Oleh: Topilus B. Tebai )*
Malam telah menyelimuti Yogyakarta. Sudah pukul 23.30 WIB. Daniel masih duduk mematung di tengah tumpukan buku, semalam ini. kelopak matanya masih tak ingin mengatup. Gelap telah menguasai kamarnya. Aliran listrik tidak lagi membuat lampu Philips di kamarnya mengusir gelap sejak lima menit yang lalu.
Sejujurnya, Daniel masih belum percaya gelap akan menguasai ruangannya begitu saja, tiba-tiba. Padahal, ia baru saja mulai duduk menghadap notebook dan menarikan jemari merangkai cerita pendek ini.
“Akh, semua tampak tak bersahabat,” pikirnya. “Tak seperti dirimu…”
Tangannya bergerak meraba, menelusuri sisi kiri meja belajar tempatnya menopangkan kedua siku tangan. Daniel ingat puntung lilin bekas pakai, sebuah lilin Natal. Korek tidak begitu susah ia temukan, ada dalam kotak plastik tempat ia simpan rokok.
Setelah lilin dinyalai, cahayanya kini membuat mata dapat memandang. Ia dapat mengenali barang-barang yang ada di kamarnya. Kenyataan ini membuat Daniel mengingatnya lagi, mengingat kata-katanya.
“Terang itu mendamaikan. Ia membuat kita jadi diri sendiri.” Begitu kata-katanya saat mereka makan malam di Burjo Aldy. Daniel ingat betul moment itu.
“Terang itu membuatmu sadar siapa dirimu. Terang itu membuat kita melihat. Terang itu menjadi landasan bagi kita untuk tidak salah.”
Kini cahaya lilin yang menerobos masuk melalui pintu mata itu menerobos masuk pula dalam otaknya, membongkar lemari arsip yang telah berdebu itu dalam batok kepala Daniel, membuka lembaran-lembaran sejarah bersamanya.
“Terang itu ikhlas.”
Untuk kalimat yang ini, Daniel memang tak akan lupa. Itu pintu buatnya mengingat dia, mengingat lekukan bibir meronanya saat mengucapkan huruf demi huruf yang dia rangkai begitu indah, hingga dirinya dibuai dengan Teori Lilin dan Teori Terang miliknya itu.
“Iklas. Maksudnya?”
“Maksudnya? Ayolah, kau kan mahasiswa filsafat.” Kemudian Daniel dengar uraiannya tanpa satu kata bantahan.
“Tahukah kamu bahwa cahaya lilin itu adalah hasil penyerahan diri sang lilin pada sang api yang membuatnya cair dan menghidupi api di ujung sumbu hingga menjadikannya tiada.”
Beberapa saat diam. Daniel juga diam. Gadis itu telah melanjutkan teorinya.
“Sebatang lilin dihargai tak lebih dari seribu rupiah sebatang. Ia dipandang begitu hina. Bentuknya tidak istimewa. Ia hanya seperti potongan batang sapu ijuk, berwarna putih, dengan sumbu tali di tengahnya, tempat sang korek menghasilkan api dan membakar sumbu itu. Selanjutnya, daging lilin terbakar. Semakin terbakar, semakin terang nyala lilinnya, semakin teranglah ruangan, semakin gembira orang yang menikmatinya.”
Diam sebentar. Ketika Daniel ingin menyela, wanita itu sudah melanjutkan bicara.
“Dapatkah kau menjadi seperti lilin?”
Itu pertanyaan menyentak. Dipandangi olehnya lilin yang masih menghasilkan cahaya remang, cukup, lalu kembali terbenam dalam ingatan.
“Sebatang lilin begitu ikhlas memberi dirinya demi manusia untuk mengenali dirinya dengan mata, memandang sekelilinya dengan jelas. Ia mengusir gelap. Tapi untuk misi ini, ia biarkan dirinya meleleh, terbakar, hingga ia habis dan menjadi tiada. Dapatkah kau menjadi seperti lilin bagiku dan bangsa Papuamu?”
Daniel masih ingat gagapnya ia ketika pertanyaan itu sontak terlontar begitu saja dari mulut gadisnya.
“Lilin benar-benar ikhlas,” sambut Daniel dengan datar, kala itu. Kemudian ia ingat bagaimana gadisnya memegang tangannya lembut. Bagaimana ia merasai dingin tubuh wanitanya menyatu dengan dingin tubuhnya. Tak lama setelah itu, mereka sama-sama hangat. Dan setelahnya, Daniel masih mengingat pernyataan beraniya yang tak kalah menyentak baginya.
“Dan, kau harus menjadi seperti lilin bagiku dan bagi bangsamu!”
