Catatan Bedah Buku : Pendidikan Yang Berkebudayaan (PYB)

Oleh : Yudi Latief

 

Disklaimer

Ketika menerima tawaran menjadi pembedah buku PYB karya Yudi Latif (YL), aku langsung berfikir bahwa PYB adalah buku teks sangat ilmiyah dan serius dan bisa dikategorikan sejenis Handbook of Education Strategy berbasis Kebudayaan. YL tidak pernah menulis buku dengan guyon, meski keseharian beliau sebagai orang NU cerdik cendekia jelas jenaka belaka.

Pada dasarnya, saya lebih suka buku sastra daripada buku Ilmiyah seperti PYB ini, karena sungguh berat membaca dan mencerna buku seserius ini dengan rujukan tiga ratusan lebih karya ilmiyah (buku dan pengarangnya), apalagi dilengkapi catatan kaki yg sering membuatku merasa bodoh karena hanya diberi kutipan singkat dan ketika asik di catatan kaki, eh habis.

Mengapa lebih suka karya sastra ? karena tak mengungkit rasa berdosa jika ditafsir “salah” dan tak sesuai keinginan pengarang, karena imaji dan tingkat intelijensia pembacanya. Tetapi, jangan main main imajinasi dengan buku seperti PYB ini, diperlukan kekuatan, akurasi dan kejernihan berfikir dan tanpa itu hanya kebingungan yang akan diperoleh, karena pembaca akan diajak terus menerus berfikir gagasan masa lalu (histori) dan mengendapkannya dlm konsepsi dan menyepakati, menolak atau mengajukan gagasan sintesis untuk dijadikan gagasan baru yg relevan dan kekinian.

Bacaan Lainnya

Bingung kan ? Saya saja bingung “apene nulis opo se…”

Buku serius seperti PYB ini bisa “menyesatkan”: Ketika menerima tugas eksplorasi menalar, yg dimiliki pembaca adalah menguasai (materi buku), memahami dan menyukai topiknya. Saya suka topik sejarah dan budaya. Sesat karena asik dengan eksplorasi ke area yg disukai ketika membaca “Akar Budaya Pendidikan” dan “Budaya Kontinum” maka JANJI ikut rapat TERBENGKALAI , sesat karena LUPA WAKTU.

Sesat KOMENTAR juga bisa terjadi karena keawaman dan tak juga faham meski sudah dibaca berulangkali. Sebagian rujukan boleh jadi pernah dibaca terpisah, namun belum sempat bahkan belum mampu merangkainya menjadi “puzzle” yg difahami. Kesesatan memberi komentar yg asal bunyi (Asbun), seakan akan hebat padahal diketawain penulis dan khalayak.

Dengan prakondisi psikologis seperti itu, jelas saya hanya akan mengomentari bagian yang kupahami dan membiarkan yg lain karena memang setuju, baru saja faham dan sama sekali tak faham yang dimaksud.

Peta Jalan

PYB adalah GAGASAN PETA JALAN untuk mempraktekan Pendidikan Transformatif Bangsa Indonesia. Namun “Peta Jalan PYB” untuk Menuju Manusia Indonesia Sejahtera yang ditulis Yudi Latif (YL) ini masih berbentuk dugaan/tesis ilmiyah.

Pasi Sahlberg dari Finlandia penulis “Finnish Lessons” sebuah Buku Peta Jalan yg sama dg PYB dlm konteks Finlandia dan cara yg diajukan dan dilaksanakan bangsa Finlandiapun sama pula dengan gagasan YL. Indonesia harus segera mampu menyumbang buku “Indonesia Lessons” dg mempraktekan buku “Pendidikan Yg Berkebudayaan” ini sebagai acuan utama Peta Jalan.

Jika YL juga mengulas lebih dalam “Finnish Lessons” karya Pasi Sahlberg, saya yakin greget buku PYB akan semakin besar karena cara Finlandia mereformasi Pendidikannya untuk menghadapi abad 21, sekali lagi sangat mirip dengan cara yg dianjurkan YL dlm buku PYB, yaitu menggali dan menguatkan “local wisdom” dan menerima serta mempraktekan “global vision”. Uniknya, cara yang ditempuh Finlandia sangat KHD, sementara kita, pewaris sah KHD belum sempat mempraktekan gagasan beliau seperti tulisan YL ini.

