Cukup di Facebook Saja

Ilustrasi FB, sumber Tekno Kompas

Oleh; Ricky Tau

Mentari telah terbit di atas Tanah Tabi, dari jauh sinar keemasan memantul di pulau Enggros dan Tobati. Riko istirahat sejenak disela-sela olaraga paginya, dan sejenak memandang jauh Teluk Yotefa. Dalam hati dia berkata, tidak salah dia jauh-jauh datang dari kota Sorong untuk menempuh pendidikan disini. Keindahan alam Tanah Tabi selalu berkesan, siapapun yang telah menjamahnya takan pernah melupakan untuk selamanya.

Setibanya di kos seusai berolaga pagi, Riko mandi, berpakaian dan menuju ke kampusnya Uncen di Abepura. Kos-kosan yang disewanya berada di Kota Raja dalam, sehingga Riko harus bisa menyesuaikan antara jarak dan waktu ke kampus. Walaupun mengunakan angkutan tetapi kemungkinan terlambat itu selalu ada. Apalagi Jayapura bukan seperti beberapa tahun yang lalu. Menurut senior-seniornya yang telah terlebih dahulu datang kuliah di Jayapura, bahwa Jayapura sekarang jauh lebih padat, macet setiap pagi dan sore menjadi hal biasa.

Tepat seperti yang di kuatirkan, angkutannya sudah tidak bisa lagi melaju karena macet di depan Saga Mall Abepura. Riko terpaksa memutuskan untuk berjalan  kaki. Setelah membayar ongkos angkutan kota, di melangkahkan kaki, berlahan di atas trotoar jalan. Sesampainya di lampu merah, dia mendapati puluhan polisi bersenjata lengkap dengan mobil dalmas, hingga water canon, sedang menemani para demonstran. Riko berjalan di sebelah kiri jalan. Sesekali melirikan mata melihat puluhan massa aksi, yang sedang duduk tertip dibawah panas mentari sambil menjawab seruan seorang orator yang berdiri di atas mobil.

Riko melaju terus. Walaupun dalam hati dia simpati dengan aksi tersebut tetapi terlebih dahulu dia harus pergi ke kampus. Karena informasi dari Joni ketua angkatan  bahwa hari ini akan ada kuliah dengan seorang dosen senior sehingga mewajibkan mereka semua untuk hadir pada jam kuliah tersebut. Setibanya di kampus FKIP, dia mendapati di ruang kelasnya hanya ada rekan-rekannya mahasiswa dan mahasiswi. Joni ketua angkatan juga lagi duduk bersama mereka.

“Pagi Tao, dosen masuk kah trada ni? Tadi sa buru-buru kesini pikir sudah terlambat!”

Bacaan Lainnya

“Tao.. pagi juga. Tadi bapa dosen dia sudah ada di kampus, tapi karena informasi demo kemarin sudah tersebar dan heboh, jadi pace dia bilang tidak kuliah. Nanti dia kasi informasi lagi”

“Bagus sudah kalau begitu, saya balik ke merpati ikut demo dulu!”

“Tao..tra usah sudah mari kita duduk baru lihat-lihat perkembangan di facebook saja. Nanti Tao pergi baru ada bentrokan dengan polisi lagi. Tao dapat tangkap nanti bikin rugi.”

“Ha..ha..ha.. bentrok itu yang bagus. Abepura berdarah terulang kembali to!”

“Hahaha Tao ko stop sudah. Oke jalan hati-hati!”

“Oke.. Tao. Nanti ko lihat saja di sa facebook, sa kasi naik trus ko bantu sebarkan saja. Supaya kita pu orang tua dong di kampung-kampung tau, kalau di kota ini perlawanan Papua Merdeka masih ada.”

“Oke siap..sa akan laksanakan Tao.”

