Sebagai pendatang di Papua, dari jauh saya mengikuti dan mencermati dimanika keberlanjutan Otsus di Papua. Ada beberapa catatan penting yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini.
Pertama, soal keberlanjutan Otsus. Para pemimpin negara Indonesia, dari Presiden dan para pembantunya, militernya, para pemimpin partai politik, para tokoh, telah memiliki kata sepakat untuk satu hal yang harus terjadi di Papua: Otsus harus tetap dilanjutkan, dengan membungkam suara orang Papua yang tolak Otsus. Itulah mengapa suara Petisi Rakyat Papua (PRP) yang didalamnya 112 organisasi dan 714.066 orang yang menolak Otsus itu tidak didengar. Bahkan Victor Yeimo, juru bicara PRP, justru ditangkap hingga saat ini.
Kedua, soal dinamika yang terjadi di Jakarta tentang keberlanjutan Otsus. Ada kelompok yang menjadi sumur yang memproduksi kajian dan data tentang Papua, dan mungkin telah menjadi otak di balik semua hal yang terjadi akhir-akhir ini. Dua kelompok yang ingin saya sebutkan adalah, CSIS dibawah pimpinan Philip Fermonte dan Pokja Papua UGM pimpinan Bambang Purwoko. Selain dua kelompok dengan latar belakang intelektual, ada kelompok lain yang bermain, yakni BIN.
CSIS berkontribusi juga dalam lahirnya UU No 21 tahun 2001 tentang Otsus. Untuk keberlanjutan Otsus mereka juga berjasa dalam banyak hal. Pokja Papua UGM telah menjadi basis yang sejak lima-eman tahun yang lalu bekerja demi ‘masa depan Papua’, melibatkan akademisi, para tokoh terkemuka, termasuk beberapa mahasiswa (kini ada yang sudah sarjana, ada yang belum) orang asli Papua yang dilatih, direkrut, lalu disebarkan lagi ke beberapa posisi yang penting: gerakan/organisasi kemerdekaan Papua, beberapa lembaga, dan seterusnya.
Kita sebut mereka ini “Aktor Inti” yang berhasil memastikan keberlanjutan Otsus. Kalaupun dalam proses ini ada orang asli Papua, percayalah, mereka hanyalah bidak catur yang dimainkan. Tidak lebih.
Ketiga, jadi kalau dicermati, ada pihak-pihak, baik akademisi dan BIN, dan dengan bantuan anggaran dan perhatian dari negera melalui berbagai institusinya, telah merancang dan meloloskan rencana keberlanjutan Otsus. Rencana ini, tidak main-main, terlihat telah dipersiapkan 6-5 tahun yang lalu dan terus berjalan untuk target-target selanjutnya. Saya sebut “Rencana Besar Jakarta untuk Papua” bagi semua perencanaan para Aktor Inti tadi.
Keempat, rupanya Gubernur Lukas Enembe dan Klemen Tinal dilihat sebagai dua pilar yang mampu menjadi penentang Para Aktor Inti dengan Rencana Besar Jakarta untuk Papua. Jadi, secara umum, telah dipetakan bahwa Provinsi Papua lebih berbahaya daripada Papua Barat.
Dan orang Papua dari gunung lebih berbahaya daripada orang Papua pesisir pantai. Karena itulah, ibarat catur, perlu ada prajurit yang ditempatkan di garis depan untuk mengeksekusi. Untuk posisi inilah, FORSEMI Papua sudah terbentuk: isinya para intelektual orang asli Papua, yang, hampir semua adalah orang asli Papua dari provinsi Papua Barat dan orang asli Papua dari pesisir pantai.
Itulah mengapa mayoritas tokoh yang tampil dalam proses keberlanjutan Otsus adalah OAP pesisir dan Papua Barat. Sehingga dikotomi “gunung” versus “pantai” bukanlah muncul tanpa desain. Hal ini bagian dari “Rencana Besar Jakarta untuk Papua” yang dirancang para “Aktor Inti” tadi.
Nah, seperti kalian sendiri bisa amati saat ini, jadilah terlihat perang terbuka antara orang Papua gunung vs orang Papua pantai. Perpecahan orang Papua di depan mata. Itulah yang diinginkan Aktor Inti, yang, ke depan akan digunakan untuk menyukseskan rencana selanjutnya: pemilihan gubernur dan wakil gubernur Papua ke depan.