Saya tak faham mengapa YL hanya mengutip potongan kecil potret reformasi dan transformasi pendidikan Finlandia, padahal proses perjuangan reformasi pendidikan merekapun dlm skala negeri kecil mirip dengan Indonesia. Finlandia menggali akar budayanya sendiri, mengantisipasi tantangan masa depan dan mengembang gagasan menjadi Peta Jalan fondasi reformasi dan transformasi Pendidikannya yang persis kehendak Yudi dlm PYB.

PYB wajib mengeksplorasi lebih dalam lektur berbasis “NeuroSciences” agar tidak salah tangkap esensi mapel matematika di jenjang SD/MI yg tidak sekedar Calistung dan meski tingkat buta aksara Indonesia mengecil namun tidak berarti yg melek huruf faham yg dibaca. Berdasar acuan ini, YL mengajurkan peniadaan matematika di jenjang SD/MI dan cukup diajari berhitung saja.

Alangkah semakin dahsyatnya jika YL merujuk ke beberapa studi “neurosains” tentang belajar, saya yakin dia akan lebih tertarik mengutipnya daripada mengutip teori Multiple Intelligences Howard Gardner yg “Project Zero” nya tidak diteruskan. Serial teks cara manusia berfikir seperti “How People Learns (HPL)” dan “How Children Learns Math (HCLM)” dan “Berfikir Majemuk” karya Iwan Pranoto akan memperkaya ulasan YL.

Jika YL merujuk pula ke teks “HPL” dan “HCLM” terbitan Akademi Sains Amerika serta “Berfikir Majemuk” nya Iwan Pranoto, maka YL pasti akan berubah pandangan tentang matematika yang diajarkan di SD/MI sebagai Numerasi dalam arti luas bukan sekedar berhitung. Lebih dari itu, PYB akan terlengkapi dengan pemahaman cara otak manusia belajar berbasis “Neuro Sciences”.

YL juga masih seperti cendekia umumnya, menganggap ketrampilan membaca murid Indonesia baik2 saja, padahal hasil uji PISA menunjukkan, Indonesia sudah kembali ke status 18 Tahun yl “kembali ke titik nol” dan YL pun seharusnya membaca laporan WB bahwa 53 % murid Indonesia usia 15 Tahun tak faham yang mereka baca.

Meski mengutip semua acuan data rendahnya hasil belajar, termasuk yang sangat dramatik dari direktur RISE, Lant Princhett dan laporan WB, YL menganggap rendahnya mutu membaca dan matematika tdk begitu penting, karena memberi ulasan sangat sedikit dan usulan perbaikan dalam topik ini juga belum tajam.

“Indonesia Lessons”

Usai membaca khatam, jelas saya berharap PYB menjadi gagasan hidup dan mewujut menjadi “Indonesia Lessons”. Karena sungguh mubasir dan berdosa bangsa ini menyianyiakan gagasan YL memetakan Konsep Besar Peta Jalan Pembangunan Manusia Indonesia sebagaimana yang dikehendaki Konstitusi: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya dan dengan indah diulas di bagian akhir tentang 5 sila yang Berkebudayaan.

Konsep Besar ini harus diturunkan menjadi Rancangan/Disain Besar (Grand Design) yang lebih SMART (Spesifik, Measurable, Achievable, Reasonable dan TimeBounce). Kemudian, Disain Besar ini harus menjadi Peta Jalan (RoadMap) Pendidikan dan Kebudayaan yang memiliki Payung Hukum atau Instrumen Pemaksa dlm bentuk UU RPJPN-PK (Pendidikan dan Kebudayaan) dan sinkron dengan impian pencapaian sektor Ekonomi dan Politik serta Hankam dan Sosial dalam Jangka Panjang.

Karena Pendidikan Yg Berkebudayaan ini adalah Peta Jalan menuju Kesejahteraan yg Berkeadilan dan memiliki akar yg kokoh, maka dia menjadi tabu dinafikan oleh UU bersifat Sapujagad sekalipun, karena inilah Tafsir Konsitusi unt Pendidikan Yang Berkebudayaan yg saat ini paling tepat dan saya/rakyat Indonesia tunggu.

