Perempuan, Hujan Dan Cinta

Perempuan, Hujan Dan Cinta. Ilustrasi; pixabay.com
Perempuan, Hujan Dan Cinta. Ilustrasi; pixabay.com

Oleh; Rini Irmayasari

Prolog

Manokwari, September 2011

Rhe. Itu namaku. Perempuan pemimpi yang suka memandang awan yang berarak di pegunungan Arfak, ombak yang pecah di teluk Padarni dan pulau Mansinam di kejauhan. Hanya seorang perempuan yang sebagian besar hidupku habis di sebuah tempat bernama Manokwari di Tanah Papua. Aku tak pandai bercerita tentang cinta. Namun, aku pernah sekali jatuh cinta yang dalam, cinta yang membelitku hingga sekarang. Cinta yang mengikatku dalam kenangan sebuah musim panas dua tahun silam. Dan aku sadar, semuanya tak akan pernah lagi sama. Tak akan pernah!

***

Manokwari, September 2005

Bacaan Lainnya

“Rhe, adooh terima kasih su mo datang. Kenalan dulu, ini Jo. Sa pu teman dari Melbourne. Ko bantu temani de dulu eee. Kaka sebentar ke apotek sebelah bli ade nona pu obat dulu eee,” kaka Anes menyapaku dengan sebuah perintah kala baru saja masuk ke sebuah rumah makan di kawasan Wosi. Bahkan aku belum sempat menarik nafas panjang usai turun dari ojek. SMS dari kaka Anes berisi pesan urgent membuatku buru – buru mencegat ojek menuju tempat ini. Jangan tanya bagaimana tampilan rambut dan wajahku. Muka mangkilat1 hasil kopeng2 panas matahari. Rambut keritingku apalagi, kemana – mana tentu saja. Bad hair day!

Proses perkenalan berlangsung singkat, padat dan jelas. Aku Rhe, dia Jo. Aku anak Manokwari. Dia cowok Melbourne. Aku fasih berbicara dalam Melayu Papua. Dia, tak satupun kata bahasa Indonesia yang dihafalnya kecuali ‘Terima Kasih’. Aku menenteng beberapa buku teks kuliahan anak Sastra Inggris, dia sibuk mengutak – atik kamera SLR Nikon-nya. Aku mahasiswa, dia fotografer profesional. Kami duduk berhadapan di sebuah meja kecil di rumah makan ini. Untungnya, kami berdua suka Avocado smoothie alias ‘jus Alpukat’.

Kaka Anes belum juga tampak dari apotek sebelah. Kakak iparku itu mungkin sedang menunggu obat. Kutatap lelaki berambut pirang cepak di depanku, matanya yang biru langit menatapku balik. Iseng – iseng sambil menghirup daging buah Alpukat yang dilumatkan, kutanya dia, “Have you ever been to Manokwari before?” dan disambutnya dengan gelengan kepala. Gelengan dan responnya rupanya menjadi awal pembicaraan kami yang seru. Pembicaraan pun mengalir bagaikan dua sahabat lama. Mulai dari persahabatannya dengan kaka Anes sewaktu kuliah di Melbourne, liburannya yang seru di Raja Ampat hingga rencana menyelam di bangkai – bangkai kapal eks Perang Dunia II yang jadi sarang ikan di teluk dan perairan sekitar kotaku. Kotaku memang kota yang penuh teluk besar dan kecil.

Hari – hari selanjutnya dapat ditebak dengan jelas. Kaka Anes terlalu sibuk dengan bayinya yang sakit, dan aku ‘terpaksa’ menjadi pemandu lokal untuk Jo. Lelaki Australia ini hanya beda 3 tahun lebih tua dariku. Sangat lucu, jail, iseng tetapi juga ramah. Aku tak pernah bisa menahan tawa kala melihatnya nekat mengunyah pinang muda dan berakhir dengan acara ‘mabok’ atau bagaimana ia memilih nekat menelan Papeda3 yang rasanya seperti lem usai kutantang. Sia – sia saja aku membelokan pendapatnya. Katanya, “Rhe, it’s like putting some glue inside my mouth.”

