. 

Sebenarnya mereka bisa saja berlama-lama menikmati suasana malam kota Timika. Suami Amelia pun senang menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama keluarga. Amelialah masalahnya. 

Wanita itu susah sekali diajak kompromi soal aktivitas yang satu itu. Bagi dia malam adalah waktu tidur, bukan begadang, apalagi jalan-jalan. 

Wanita berparas ayu keturunan Cina-Serui itu memang sudah biasa sendiri. Semenjak suaminya diterima di perusahaan terbesar di dunia yang letaknya ada di daerah itu, Amelia jadi harus mandiri, sebab kebersamaan dengan suami bukanlah perkara gampang. 

Hanya satu atau dua hari berada di rumah kemudian harus kembali lagi ke area kerja. Bukan hanya mereka berdua, bahkan bagi wanita lain yang suaminya bekerja di perusahaan tersebut harus rela ditinggal sang suami berminggu-minggu. 

Apalagi bagi Amelia yang sampai detik ini belum juga diberikan momongan, pasti akan tambah sepi di rumah. 

Amelia pernah mengambil seorang anak sebagai pancingan. Adik perempuannya meninggal saat melahirkan. Jadilah Amelia sebagai kakak berusaha menjaga keponakannya itu. Ditambah lagi sudah lama mereka menikah, tetapi belum dikaruniai anak. Sang suami setuju saja saat Ia mengambil keputusan itu. 

“Sunyi skali tiap off begini. Seandainya ko tahan Grace biar ko juga pu teman di rumah… ” ucap sang suami membuka pembicaraan setelah mereka berdua rebahan di kasur empuk. 

Sa juga maunya begitu Will, tapi mama paksa bawa dia jadi,” jelas Amelia pada suaminya yang ternyata bernama William itu.  

Grace adalah gadis kecil berusia tiga tahun yang Amelia besarkan bersama Will. Namun sebenarnya ada situasi tak mengenakkan yang sedang berlangsung dalam keluarga itu. 

Sudah lima tahun pernikahan mereka, Amelia tak juga memberikan Will keturunan. Hal ini menyulut amarah dari pihak keluarga Will, terutama ibunya. Bahkan setelah Grace hadir di tengah mereka sebagai pelipur lara, toh tak juga membuat kondisi menantu dan mertua itu rukun. Dan celakanya lagi Amelia merahasiakan cerita pedih ini dari suaminya. 

Malah selama ini Will senang melihat kedekatan antara Amelia istrinya dengan sang ibu, tanpa Ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itulah mengapa Amelia sengaja menyusun skenario dengan sang ibu untuk membawa Grace pulang lagi ke kampung halamannya. 

Grace adalah gadis kecil yang tumbuh di tengah ketersisihan keluarga ayah angkatnya. Amelia sadar akan hal itu dan lebih memilih menjauhkan anak itu dari orang-orang yang tidak sepenuhnya menerimanya, kendatipun Ia dan Will sudah sangat menyayangi anak itu, seperti anak kandung mereka sendiri.

“Selama sa di atas nih mama ada datang liat ko to?” Tanya Will sesaat sebelum matanya terpejam.

“Hmmm!!!” Amelia bergumam. 

Ia harus berbohong lagi karena yang sebenarnya mertuanya itu tak lagi peduli dengan keadaannya. Ia pun memutar badan membelakangi suaminya. 

Air matanya banjir membasahi bantal. Ia menekan dada yang kian sesak menahan kepedihan hatinya. Suaminya menoleh. 

Lelaki gagah itu tahu istrinya yang sedang terisak-isak. Ia pun bangkit dari tidurnya dan mendekatkan wajah ke arah Amelia. 

“Heiii… kenapa?” Tanya Will sembari membalik tubuh istrinya menghadap ke arahnya. 

Wanita itu masih terisak. 

Sa..ri.. rindu Grace…” ucap Amelia dengan terbata.

Iyo sudah. Jang menangis lagi. Sa juga rindu de skali sayang. Minggu depan sa ada request cuti jadi kitong brangkat ke kampung pi bawa dia skalian kasih mama pu uang pinang dulu…,” Will menenangkan Amelia. 

Wanita berumur 30 tahun itu memeluk erat suaminya. Sebenarnya bukan itu yang membuat sedih hatinya, tapi ada hal lain yaitu ibu mertuanya yang selalu memperlakukannya dengan seenaknya. 

Will mengusap lembut kepala istrinya itu. Will tahu betul bagaimana perasaan istrinya. Sudah tiga bulan sejak Grace dibawa ke kampung oleh neneknya, Amelia sangat kesepian. Will pun merasakan hal yang sama, sejak lahir gadis kecil itu sudah diasuh oleh mereka berdua, karenanya kasih sayang mereka terjalin seperti anak dan orang tua kandung.

