Meetawa, dari bahan kontak sampai alat barter (2)

“Ketika bermigrasi atau berdagang ke wilayah selatan dan utara, orang-orang Mee pada masa lalu membawa serta meetawa. Rokok tradisional ini dijadikan bahan kontak dan alat transaksi”
Orang Meepago pada masa lalu menanam tembakau. Mereka jadikan meetawa sebagai pelepas lelah, bahan kontak dan alat barter.
Penulis buku “Manusia Mee di Papua” Titus C. Pekey mengatakan, orang Meepago secara turun-temurun memahami cara bercocok tanam. Mereka merokok karena mereka sendiri menanamnya di kebun.
“Kalau saya menanam tembakau, maka saya merokok itu tidak ada salahnya. Karena saya bisa tanam, saya mengambil dari kebun sendiri dan saya bisa merokok,” kata Pekey.
Untuk menambah aroma dan rasa, maka tembakau yang sudah siap pakai harus dijemur di bawah sinar matahari. Dengan begitu khasiatnya semakin terasa. Selain cara menanam tembakau yang diwariskan turun-temurun, rokok tradisional itu juga mendatangkan inspirasi dan imajinasi.
“Ini bukan karena saya orang Mee lalu saya bersaksi membandingkan dengan rokok lain, tidak, tetapi apa yang dihayati oleh orang Mee ketika mereka merokok itu inspirasinya sangat tinggi,” katanya.
Merokok dapat mendatangkan inspirasi, lanjutnya, ketika semua pekerjaan selesai. Orang-orang tua pun sudah mengetahui waktu memulai dan menyelesaikan waktu kerjanya. Oleh karena itu, mereka dapat merokok dengan cara tradisional ketika semua pekerjaan selesai.
Namun demikian, waktu merokok dilakukan sekitar pukul 6 pagi sebelum pergi bekerja di kebun atau pada pukul 12 siang sebelum bekerja. Kadang-kadang merokok sebelum jam kerja. Kalau pagi hari mereka merokok dari rumah. Saat ke kebun mereka membawa makanan dan menyimpan rokok di dalam noken.
Ketika orang tua-tua bekerja di kebun, mereka sudah menentukan waktunya untuk merokok. Mereka bahkan meninggalkan waktu kerjanya untuk merokok dari tembakau, yang sudah digulungkan dengan daun pandan itu.
“Cara orang tua dulu merokok itu berbeda. Tarik dengan penuh penghayatan. Dalam arti benar-benar mereka isap dan mengeluarkan (asapnya) juga sangat teratur. Jadi, ketika mereka tarik tidak seperti merokok pada lazimnya. Mereka merokok dengan menarik kedua pipi juga termasuk ke dalamnya,” katanya.
Pekey mengatakan, asap rook tembakau yang mereka tarik lalu keluarkan itu juga semacam ada inspirasi. Atau mungkin mereka mengungkapkan perasaan senang, sejuk, teduh, karena memang tadinya mereka kerja penuh.
“Jadi mereka imbangi dengan pekerjaan. Meskipun keringat sudah keluar banyak, tetapi mereka imbangi dengan pekerjaan. Menariknya bahwa mereka yang merokok itu jarang sekali terjangkit batuk, mereka juga awet, jarang sakit, karena rokok,” katanya.
Kehebatan orang tua-tua Mee di Meuwo adalah bisa membedakan kualitas rokok dari asap dan aromanya. Namun, zaman sekarang banyak rokok yang beredar, sehingga sulit dibedakan Meetawa yang berkualitas. Meetawa sudah tidak dapat dibedakan lagi. Pada zaman dahulu orang tua-tua merokok sesuai aktivitas. Mereka bahkan mengisap rokok dengan mata tertutup jika gulungannya besar. Uniknya jika apinya cepat padam, maka dapat dipastikan bahwa rokok tersebut berkualitas jelek.
“Kalau rokoknya menyala itu kualitas rokok berbeda dengan saat rokok dinyalakan, diisap lalu terpadamkan sendiri. Itu kualitas rokok yang bagus. Kalau rokok bagus. Api dari rokok itu mati sendiri, jadi bukan langsung pasang kasih mati,” katanya.
Bahan kontak dan alat transaksi Menurut Titus Pekey, pada masa lalu orang-orang tua menjadikan meetawa sebagai bahan kontak. Ketika mereka bermigrasi ke wilayah selatan (Meewodide), seperti Kokonao di Mimika dan berdagang atau mencari kulit bia, mereka membawa meetawa sebagai bahan kontak.
“Begitu pun ketika mereka ke arah timur wilayah Meuwodide Amungme Migani Timika, selain mereka mencari garam asli (mee diga) mereka menjadikan rokok sebagai bahan kontak.Mereka barter dengan rokok dan mereka juga memberikan barang mereka,” katanya.
Hal ini menunjukkan bahwa rokok ada bersama dengan orang Mee, sehingga terjadi transaski seperti barter dengan rokok.
“Kalau di internal suku Mee juga ada transasksi pertukaran meetawa, suku Mee dengan suku Migani, suku Mee dengan Amungme, suku Mee dengan Mimika. Kalau sekarang orang bilang Kamoro itu sebutan setelah ada Freeport, lalu mereka menyebut Kamoro. Sebenarnya mereka itu orang Mimika,” katanya.
Orang-orang Mimika pada zaman dahulu seringkali menunggu meetawa yang dibawakan orang tua-tua dari Meeuwo. Ketika orang Meeuwo membawa meetawa, maka orang Mimika memberikan kulit bia. Orang-orang tua Meeuwo juga menukar rokok dengan garam batu dari orang-orang Migani.
“Begitu juga sebaliknya orang orang tua Mee memberikan meetawa kepada suku Migani Amungme, Damal, Wamena, Mimika Lalu Pesisir Utara, Teluk Saireri,Cenderawasih.dan mereka juga memberikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang orang tua dari Meuwodide kala itu,” katanya.
Di kalangan internal suku Mee juga rokok menjadi bahan kontak. Ketika orang Mee ke Mimika, mereka pun berbagi rokoknya. Rokok menjadi perekat antar suku Mee dengan suku-seuku di sekitarnya, bahkan hingga di wilayah pesisir utara dan selatan Papua. Meskipun komunikasi mereka saat itu sulit karena harus menggunakan bahasa isyarat, rokok menjadi sarana komunikasi di antara orang-orang Mee dan suku-suku lainnya.
“Rokok juga mempunyai daya pikat tersendiri. Itu rokok asli,” katanya. (Bersambung)

 

Reporter :  Hengky Yeimo

Editor: Timoteus Marten

Artikel ini telah tayang di Jubi.CO.ID -LINK Sumber- https://jubi.co.id/meetawa-dari-bahan-kontak-sampai-alat-barter-2/

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.