Lima hari berlalu dan ia pun pulang. Hanya sebuah perjumpaan di suatu masa. Tak lebih.

***

Manokwari, Januari 2008

Hujan deras sejak tadi menari di Manokwari. Suaranya lekat erat bak tetabuhan Tifa4 ataupun dentingan stem-bas5 dan petikan Juk’kulele6 kala prosesi hantaran mas kawin. Titik – titiknya menari kencang, berjatuhan, lebur dan mengalir. Sore tanpa jingga terus diisi tarian hujan. Kanak – kanak kecil berlari riang di jalanan perumahan, berteriak kegirangan menyaputkan busa shampoo kemasan di rambut – rambut keriting mereka. Selembar amplop coklat besar tergeletak di depan meja teras kala ku baru melangkah masuk rumah. “Rhe, ada ko pu dokumen tuh. Tadi ada kurir yang antar akan,” suara mama membahana dari ruang dalam.

Kulihat amplop coklat itu lekat – lekat. Kupandang sekali lagi, kutilik apa benar pengirimnya memang dari lembaga itu. Kubolak – balik amplop itu. Sesekali kuletakan di meja, sesekali kupegang lagi. Usai berhitung ‘1, 2, 3’ dalam hati. kuambil dan kubuka. Kali ini dengan menahan napas panjang.

“Dear Ms Regiana Regatta, we proudly announce that you are selected as one of the recipients of this scholarship …. bla bla bla”, itu kata – kata yang bisa kutangkap saat itu. Rasanya seperti ingin pingsan. Intinya, Australia, sambutlah diriku. Semua pengurusan visa, pelatihan telah diatur bahkan urusan universitas. It’s really a miracle of this year. Ya mujizat! Dan aku pun teringat dia. Ya, dia. Si Jo.

***

Australia, 2009

Liburan musim panas. Ini semester terakhirku di universitas ini. Tak ingin pulang ke Papua karena programku hanya setahun. Sayang sekali bila tak menikmati Australia dengan baik. Selama musim panas ini, aku memilih bekerja paruh waktu di sebuah peternakan ayam dan juga menghadiri seminar dan konferensi gratis di kampus. Iseng – iseng, kubuka jejaring sosialku, ‘Buku Wajah’. Sebuah pesan masuk di kotak pesanku. “Call me ASAP7.” Titik. Kulihat seksama, rupanya dari Jo. Tumben!!! Padahal aku baru bertemu dengannya sekali, itu pun kala ia berkunjung ke Canberra menengok omanya 3 bulan lalu.

Kejutan! Ia membelikanku tiket one-way ke Melbourne plus pesan singkatnya, “I’ll be your guide, Rhe. I’ll show you another face of Australia. No worries.” Tentu saja tak perlu pikir panjang untuk ‘say yes’ bagi manusia impulsif sepertiku. Melbourne – Great Ocean Road – Apollo Bay sudah bertebaran di kepala. ‘Rencana gila’ tentu saja!

Semuanya berjalan lancar. Jo tetap menjadi manusia super jail, iseng, ramah tapi juga perhatian. Hanya dua hari di Melbourne, aku pun ditawarinya pergi ke rumah orang tuanya di Apollo Bay. 4 jam lebih habis di jalan. Beberapa titik lookout di sepanjang Great Ocean Road kami singgahi, bahkan saking gilanya, kami nekat memesan es krim berlapis tiga rasa di Lorne dan berjalan menapaki dermaga kayu tepi pantai demi mencari sebuah kenangan yang hilang, mencari aroma laut dan berbicara tanpa titik jelas. Aku tak tahu untuk apa pula kami harus duduk di sana. Begitu pula di Johanna Beach, ia mengajakku ke pantai hanya untuk berlari riang, tertawa – tawa, berfoto dan tentu saja menyelamatkan beberapa kerang hidup yang terbawa ombak ke tepian, mengubur seekor penguin mini yang mati terdampar dan tentu saja ia sibuk memungut potongan nilon pancing yang putus lengkap dengan mata kailnya untuk dibuang ke tempat sampah. Tak lupa memberiku kejutan dengan membawaku ke habitat Koala di Kenneth River.

