Budayawan Butet Kartaredjasa seakan menghentak kesadaran penonton, saat dia hadir sebelum tirai panggung pertunjukan terbuka. Dengan gayanya yang kocak kala bertutur, Butet menyadarkan kita betapa pentingnya timur Indonesia. “Timur adalah kunci,” kata Butet.
Lalu, Butet mengatakan, dalam sejarah perjalanan bangsa, semua presiden republik berasal dari timur Jakarta. “Bung Karno mengidentifikasi sebagai Putera Sang Fajar, dari timurnya Jakarta. Pak Harto juga. Pak Habibie Sulawesi, timurnya Jakarta. Gus Dur, Jombang. Megawati kelahiran Yogya, timur. (Susilo Bambang Yudhoyono dari) Pacitan. (Jokowi) wong Solo, timurnya Jakarta,” kata Butet. Seraya bercanda, Butet mengatakan, jangan-jangan ada Satria Piningit di timurnya Jakarta.
Tak lama, tirai panggung terbuka. Terdapat setting khas daerah Papua di atas panggung. Lalu, muncul sejumlah penari yang atraktif dan hentakan musik menggebu-gebu. Pertunjukan yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 18 Maret 2015 malam itu pun dimulai.
Gong…
Jakarta vs Papua
Tabib dari Timur adalah lakon teater kisah seorang tabib kocak dari Papua. Pertunjukan komedi satir ini dibintangi seorang comic atau pegiat stand up comedy, Arie Kriting. Pemain pendukung, antara lain Akbar, Marwoto, Trio Guyonan Ala Mataram (Gareng Rakasiwi, Joned, Wisben Antoro), dan penyanyi Audrey Papilaya.
Adu konyol bergaya satir antara komedian muda dan tua disajikan di ataas panggung. Arie dan Akbar saling beradu humor dengan Trio Guyonan Ala Mataram dan Marwoto. Arie dan Akbar mewakili wajah komedian masa kini. Sedangkan Trio Guyonan Ala Mataram dan Marwoto, mewakili generasi jauh sebelum mereka muncul.
Mereka beradu argumen lucu soal asal daerah masing-masing. Penonton diajak tertawa, sekaligus ditampar pada realita Indonesia yang “timpang”. Trio Guyonan Ala Mataram datang ke Papua. Mereka bertemu Arie Kriting dan dua kawannya.
Tawa penonton pecah saat mereka membandingkan keadaan sekolah di Jakarta dan Papua. Trio Guyonan Ala Mataraman mengatakan, kalau di Jakarta sedang tren sekolah alam. “Dari dulu kita di sini sekolah alam. Dari dulu sampai sekarang, kita sekolah di luar terus,” cerocos Arie, disambut tawa penonton.
Sebenarnya, cerocos Arie tadi menyinggung kesenjangan pendidikan di Jakarta dan Papua. Maknanya sudah bisa diterka: sekolah di Papua tak ada ruang belajar. Sindiran itu juga terlihat di-setting plank bertuliskan “Sekolah Terbuka”.
Kemudian, satu sindiran lain yang terlontar penuh canda adalah, saat pacar Aire, Audrey Papilaya, disukai oleh Gareng salah satu kelompok Trio Guyonan Ala Mataraman. “Sumber daya alam kalian ambil, sekarang pacarku mau kau ambil juga,” celetuk Arie, lagi-lagi disambut tawa penonton.
Singkat cerita, kekasih Arie dan keluarganya pindah ke Jakarta. Lalu, Arie diajak kawannya yang sudah lama merantau di Jakarta, Akbar. Sebelum mereka pergi ke Jakarta, terjadi insiden yang menyebabkan Arie dan Akbar dipenjara oleh aparat. “Kamu mengibarkan bendera merah putih setengah tiang. Kamu anggota OPM!” kata salah seorang aparat yang lagi-lagi diperankan oleh Trio Guyonan Ala Mataraman.
Peran Arie sebagai tabib terkuak saat dia mengeluarkan batu sakti warisan leluhurnya di kantor aparat yang menangkapnya. Batu bulat berwarna merah itu, diceritakan memiliki kekuatan yang dahsyat untuk menyembuhkan penyakit dan menyelesaikan segala masalah.
Sindiran sosial dan politik.
Orang kota (Jakarta) dan orang Papua, terlihat berbeda saat setting berubah menjadi taman Monas dengan tugu yang bengkok. Orang kota, terlihat lebih “modern”, penuh gaya, hedon, energik, dan mewah. Arie dan Akbar menggelar jualan obat-obatan alternatif di taman Monas “bengkok”. Tabib dari Timur seakan-akan ingin menggambarkan karakteristik orang kota yang hedonis, liberal, dan hanya memikirkan uang.
Di babak ini, ada sisipan situasi politik ibu kota yang sedang panas. Ada sekelompok perempuan cantik yang membawa kertas bertuliskan “Save KPK” dan “Save Ahok”. Kemudian, tak lama, muncul tukang es krim dengan gerobak bertuliskan “Es Krim H. Tulung”.