Ketika sudah menjadi RoadMap dan diturunkan menjadi Cetak Biru, maka wajib ada turunan sesuai konteks masing2. Pendidikan Yg Berkebudayaan yang sesuai jenjang, usia, profesi dan fokus sektor kebijakan seperti: Maritim, Wisata dan Pertanian (Agriculture). PYB harus disampaikan ke bahasa yg dimengerti dan disukai generasi penerus. Jika tidak hanya akan menjadi dokumen keramat ilmiyah.

Mengacu ke RoadMap tadilah, praktek berkebudayaan dan berkesenian yang masih hidup dan pernah hidup di masyarakat seperti permainan tradisional/anak2, kuliner, kesenian istana/rakyat termasuk tradisi baik di darat dan laut, harus menjadi program wajib yang diajarkan di jenjang pendidikan dasar. Misalnya: Anak laut wajib bisa berenang dan anak darat wajib bisa/faham cara bercocok tanam dst

Ketika Buku Teks “PYB” ini tidak dipraktekan seperti di Finlandia ( Pasi Sahlber “Finnish Lessons”) maka PYB hanya akan menjadi buku Teori Kajian Akademik yang tanpa (kurang) berdayaguna. Presiden, Anggota Parlemen, Mendikbud, ASN dan Pegiat Pendidikan harus menjadikannya rujukan utama dalam eksekusi program2nya.

NU Circle dengan Megawati Institute dan Lemhanas serta KEIN sempat mengusulkan kepada presiden Jokowi dan Wapres KMA agar fokus di perbaikan mutu jenjang SD/MI beserta turunannya dan di buku PYB ini YL berfikiran yang sama, namun hingga saat ini, usulan terebut belum dilakukan. Pdhl mustahil impian menjadi negeri dg PDB USD 7 T di Tahun 2045 terwujut, jika mutu fondasi Pendidikan yang baik tak diselesaikan. Apalagi tujuan lebih besar lagi, sesuai mimpi Konstitusi.

Butiran aksi di atas itulah yg akan saya kerjakan, jika saya adalah Presiden Jokowi atau Ketua DPR Puan Maharani atau Mendikbud Nadiem Makarim. Jika mereka eksekusi gagasan ini, mereka akan tercatat sebagai pemimpin yang meninggalkan warisan (Legacy) dalam mematok Fondasi Pembangunan Manusia Indonesia menuju Abad 21.

PYB adalah Buku Teks wajib Mhs LPTK (d/h IKIP) dan kuliah Kapita Selekta mahasiswa non LPTK, Akademi sipil/TNI/Polisi dan semua calon pemimpin bangsa.

“Horny” bergairah.

Ketika membaca “Pendidikan Yg Berkebudayaan” kenikmatan dan gairah saya sama seperti ketika membaca “Collapse” Jared Diamond yang berkisah dengan bingkai tumbuh dan musnahnya Peradaban Manusia atau “Hot Flat and Crowded” Thomas L. Friedman dlm bingkai ekologi rentannya ibu Bumi, atau “Homo Deus” Harari dlm bingkai status kedaulatan manusia di masa depan.

Perasaan tenang, kagum, sedih, gembira, sakit hati, berharap, menggemuruh muncul bergantian hingga akhir buku. Bangga dan haru ketika membaca hebatnya keberanian KHD menjadi tameng hidup Bung Karno saat rapat Ikada. Kagum mengetahui bahwa Sosrokartono kakak R.A. Kartini yang fasih berbagai bahasa dunia itu “hanya” menjadi Kasek Peguruan Taman Siswa di Bandung. Kaseknya sekaliber itu, alangkah dahsyat para gurunya.

Diamond dan Friedman adalah penerima Hadiah Pulitzer, Nobel Lauretznya para penulis esai dan jelas saya berdoa dan sangat berharap YL mengikuti jejak mereka sebagai penerima Pulitzer pertama bangsa Indonesia.

Terimakasih dan Sukses untuk bung Yudi Latief

28 Oktober 2020
Ahmad Rizali-NU Circle

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.