Beberapa hari di Apollo Bay adalah hari – hari terbaikku selama di Australia. Menonton Wallaby bermain dengan berlatar langit senja di properti orang tua Jo. Naik turun bukit hanya untuk mencapai sebuah titik di bukit yang pemandangannya lepas ke teluk dan Jo sibuk memainkan simpul dan kerangka imajinasinya tentang rumah masa depannya di sana. “Rhe, I’ll build my house here,” katanya sambil terus membentuk frame segi empat dengan jari – jarinya, jemarinya pun sibuk melukis garis imajiner ruang – ruang rumah itu plus areal penanaman pohon sebagai pelindung privasi. Kami juga berkemah di pinggiran tebing dan memandang langit malam penuh bintang tiap hari. Menghitung letak Southern Cross. Menunggu semburat jingga yang menjilat laut di teluk bawah sana, yang kadang berkilau seperti berlian tiap pagi. Bercerita, berbagi mimpi, dan tertawa. Benar – benar membuatku bahagia.

Tiba – tiba di petang terakhir di sana, di sebuah senja, kala Jo dan aku berjalan mendaki bukit menuju rumah orang tuanya, ia bertanya padaku. “Rhe, when will you marry?” Yang kujawab dengan mengangkat bahu, gelengan kepala dan jawaban yang kupikir sangat jujur, “I don’t know. Have no idea. I haven’t planned it yet. Still stick on my vision. I’m just afraid when I marry then I can’t fulfill my dreams. You know, it’s hard in my culture. You visited West Papua and you know, it’s hard when I marry and have to travel to either interior land or to the remote area, I’m afraid that my future husband may not agree with that idea. So, I still have no idea, anyway. I’ m single now so don’t wanna bother with this stuff for a while.” Dan kami pun berjalan dalam diam senja itu, meninggalkan teluk yang berpendar gelap di bawah sana.

Itu pembicaraan pribadi kami yang terakhir. Usai pamit kembali ke kotaku, kudengar ia sedang berencana ke Timur Tengah; Travelling, katanya. Aku tak pernah mendengar kabarnya lagi.

***

Beberapa bulan berlalu usai liburan musim panas itu. Hari wisuda sudah di depan mata. Tak dinyana telepon genggamku berbunyi. Suara perempuan yang serak memecah kesunyian, membuat gaduh hatiku. Rupanya Lily; adik perempuan Jo. Aku ingat hari itu, aku ingat dengan jelas. Canberra sedang diguyur hujan. Ini musim dingin terakhirku dan hujan kerap turun. Pohon – pohon botak tertawa memamerkan ranting – rantingnya yang meranggas. Mencemoohku. Tak ada jerit Kakatua, Rosella, apalagi Magpie. Suara Lily pecah di ujung sana diiringi sedu sedan, “Rhe, Jo has gone.” Aku tak bisa menangkap penjelasan lainnya dengan baik. Tiba – tiba dadaku terasa sesak, ada yang mengiris hatiku. Napasku seakan berhenti. Semuanya terasa berat dan pedih.

Ada yang pecah, mengalir dan basah di sudut mataku. Pun hatiku ikut – ikutan. Kenangan yang basah ataukah pedih yang getir. Penyesalan mungkin kata yang tepat. Ya, penyesalan yang berbalut kesedihan. Sendu merayapi dinding hatiku sore itu. Sayup – sayup kudengar Lily membisikan potongan – potongan informasi. Kecelakaan lalu lintas. Tabrakan frontal. Jo Tewas. Dan aku melewatkan pemakamannya.