Ketimpangan pembangunan Jakarta dan Papua juga dilontarkan saat dialog Arie dan Akbar. Akbar mengatakan, kalau di Jakarta ada car free day, di mana mobil tak boleh lewat dalam sehari. “Hebat kan, Jakarta?” kata Akbar. Tapi, dengan polosnya Arie membalas,“Di sana malah tak pernah ada mobil lewat. Hebat kan?”
Nasib Arie perlahan berubah menjadi terkenal dan kaya, karena batu sakti yang dia bawa bisa menyelesaikan segala persoalan. Dia pun “dipelihara” oleh tante cantik, istri salah satu pejabat DPRD DKI Jakarta, Marwoto. Karakter pejabat ini mengingatkan penonton pada Haji Lulung, dengan gaya rambut, gestur, dan pakaiannya. Sosok Haji Lulung mendadak populer saat dirinya menjadi bahan bully di Twitter, setelah salah mengeja UPS menjadi USB beberapa waktu lalu. Momen ini ditangkap secara cerdas oleh tim kreatif Tabib dari Timur sebagai bahan lelucon yang segar.
Ketika “dirawat” oleh Marwoto dan istrinya, kehidupan Arie berubah. Apalagi dia menunjukan batu sakti yang, katanya, bisa mengatasi segala masalah, termasuk masalah kebahagiaan Marwoto dan istrinya. Arie pun akhirnya bertemu kekasihnya, Audrey. Tapi, kebahagian pertemuan mereka terganggu dengan kehadiran istri Marwoto. Istri Marwoto penasaran dengan kekuatan Arie. Dan, Arie pun menceritakan kalau yang membuatnya sakti adalah sebuah batu. Saat istri Marwoto memegang batu sakti itu, dia tak kuat menahan kesaktian batu tadi.
Klimaks terjadi. Istri Marwoto menuduh Arie ingin memperkosa dirinya. Marwoto yang percaya cerita istrinya, menghukum Arie. Audrey datang dan menangis. “Ingat, persatuan dan kesatuan harus berada di atas keadilan!” kata Arie mengakhiri kisah si juru sembuh dari Papua.
Ratu Adil
Satria Piningit atau Ratu Adil sudah menjadi bagian dari mitos yang tak pernah mati dalam alam pikiran manusia Indonesia. Ramalan akan datangnya Ratu Adil yang membawa Nusantara ke masa keemasan disampaikan oleh Prabu Jayabaya ratusan tahun silam. Ramalan Jayabaya masih dipercaya hingga saat ini.
Dan, sesungguhnya, lakon Tabib dari Timur ingin menafsirkan sebuah harapan rakyat pada sosok pemimpin yang adil. Kembali ke pernyataan Butet soal pemimpin negeri ini yang selalu berasal dari timur Jakarta, Tabib dari Timur Butet juga ingin menyampaikan kalau Ratu Adil bisa saja berasal dari timur Indonesia, dalam hal ini Papua.
Dalam lakon ini, Butet dan tim kreatif menggambarkan sosok Arie si tabib dari Papua, sebagai orang yang mirip Ratu Adil bagi pusat: Jakarta. Di sini, Butet dan tim kreatif pertunjukan ini ingin menjungkirbalikan fakta yang ada di negeri ini. Ratu Adil di lakon ini diwujudkan dengan karakter tabib. Butet mengatakan, tabib adalah juru sembuh. Dia merindukan kesembuhan atas luka Indonesia. “…Yang dibutuhkan Indonesia hari ini adalah tabib yang diharapkan bisa menyembuhkan luka hati…” tulis Butet dalam artikel “Aku Papua: Seandainya Aku Orang Jawa” di tabloid pertunjukan Tabib dari Timur, Indonesia Kaya. Dan, mungkin hanya di lakon ini, Jakarta “dikendalikan” oleh tokoh dari timur Indonesia.
Tim kreatif di balik pertunjukan lucu namun satir ini adalah budayawan dan penulis yang namanya tak asing lagi bagi penikmat seni pertunjukan dan dunia penulisan. Mereka adalah Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Agus Noor. Agus Noor bertindak sebagai sutradara. Mereka berkolaborasi dengan koreografer asal Papua, Jecko Siompo dan Jeckos Dance Animal Pop Family. Penata musik pertunjukan ini adalah kelompok Jakarta Street Music.
Semua presiden republik yang berasal dari timur Jakarta, mulai dari Soekarno (Blitar), Soeharto (Yogyakarta), Bacharuddin Jusuf Habibie (Makassar), Abdurrahman Wahid (Jombang), Megawati Soekanoputri (Yogyakarta), Susilo Bambang Yudhoyono (Pacitan), dan Joko Widodo (Solo), nyatanya tak kunjung menjelma jadi Ratu Adil yang mampu menjawab segala persoalan bangsa. “Bisa jadi Ratu Adil yang mewujud sebagai tabib yang akan menyelamatkan Indonesia itu datangnya justru dari Papua,” kata Butet [].
Berdasarkan pertunjukan Tabib Dari Timur di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta 18-19 Maret 2015.
Sebelumnya tulisan ini telah tanya di fandyhutari dot com
Berikan Komentar Anda