Kelima, sebagaimana biasanya untuk rencana-rencana besar, selain Plan A, perlu ada Plan B. Gubernur, DPRP, MRP harus dibuat ompong supaya tidak bisa banyak bacot. Kongres dan pertemuan LMA pusat-daerah di Papua yang terjadi pra pengesahan keberlanjutan Otsus sebagai pembanding Dewan Adat Papua yang sudah menggagas PRP, tetapi karena PRP menguat maka perlu ada penangkapan Jubir PRP, Victor Yeimo.
Sebelumnya, soal ‘kehilangan uang miliaran rupiah dari PRP’ juga berhasil mengombangambingkan oknum-oknum dalam PRP yang datang dari latar belakang banyak gerakan. Saya amati ini permainan juga.
Lukas Enembe dan Klemen Tinal yang harus sakit bersamaan sehingga Klemen Tinal meninggal dan Gubernur Papua hingga kini masih sakit. Dance Flassy harus masuk dan berusaha mencari posisi tapi gagal, sehingga harus ada yang masuk di posisi wakil gubernur setelah Wagub Tinal meninggal. Nah, siapa wagub selanjutnya? Fredi Numberi? Paulus Paterpauw? Yang pasti dia mungkin akan datang dari kalangan FORSEMI Papua. Bila tidak? Kita tunggu Plan B bekerja. Ini semua permainan Aktor Inti lewat ‘prajurit-prajuritnya’ di garis depan.
Keenam, soal mengapa orang Papua yang ‘nama naik’ dalam proses keberlanjutan Otsus ini lebih banyak dari pantai dan orang gunung lebih banyak jadi penentangnya. Itu sudah menjadi bagian dari Rencana Besar Jakarta untuk Papua. Oleh karena itu, ke depan, saya prediksi dikotomi gunung-pantai akan semakin menguat, dan memuncak pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur provinsi Papua mendatang. Fredi Numberi, Paulus Waterpauw, dan anggota lain dari FORSEMI Papua akan menguat. Kekuatan ini akan sengaja diperhadapkan dengan Lukas Enembe dan ‘barisan gunung’nya yang sudah kuat. Terjadilah papua hantam papua,kalian sendiri akan diadu seperti ayam yang diadu di arena sabung ayam, tepat seperti ‘Rencana Besar Jakarta untuk Papua’.
Ketujuh, soal masa depan. Isu Papua merdeka direncanakan untuk dilokalisir menjadi isu orang Papua gunung saja. Kelahiran FORSEMI dan sepak terjangnya yang melibatkan kalangan milenial Papua yang cerdas, sudah mengarah kesana. ‘Kekuasaan Gunung’ di Papua harus dihancurkan. Bila tidak dengan merebut kedudukan gubernur dan wakil gubernur Papua, maka pilihan lainnya adalah percepatan pemekaran di Papua menjadi 5-7 provinsi. Pemecahan Papua model ini akan mengurai terpusatnya kekuasaan dan kekuatan yang selama ini dinilai ‘berseberangan lebih banyak’ dengan Jakarta. Hal-hal ini juga menjadi bagian dari Rencana Besar Jakarta untuk Papua yang dirancang para Aktor Inti. Bila hal ini terjadi, diplomasi kemerdekaan Papua dengan sendirinya akan keok oleh karena basisnya di dalam negeri telah dipecah belah dan ditaklukkan. Susah membangun isu nasional Papua di tengah dikotomi ‘gunung’ vs ‘pantai’, 5-7 provinsi yang berbeda pendapat, di tengah aktivitas ekspansi kapitalisme global bagi pengerukan kekayaan SDA Papua, dan seterusnya. Akhirnya perhatian akan tergerus kepada persoalan-persoalan sektoral yang tak kunjung usai dan menghancurkan gerakan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Apakah ini strategi baru para Aktor Inti guna mematahkan perjuangan politik Papua? Kalian orang Papua, katanya orang dengan akalbudi dan marifat luhur. Kalian bisa amati sendiri.