Pagi itu setelah menyiapkan kopi dan cemilan, Amelia bersiap diri. Hari ini mereka hendak berkunjung ke rumah pastori untuk sekadar tatap muka dengan pendeta. Hal ini sudah biasa mereka lakukan sejak tahun pertama mereka menikah. 

Jika dulu saat Will belum punya pekerjaan tetap mereka seminggu sekali setiap Rabu pergi ke pastori. Sekadar membawakan gula, kopi atau bahan makanan lainnya. Jika sempat atau lagi ada berkat lebih, pasangan suami-istri itu selalu menyisihkan sebagian pendapatan mereka. Itu di luar perpuluhan. 

Bukan tanpa alasan, Amelia yang saat ini sedang mengalami banyak masalah dalam rumah tangganya selalu minta didoakan oleh pendeta mereka itu. Penguatan pun sekiranya diberikan untuk menghadapi segala pergumulan. Beruntungnya Amelia karena bapak pendeta dan istri selalu menjadi teman curhat yang setia baginya. 

Tiiiiitttt…!!!

HP Amelia bergetar dari bawah bantal, mengagetkan Will yang masih tergolek pulas. Ia meraba ponsel itu dan membuka pesan yang barusan masuk.

“Bilang sa pu kaka kalo ada waktu datang ke rumah dulu. Sa mama mo bicara sesuatu yang penting!!” 

Begitu bunyi pesan yang masuk, yang terkesan sinis dan kurang sopan.

Will tak membalasnya. Ia tahu itu nomor ponsel ibunya, tapi cara ketik SMS itu sangat janggal. Ia pun menelepon balik ke nomor itu. Belum lagi Ia bicara, suara dari seberang sudah membentaknya.

Ko baca SMS tadi to. Bilang sa kaka datang tempo mama mo bicara… Ada suami itu datang duduk deng orang tua, bukan mo tinggal bakurung saja!” Ujar suara di seberang dengan lancang. 

Will belum sempat membalas telepon sudah dimatikan. Ia bangkit dan duduk termenung, sedangkan Amelia masuk dengan handuk membalut tubuh. Rupanya dia baru selesai mandi.

Ko baru bangun? Kopi sa ada tutup di atas meja itu!” Ujar Amelia seraya membungkuk mencari bajunya di lemari. 

“Siapa yang biasa telepon ko, mama kah Peni?” Tanya Will.

“Peni… kenapa jadi?” Amelia balik bertanya, kemudian menoleh ke arah HP yang dipegang suaminya.

De ada SMS ko ini pake mama pu HP…” jawab Will. 

Amelia menelan ludah. 

“Trus de bilang apa?”

“Ko tebak sendiri…,” jawab Will singkat, tapi dengan raut wajah marah.

Su brapa kali de bicara ko model begini eh?”

“Will.. ko salah paham!”

Jang ko putar saya. Sa paling tau sa pu ade-ade dorang. Jadi, selama ini dong bikin ko begitu trus ko diam saja? Amelia.. sayang e, kenapa tra mau jujur ke saya kah? Apa yang bikin sampe dong bisa tra sopan begini sama ko..?” Will terus saja mencerca istrinya itu dengan pertanyaan bertubi-tubi. 

Wanita itu menangis seraya duduk di tepian kasur. 

“Ame, ko cerita dulu! Ini sebenarnya ada apa kah?” Tanya Will memastikan.

Sa juga tra tau, Will, kenapa mama deng Penina benci saya. Mungkin karna selama ini sa blum kasih ko anak…, tapi demi Tuhan Will, sa tra dendam dorang. Sa juga mengerti ko mama rindu cucu. Yang seharusnya de dapat dari ko punya darah deng daging sendiri. Sa juga sama Will…!!!!” Rintih Amelia.

“Ah, tapi bukan berarti dong bisa seenaknya bicara ko begitu. Tunggu sa pake pakean dulu baru kitong jalan ke sana…”

“Will, sudah! Tra usah cari gara-gara kah…!!”

Jiii, sapa juga yang cari gara-gara? Dong su bikin ko begini trus sa mo diam saja?”

Sa tra apa-apa, Will. Sa tidak mau mama kira sa yang kompor ko supaya marah mama deng ade-ade dong…!!” ujar Amelia dengan suara serak.

Sa bukan marah dorang, cuma tanya saja dong pu maksud apa sampe bisa marah-marah ko begini…,” tandas Will, seraya menyambar kunci motor kemudian keluar dari kamar.