Riko bergerak keluar ruang kelas. Kali ini kakinya melangkah dengan cepat, keluar kelas, jalan mengikuti koridor antara kelas, melaju menuju gapura Uncen Abe, selanjutnya melangkah di atas trotoar menuju Merpati.

Riko melihat, polisi semakin banyak. Ditambah lagi kepadatan kendaraan memenuhi sepanjang perjalanannya itu. Sesampainya disana, Riko menyaksikan puluhan mahasiswa dan masyarakat itu tidak bertambah secara jumlah, tetapi sebaliknya polisi maupun inlejen yang terlihat sangat banyak. Para pedagang yang berada di Merpati terlihat menikmati orasi-orasi dari massa aksi, tidak ada sindiran, dan diskriminasi terhadap para pedagang yang non Papua. Walaupun Isu dan tuntutan demonstrasi adalah “penentuan nasib sendiri.” Satu mekanisme hukum internasional di dalam perundang-undang hak asasi manusia internasioanal.

Riko yang memakai kemeja batik coklat dan celana kain hitam sepatu hitam, berlahan-lahan masuk dalam tali komando dan duduk di deretan belakang massa aksi. Matahari pagi menjelang siang itu cukup membakar kulit. Tetapi semangat Riko mengalahkan teriknya mentari di hari Jumat  7 April 2017. Sebagai mahasiswa yang baru menginjak semester empat di FKIP Uncen, Jurusan Sastra Ingris, Riko begitu kritis sejak awal kuliah, sehingga ketika mendapati selebaran informasi demonstrasi, Riko selalu menyempatkan diri.

Entah apa yang menndorongnya tetapi Riko merasa tuntutan pada selebaran itu sangat masuk akal dengan kondisi Papua hari ini. Apalagi di pertegas dengan orasi-orasi politik ini, walaupun dengan kritis dan tajam kepada pemerintah, tetap Riko tidak takut berada di kerumunan tersebut. Polisi terlihat datang bernegosiasi dengan para pemimpin demonstrasi. Moment tersebut diabadikan oleh Riko dengan Hanphone kameranya, lalu di unggah ke halaman facebooknya. Riko memberikan keterangan di foto tersebut.

“Hari ini kalian boleh tutupi kebenaran, tetapi ketika saatnya tiba, kalian tidak akan membendung kekuatan rakyat, karena mereka telah sadar untuk melawan.”

“Selanjutnya dia menjelaskan bahwa aksi demonstrasi ini, mendesak penentuan nasib sendiri di Merpati Abepura dihadang polisi.”

Kawannya Joni, yang lagi online membagikan foto tersebut ke halaman facebooknya, dengan memberikan keterangannya sendiri.

“Orang Papua telah cape di tindas oleh negara, orang Papua sudah saatnya merdeka”. Beberapa saat banyak teman-teman facebooknya mulai mebagikan, banyaknya juga yang like dan memberikan keterangan sendiri. Dalam kolom komentar banyak kawannya memberikan dukungan. Hampir semua adalah kawan-kawannya yang tadi sedang duduk dalam ruang kelas.

”Berjuanglah kawan”, ”Usir penjajah”, “Pulangkan amber”, “Lawan” dan lain sebagainya.

Riko yang berada ditengah massa aksi, tidak lagi fokus dengan suara orator-orator aksi demonstrasi. Dia justru sibuk membaca setiap komentar pada statusnya. Di berkesimpulan bahwa ternyata banyak teman-temannya mendukung “penentuan nasib sendiri” tetapi tidak berani mengambil sikap politik terbuka seperti dia. Buktinya statusnya telah dibagikan oleh kawan-kawanya. Riko sebagai mahasiswa baru, sekaligus pendatang di kota Jayapura, merasa apa yang dia lakukan, hanya sebagai simpatisan dalam demonstrasi, adalah hal kecil. Dia sadar bahwa komentar kawan-kawannya untuk menjadi “pejuang”, atau berkomentar semangat berjuang adalah satu pernyataan yang belum tepat untuk dirinya.