Soal masa depan. Pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua adalah catatan buruk negara. Proses pergerakan rakyat Papua untuk menentukan nasib politiknya sendiri adalah luka bernanah di tubuh negara Indonesia. Dua hal ini akan jadi usaha serius Aktor Inti melalui Rencana Besar Jakarta untuk Papua. Mungkin FORSEMI Papua akan menjadi eksekutor lapangan dalam hal penyelesaian kasus-kasus HAM menurut rencana Aktor Inti alias Jakarta. Akan ada semacam ‘Dialog Nasional’ yang dalam implementasinya sangat jauh dari semangat yang digagas pastor Alm. Dr. Neles Tebay. LIPI mungkin akan jadi aktornya pula bersama FORSEMI. Sehingga, akan terjadi dialog nasional Papua, yang menghasilkan kesepakatan tertentu, yang menjadi final bagi ditutup rapatnya isu ‘Papua merdeka’ dan “pelanggaran HAM di Papua’ lagi di Tanah Papua. Sebagai tahapan, setelah kursi gubernur dan wakil gubernur diamankan oleh ‘para prajurit’nya Aktor Inti tadi, dan atau terjadi pemekaran provinsi, mungkin akan ada dialog nasional perempuan Papua, dialog nasional pemuda Papua, dialog nasional masyarakat adat Papua, dialog nasional LSM-NGO se Papua, dan seterusnya, dibawah arahan bidak-bidak Aktor Inti tadi di dalam masa Otsus lanjutan ini.
Masukan bagi Organ Perjuangan Papua Merdeka
Pertama, bersihkan keanggotaan dalam organisasi-organisasi pergerakan perjuangankalian untuk kemerdekaan Papua dari orang-orang ‘tidak jelas’ yang kalian masukkan tidak melalui tahapan yang seharusnya. Terutama bagi mereka anggota kalian yang pernah terlibat dengan organisasi-organisasi yang terlihat sipil dan intelektual seperti CSIS dan Pokja Papua UGM, perlu ditanyai sejauh mana hubungannya. Perlu ada prosedur seleksi yang ketat bagi anggota aktif organisasi perjuangan. Dan bagi dua organisasi yang eksis dan masih sulit ditembus Aktor Inti, yakni KNPB dan AMP. Termasuk ULMWP dan kelompok pengelola PRP Pusat: Organisasimu mungkin sudah disusupi. Kenali kawan-kawanmu, cari tahu latarbelakang pendidikan, pelatihan, pekerjaan, dan keterlibatannya dengan semua. Masukan kedua ini janganlah dipandang sebagai provokasi untuk memecahbelah kalian. Melainkan saran untuk organisasi pergerakan kalian lebih maju tanpa musuh dalam selimut sehingga ke depan stratakmu aman dan kerja-kerja organisasimu sukses, terutama di masa depan nanti.
Kedua, bagi para aktivis perjuangan dari daerah pesisir dan Papua Barat, kalian sedang menjadi pemegang kunci persatuan dan kesatuan bagi semua sebagai Papua. Mungkin target yang paling mendesak hari ini adalah, melawan dikotomi ‘gunung vs pantai’ yang diprediksi akan menguat hingga pemilihan gubernur-wakil gubernur Papua mendatang. Kalian harus tetap jadi satu sebagai Papua. Kalian bisa ka?
Ketiga, mungkin ini saatnya kalian menanggalkan stratak organisasi dan bergabung dalam dua isu bersama yang bisa kalian ubah jadi momok yang menggagalkan Rencana Besar Jakarta Bagi Papua, yakni Mogok Sipil Nasional (MSN) dan Perang Revolusi. Bagaimana kalian semua di dalam organisasi-organisasi perjuangan saat ini mau dengan rendah hati mengambil bagiannya dalam ‘Dua Rencana Besar Bangsa Papua’ ini?
Keempat, waktu terus berlalu, situasi dengan cepat semakin berubah. Mengapa PON Papua ngotot ingin dibuat di Papua di tengah pandemi Covid? Bagaimana dengan ekskalasi politik di Papua setelah misalnya Paulus Waterpauw atau Fredi Numberi jadi Gubernur Papua? Waktu yang terus berlalu sepertinya semakin kuat mengajak kalian dan gerakan untuk mengambil sikap.
Sekianlah catatan ini untuk saat ini. Sebagai pendatang di Papua yang makan dan minum di atas tanah airmu, maafkan saya karena tidak bisa berbuat lebih.
Salam dari saya,
Willy Sardi,
seorang pendatang, guru di Jayapura.