***

Manokwari, September 2011

Aku bertemu dia, lelaki yang bukan Jo di sebuah studio foto beberapa bulan lalu. Dia bukan temanku, hanya kenalan semasa kuliah dulu. Beberapa tahun di universitas lokal bahkan tak membuatku tahu tentang lelaki ini. Dia jail, cuek, iseng dan ramah. Persis seperti Jo. Apalagi ia suka juga mengutak – atik kamera. Kami cukup dekat sebagai teman curhat beberapa bulan terakhir, hingga semalam lalu ia bertanya padaku via layanan pesan pendek, “Jadi, apa yang ko inginkan dari sa, Rhe? Yang mungkin dapat sa penuhi secara logika dan realistis?”. Malam itu, aku tak bisa menjawab apapun secara gamblang. Mulutku beku, kaku dan aku bahkan tak tahu kata apa yang hendak kupilih. Aku hanya tahu, ia bukan Jo. Aku hanya menemukan bayang Jo di dalam dirinya. Itu saja.

***

Epilog

Hujan masih turun dengan deras di bulan September ini bersama angin. Manokwari basah kuyup. Titik – titik hujan tak lagi menari pelan, tetapi berlompatan, berlari dan tertawa mengejekku. Secangkir kopi mengalir lembut perlahan di tenggorokanku, menyisakan getir pahit di bibir, menemaniku duduk di beranda dengan komputer jinjing yang terkoneksi. Mataku masih tertegun dengan kiriman artikel lelaki itu di jejaring sosialku, sebuah pesan di bagian bawah cerita membuatku menangis di sore penuh hujan ini.

‘Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.’

Ya benar, dan sayangnya usai dua tahun berlalupun tak sanggup menghapus rasa kehilangan itu.

Tiba – tiba sepotong larik puisi ‘Ketika Kemudian’ milik Luna Vidya; seorang seniman dari Makassar berlari di kepalaku:
Ketika kemudian kau ku kenang:/ hmm.. aku akan selalu rindu/ pada cintamu yang bebas terbang/ dan cuma ada aku/ yang sepenuhnya setuju untuk mencintaimu/ dengan menunggu.

I still miss you, Jo!,” bisikku perlahan sembari menutup layar komputer jinjing yang menampilkan foto aku dan Jo berlatarbelakang langit jingga.

Ya, tetap merindukanmu. Di antara mimpi dan terjaga, di situlah aku menunggumu.
(Manokwari, 30091; inspired by a true story)

Catatan:
1. Mangkilat (Melayu Papua) Mengkilat. Dalam konteks ini merujuk pada kulit yang sangat berminyak dan terkena pantulan matahari.

2. Kopeng (Melayu Papua) Kata serapan dari bahasa Belanda. Artinya seperti tindakan ‘heading’ dalam bahasa Inggris. Dalam konteks ini tentang kepala yang langsung terpapar sinar matahari langsung.

3. Papeda (Melayu Papua) Sejenis bubur sagu yang berbentuk lem yang dibuat dari campuran air panas mendidih dan sari pati batang sagu. Biasanya dimakan dengan sop ikan (ikan Kuah Kuning), kadang juga divariasikan dengan sayur kangkung tumis bunga pepaya dan sambal. Di beberapa daerah selatan Papua, dimakan pula dengan sayur gedi bening ataupun sayur bersantan lainnya.

4. Tifa (Melayu Papua) Alat musik tabuh tradisional yang berbentuk seperti tabung dengan pegangan. Dibuat dengan melubangi sebuah gelondongan kayu pendek dan sebagai penutup lubang yang menjadi lubang resonansi suara biasa diberikan penutup kulit biawak atau soa – soa (Varanus Sp) dan juga beberapa tetes getah nangka untuk penyempurna nada ketukan. Alat musik ini khas milik suku – suku di bagian Utara tanah Papua apalagi di kawasan teluk Saireri (teluk Cenderawasih).

5. Stem-bas (Melayu Papua) Alat musik petik tradisional berbentuk seperti cello.
Juk’kulele (Melayu Papua) Alat musik petik berbentuk gitar kecil. Kadang juga disebut dengan ‘Juk’lele’ atau di wilayah lain disebut ‘Ukulele’.

6. ASAP singkatan dalam bahasa Inggris ‘As Soon As Possible’ atau sesegera mungkin.

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.