Dia sadar bahwa, dia hanya seorang simpatisan. Dia tidak tau bagaimana berjuang itu sebenarnya. Dia hanya menyempatkan waktu kosong untuk mengikuti demosntrasi.  Bagi Riko, jelas-jelas demosntrasi yang dia ikuti hanyalah demonstrasi bukan berjuang seperti komentar kawan-kawannya. Riko merasa, demonstrasi itu sebenarnya adalah akumulasi berbagai usaha sistematis organisasi-organisasi perlawanan. Riko berfikir, ada yang salah dengan kata berjuang ini. Menurutnya kalau berjuang ada upaya sitematis yang telah dilakukan. Baik mulai dari tingkat diskusi ide-ide, membaca perkembangan sosial kemasyarakat, membaca perkembangan politik papua di dalam dan luar negri, bersolidaritas atau berorganisasi, mengorbankan berbagai kepentingan diri, mengorbankan harapan keluarga, kebahagian diri, tidak punya gaji, selalu ada kemungkinan ditangkap dan dipenjarah, dan berbagai upaya lainnya. Itulah makna perjuangan yang dia dapati dari seorang Filep Karma, oleh Riko.

Bagi Riko dia bukan sedang berjuang dia hanya mendapat undangan dalam selebaran itu. Sebagai seorang anak Papua yang lahir dari kandungan perempuan Papua, dan di besarkan di kampung kecil. Riko sadar bahwa selebaran itu adalah undangan untuk dia pribadi. Kalau tidak ikut maka dia akan mendustai kebenaran tentang realita dirinya dan masyarakatnya. Sehingga selain kuliah sebagai hal utamanya untuk keluarganya, dia menyempatkan diri terlibat dalam aktifitas-akstifas demonstrasi. Baginya itu baik untuk mengasah keberanian dia sekaligus kepekaannya terhadap realita rakyat Papua hari ini. Supaya kelak ketika bekerja, dia bisa lebih berpihak.

Dalam hati riko berfikir untuk menjelaskan makna perjuangan ini kepada kawan-kawannya. Tetap riko bukan seorang yang vokal berbicara. Riko tergolong sebagai seorang pemuda yang pendiam. Untuk berargumen tentang persoalan-persoalan tertentu, Riko memilih untuk hanya sebagai pendengar setia. Menurutnya, sudahlah, biarkan mungkin mereka hanya memberi semangat kepadanya. Untuk menghormati kawan-kawannya itu Riko membalas kometar kawan-kawannya itu dengan kata.

“Terimakasih kawan-kawan ku, putra-putri terbaik Papua, mari kita berjuang bersama-sama. Terimakasih untuk perjuangan kawan-kawan telah membantu bagikan foto demonstrasi hari ini. Hidup mahasiswa. Hidup rakyat Papua.”

Riko berkomentar polos kepada mereka. Karena dia sadar bahwa apa yang mereka lakukan, sebenarnya hal yang biasa mereka lakukan. Yaitu memilih untuk tidak terlibat secara aktif sebagai aktivis gerakan di kota Jayapura. Mereka tau bahwa tugas mereka adalah apa yang telah di amanatkan orang tua yaitu kuliah, setelahnya, kerja dan membantu ekonomi keluarga. Sehingga subangsi mereka yang paling besar dalam perjuangan self determination hanya di dunia maya. Sebab di dunia maya itu segalanya lebih mudah dan gampang, yaitu hanya membagikan informasi. Walaupun Merdeka itu penting tetapi sebaiknya hanya di dunia maya saja. Di alam nyata kita tetap terjajah. Sebab untuk merdeka telah ada yang berjuang.

Walau hanya mengikuti demonstrasi di waktu tidak ada jam kuliah. Riko merasa masih lebih baik dari sikap kawan sekelasnya itu.

***

05.48 WIT, 11 Juni 2017

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.