Amelia bergegas kemudian mengekori suaminya. Ia takut dengan suaminya yang kadang-kadang emosian itu. 

Sesampainya di orang tua Will, perdebatan sengit itu tak terhindarkan lagi antara Will dengan Penina adiknya. Sang ibu yang hanya duduk sambil mengunyah pinang di serambi rumah pun tak dapat melerai. Hanya sesekali menimpali.

Sa tra mengerti, apa yang bikin sampe ko bisa lancang skali sama ko pu kaka ipar dia?” tanya Will dengan nada rendah.

De salah apa sampe ko bicara kasar begitu ke dia…?” lanjut Will.

De tra salah, cuma kurangnya dia tra kasih ko anak… Ko tra kasian mama jadi ko slalu bela ko maitua. Mama yang stiap malam menangis pikir ko pu diri itu…” jawab Penina dengan seenaknya.

Sa pu anak ada, de pu nene ada bawa ke kampung sana…”

Aeeh stop! Itu bukan ko pu anak. Sia-sia skali ko kasih makan orang pu darah…”

“Bah, Penina…!!! Kata-kata tu keterlaluan skali!” Will memelototi adiknya yang mulai ngeyel.

“Apa yang ko pu ade bilang tu betul, Will. Jang ko malawan mama kah…” timpal ibunya.

Sa tra pernah malawan mama. Dari kecil sampe sa su kawin nih tra pernah malawan. Kali ini saja kam bikin sa pu istri begini jadi sa bicara kamu… Tra kasian dia kah? De juga sama kaya mama. Mama ingin cucu, de ingin pu anak…,” lanjut Will panjang lebar mencoba berkisah.

“Iyo, tapi keturunan itu perlu, Will. Ko ingat umur. Ko tua sapa yang nanti liat ko?” Sang ibu menasihati. 

Ia berhenti sebentar kemudian melanjutkan kata-katanya lagi.

“Dulu mama mo kas kawin ko deng mama pu orang tapi ko talalu buru-buru jadi…”

Mendengar ucapan ini terasa berdegup kencang jantung Amelia. Darah segar seperti hendak terurai dari ubun-ubunya. Matanya berkaca-kaca menahan semua kepedihan itu. Sungguh sakit rasanya menerima semua cemoohan itu.

“Kecuali sa deng Amelia trada usaha ma. Kalaupun kitong su berusaha, kalo Tuhan belum izinkan, sa mo bagaimana?”

Ko masih muda, masih ada jalan lain untuk ko pu anak deng orang lain…,” sambung adiknya dari dalam kamar.

Trada yang mo kawin lagi. Kam kira barang kah jadi oper sana-sini. Ko lagi Peni…, coba kalo ko ada di posisi ini, mama mantu deng ipar bicara ko tra baik, ko rasa bagaimana eh? Ko sarjana sekolah tinggi langit, tapi bicara orang seenaknya tra pikir itu bikin tersinggung kah tidak??” 

Will menekan nada bicaranya seperti sudah sangat geram dengan tingkah adik perempuan nomor duanya itu.

“Mulai sekarang kam stop bicara Amelia sudah. Kasian dia kah. Hargai de sedikit saja, bisa? De kam pu anak mantu sah dalam rumah ini, bukan sa kawin-kawin de saja…”

Lanjut Will kemudian menarik tangan Amelia. 

“Mari kitong pulang sudah… Kita dua mo ke pastori to??”

Amelia mengangguk. 

Makitong jalan dulu!!” 

Mereka berdua pamit bersamaan seperti kompak begitu. Sang ibu hanya manggut-manggut tak bersuara.

“Will, sa pikiran deng mama pu bahasa tadi…,” ujar Amelia sesampainya di rumah kontrakan mereka.

“Apa lagi?? Semua su habis tadi jadi tra usah bahas akan lagi!” 

“Masalah ko bisa pu anak deng orang lain. Will, sa kasian mama skali. De ingin cucu dari ko. Sementara sa tra tau sa keadaan ini!!!” Bisik Amelia lirih.

Sa sudah bilang hal itu tra akan terjadi. Ame, ko pikir mama baru tra pikir saya? Hati ini bagaimana? Sa harus bicara apa sama ko mama di kampung? Kas pulang ko dengan alasan ko tra bisa kas sa anak? Sa tra mampu skali sayang…!!!” jawab Will dengan suara serak. 

Nampak kesedihan mengalir dari nada suara itu. 

Sa trapapa, Will!! Sa akan baik-baik saja!”