Saat ini, Daniel masih kuat merasakan nafas beratnya yang terhempas di sekitar telinganya saat gadisnya membisikkan pernyataan itu padanya.
“Dan untukmu, maaf ini kusampaikan lewat angin gunung Merapi. Biar ia membawanya ke tempat kau berada saat ini, menerobos sekat-sekat yang memisahkan kita, untuk membisikkannya padamu lagi, tak peduli ini yang keberapa”.
Daniel mengingat gadisnya malam ini. Rindu dalam remang malam telah padu menghantarnya pada ingatannya, lebih dalam dan kuat. Ia masih duduk di tempatnya duduk tadi. Ia masih menunggu lampu philips mengeluarkan cahaya lagi. Sejenak, Daniel berhenti fokus memikirkan gadisnya. Ia ingin menjauh dari berondongan pertanyaan.
“Dan, aku mampu memberimu terang, dan kau masih mengharapkan Philips mengeluarkan cahayanya lagi.”
Daniel memandang lilin di depannya tadi. Kali ini dia yang mengajaknya bicara. Lepas dari gadisnya, kini lilinya mengajaknya bicara. Bicara tentang hal yang sama.
“Karena cahaya Philips lebih terang darimu.”
“Memang, aku sadar cahayaku redup. Tapi tidakkah kau lihat tulus hatiku?”
Daniel lebih pandangi lilinnya. Masih menyala di atas sehelai kertas bekas. Sungguh, bukan tempat yang layak bagi sang lilin untuk berpijak. Nyala lilinya kini mulai diganggu angin nakal. Serta merta ia ulurkan tangan menjaga nyala lilin tetap besar.
“Tak usah kuatir, Gio. Aku masih kuat memberimu terang. Walau redup. Walau angin berusaha membatasi.” Dan kepada Daniel, sang lilin beri senyuman tulus. Secanting senyuman iklas. Senyum totalitas.
Daniel kaget lagi saat listrik jalan lagi dan lampu Philips menyala. Sontak, seisi rungan kentara semua. Cahayanya lebih terang dari lilin. Tidak redup seperti lilin. Daniel ucapkan maaf dan ia matikan nyala lilin dengan nafasnya. Dan kini ia sadari matanya berair menyadari kenyataan ini: “Aku sendiri membunuhmu lilinku, membunuh kau yang begitu ikhlas mengisi ruang ini dengan cahayamu kala ditinggal pergi cahaya Philips.”
Tapi lima menit kemudian … Lampu mati.
Daniel kembangkan kedua tangannya menelusuri dan menjangkau semampunya. Ia mencari sang lilin. Didapatinya lilin itu di pojok meja, terhimpit buku-buku Akuntansi yang tidak kau mengerti bila kujelaskan. Kemudian diambilnya korek, dinyalakannya. Cahaya lilinya kali ini redup, lebih redup dari semula.
Lalu daniel mulai terbawa isi pikiran dan rasa yang menyeruak di hati.
“Saya memang terlahir menjadi pilihan alternatif. Tapi untukmu, aku rela. Bahkan bila tubuhku harus memeleh dibakar, asal kau masih dapat menerima dirimu dan mengenali lingkungan sekitarmu tanpa dibutakan sang gelap lagi. Saya ikhlas.”
Dan kini Daniel jadi tak mampu memandang sang lilin di depannya ini, yang dengan cahayanya, walau remang, telah mampu membuat dengan jelas Daniel memandang foto kekasihnya itu di sudut meja ini. Ia tak mampu memandangnya, karena lilin itu sudah seperti kekasihnya: begitu tulus, begitu ikhlas, seperti dia untuknya seorang. Dan malam gelap ini membuat Daniel semakin kuatir pada gadisnya.
“Karena aku tahu, kini kau dalam gelap. Gelap yang sama,” Daniel terbata-bata. “Adakah lilin padamu, yang akan dengan ikhlas memberimu terang? Adakah padamu korek api, yang dapat membuat sumbu lilinmu menyala?” sambung Daniel.
“Atau kau dipenjara sang malam, menjadi puteri gelap, hingga memandangku, memandang lilin dan korek api sebagai musuh yang akan menguasai dan mengambil secuil demi secuil hak atas teritori kekuasaanmu hingga harus kau jauhi, musuhi, bunuh bila perlu?”
Akh, semoga tidak demikian. Daniel diam dalam gelap usai lilin dimatikannya.
“Disini saya masih mencintaimu, Merry, lilinku, pengusir gelap hatiku. Selamat istirahat untuk malam ini, untuk esok pagi, hingga kita jumpa lagi di padang anggek tanah air, suatu saat nanti, entah kapan”.
Ke tempat tidur, Daniel langsung tertidur lelap. TAMAT.
)* Topilus B. Tebai, Cerpenis tinggal di Dogiyai