Oleh; Giyai Aleks
Kesunyian itu bersambung bersama episode kesepian lainnya, setelah sekelebat badai menerpah pada titian kehidupan, seperti ombak memukul batu karang dari gelombang jahanam tirani, menghunjam bathin, menyeret relung, mengiring rasa, menyikam sukma, hingga terus dan akan mengitari palung waktu, selama lautan penindasan tiada teduh nan damai.
Setenggang luka dan duka sedang menjadi tontonan di tiap tayangan pada layar kehidupan, laksana angin yang tersipu menyibak dada nan usang sekejap. Air mata berlinang sesaat dan renyah seketika mencari ratapan lain, telingga terbuka hanya mengumpul bahan cerita dan menanti menguping sayatan lain dan hingga kesemuanya akan tersimpan rapih di almari khalbu yang rapuh dan khusuk.
Mengorek-korek rindu-rindu yang padat nan karam, pada insan-insan di persada koloni yang patah terkulai, tampak saling tergelangsar tiada ingin menyatu. Menyelinap entah kemana dan menyublim entah pada apa..? dalam kubanggan dada yang merah di atas kehidupan yang sudah memerah. Seperti gumpalan awan pekat yang di kejar sinar sang mentari tercecer, menyembunyikan separuh hati dan rasa dalam hidup yang lama terluka.
Mungkin, alam sedang menyatuhkan sepi di beberapa keping sunyi, sebelum memulai menulis rindu-rindu ini. Namun, angin sudah membawa sebuah kabar tentang semesta kehidupan, bahasanya; ‘hidup bukan suatu misteri tetapi takdir’ nan bersua lagi, menyatuhlah, melangkahlah dan memberontaklah, niscaya waktu yang tersingkap akan terungkap, jika kehidupan menyembunyikan kebenaran. Takdir akan jadi misteri, jikalau egoitas di pecahkan oleh rasa persatuan kebebanaran. Dan pada ujungnya, kebenaran akan mecari misteri bernama kebebasan yang hakiki.
Wasiat diam yang terluka itu mengisyaratkan, ada bangsa yang kalah, dengan sadar akan kekayaan alam tapi tak mampu mengarap. Ada bangsa yang lemah, dengan sadar akan luas tanah tapi tak mampu menghalau penjarah. Ada bangsa yang tertindas, dengan sadar akan terjajah tapi tak mampu melawan. Ada bangsa yang musnah, dengan sadar akan punah tapi tak mampu berjuang, itulah suatu diam yang terluka dalam takta kehidupan yang tertindih.
Bumi Koloni, 01/05/20