Jang ko pura-pura tegar, toki dada baru bilang ko ini sudah perempuan yang paling tangguh. Tidak Amelia!!! Sekalipun ko bilang perempuan Papua yang paling keras, kita ini hanya manusia kasar yang tra pu kuasa. Tuhan Allah saja bisa marah, apalagi manusia…,” Will terdengar menasihati istrinya. 

Amelia menangis sesenggukan.

Kalo Tuhan pu kehendak belum sepenuhnya untuk kita, kita harus trima. Karna kitong dua nikah atas dasar cinta. Bukan ko pu salah atau sa pu salah kalau sampe detik yang ada nih malaikat kecil itu blum juga hadir! Tuhan yang pu hak untuk semua itu De mo kasih kah tidak. Yang penting kita ibadah, minta sungguh-sungguh. Tuhan nilai hati. Sa kira ko lebih tau karna ko rajin ibadah tiap minggu dengar Firman Tuhan…”

“Sayang eee…!!!!” tangis Amelia pecah. 

Tak kuasa Ia mendengar ucapan suaminya itu. Ada ketulusan terpancar dari setiap kalimat yang Ia lontarkan. Amelia tak dapat berkata banyak lagi. 

Suaminya itu segera meraihnya dalam pelukan. Membiarkan wanita itu merasakan kasih sayang tulus darinya yang tak dibuat-buat.

“Sayang dengar. Maut, jodoh dan berkat itu Tuhan sudah janji sama tiap-tiap umat. Jadi, alasan apa yang buat kitong kuatir? Bertekun dalam doa, sayang! Kalo masalah mama itu gampang saja. Batu yang kena air saja bisa aus, apalagi hati manusia yang cuma daging. Ame, sa akan cinta ko sampe mata ini tra mampu liat lagi. Ko bukti terindah dari kebaikan Tuhan untuk sa. Tolong ko camkan itu…!” Ucap Will seraya memegang kedua pipi istrinya. 

Amelia hanya mengangguk, tapi dengan air mata yang membanjiri pipinya. Kembali dia peluk istrinya itu dengan penuh kasih sayang. 

Ko tau apa yang sa ingat skarang ini? Sa ingat dulu waktu tahun pertama kitong dua nikah, sa belum ada pekerjaan tetap. Kadang jadi kuli, ojek-ojek baru ko berkebun deng tanta Frida, tambah-tambah ongkos untuk sa urus lamaran kerja ke perusahaan ini. Skarang kitong dua su enak tuai hasil baru ko mo suruh sa kas pulang ko… Sayang ee, sa pu hati nurani su trada kapa??!” Will berkisah. 

Amelia tersenyum dalam hati. Betapa bersyukurnya Ia memiliki suami yang sangat setia ini. 

Sa juga ingat itu sayang. Kadang sa rasa sa ingin kembali ke masa-masa itu. Masa dimana kitong tinggal di kontrakan kamar. Pakaian yang kitong dua taruh di dus supermi. Siooh sa rindu hal itu. Hidup susah tapi sa bahagia skali…” Amelia berkisah.

“Tapi kalo kitong balik ke masa itu, berarti skarang ini ko trada alat-alat make up lagi kah. Minim fulus jadi…,” timpal Will mereka pun tertawa garing. 

“Betul, ko rela? Su hidup susah sama-sama deng sa baru pas mapan begini perempuan lain yang nikmati hasil…?” Tanya Will mengejek istrinya. 

Amelia menggeleng, kemudian memukul ringan dada suaminya. 

“Makanya jang aneh-aneh begitu. Ko dengar e… minggu depan sa cuti. Besok sa naik lagi, langsung print tiket dari kantor. Kembali bukan kitong dua lagi, Grace ikut kita. Apapun yang terjadi, ko mo hamil kapan pun, Grace kitong dua pu anak pertama…” 

Serasa tenang hati Amelia mendengar ucapan suaminya itu.

“Mari sudah!! Kitong ke pastori, biar minta pak pendeta doakan kita. Tadi sa su kas suara besar ke mama lagi. Tapi sa mo tanya, ko marah ko mama mantu dia kah?”

Trada sayang!! Sa sayang mama sama kaya sa mama kandung. Pernah marah, tapi tra pernah dendam,” tandas Amelia. 

Suaminya tersenyum. Mereka bergegas melanjutkan aktivitas mereka hari itu. 

Ada satu kebanggaan tersendiri dalam hati Amelia. Seperti yang sudah diucapkan Will. Bagi Amelia pun, Will adalah bukti kebaikan Tuhan pada dirinya. Sampai kapan pun cinta mereka kan tetap bersemi, hingga mata tak mampu melihat lagi, kaki tak mampu melangkah dan napas tak berhembus lagi. []

Pos terkait