Launching Buku “Damai Papua Yang Tercabik”, Seri Memoria Passionis No.39
Di tahun 2020, dunia ‘diserang’ virus Covid 19, termasuk di Tanah Papua. Kasus virus Covid 19 menjadi konsumsi setiap hari di Tanah Papua. Berbagai media (cetak, online) baik itu lokal, nasional maupun internasional menceritakan ganasnya virus ini.
Selain menghadapi ‘serangan’ Virusnya Covid 19, orang/warga yang mendiami Tanah Papua, khususnya ‘tuan rumah’ (orang asli Papua) harus menghadapi pelbagai persoalan yang tak kunjung henti. Sebut saja, ketidakadilan hukum pasca demo tolak rasisme, persoalan Otonomi Khusus Papua, konflik bersenjata, pengekangan ruang ekspresi, pro kontra Omnibus Law dan lain sebagainya.
Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua juga berada dalam lingkaran persoalan tersebut. Menghadapi persoalan tersebut, salah satu kewajiban SKPKC FP adalah merekamnya dan mempublikasikannya. Merekam dan mempublikasi perjalanan di Tanah Papua selama setahun yang berjalan sudah menjadi kebiasaan dari SKPKC Fransiskan Papua sejak tahun 1999. Di tahun 2021 (baru terealisasi di tahun 2022) mencetak dan mempublikasikan buku Seri Memoria Passionis No.39.
Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua memberikan judul Buku Seri Memoria Passionis No.39, “Damai Papua Yang Tercabik”. Pihak SKPKC Fransiskan Papua berefleksi bahwa di tahun 2020 bahkan hingga saat ini, hidup damai, tenang di tanah hak ulayat sendiri masih sangat sulit dicapai.
Isi Buku “Damai Papua Yang Tercabik”
Bab Pertama, penulis memberikan focus pada persoalan rasisme dan proses hukum yang dijalani bagi orang Papua yang melawan rasisme tersebut. Di bagian ini juga memberikan gambaran bagaimana keterbukaan dan solidaritas dari luar Papua yang berbicara tentang persoalan yang dialami oleh orang Papua. Bab pertama ini membantu para pembaca untuk melihat ketidakadilan hukum yang terjadi pada orang Papua.
Pro dan kontra tentang pelaksanaan Otonomi Khusus untuk Papua dinarasikan pada Bab Kedua dari buku ini. Di bagian ini, pembaca dihantar untuk melihat dinamika pro dan kontra tentang Otonomi Khusus untuk Papua. Pro kontra baik itu dari orang asli Papua sampai pada pengambil kebijakan atau pemerintahan.
Pada Bab Ketiga dari buku ini, pembaca akan melihat situasi konflik yang tak kunjung henti di Provinsi Papua. Konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dan TNI Polri
menjadi sajian di Bab Ketiga. Konflik yang berkepanjang di tahun 2020 ini menyebabkan korban baik itu dari TPN PB, TNI Polri dan masyarakat sipil di Provinsi Papua. Ruang gerak masyarakat asli Papua di daerah konflik menjadi terbatas.
Pengiriman Pasukan Militer ke Tanah Papua (TNI dan Polri) serta rencana pembangunan beberapa markas militer TNI dan Polri di Tanah Papua disajikan pada Bab Keempat dari buku ini. Di bagian ini, penulis memberikan gambaran bagaimana nuansa atau pendekatan militerisme yang terjadi di Tanah Papua.
Pada Bab Kelima dari buku ini, tim penulis merekam dan mempaparkan bagaimana kemandekan penyelesaian HAM di Papua oleh Negara Indonesia. Selain itu, suara atau reaksi dari dunia internasional terhadap situasi HAM di Tanah Papua juga dipaparkan di dalam bab kelima ini.
Di bagian akhir dari buku ini, Bab Keenam, Tim Penulis memaparkan tentang Undang-Undang (UU) Omnibus Law dan reaksi warga Papua terhadap produk peraturan tersebut. Pada bagian ini juga, Tim Penulis memaparkan sejauh mana dampak pemberlakuan UU Ominus Law tersebut terhadap masyarakat kecil.
Kiranya kehadiran Buku Seri Memoria Passionis No. 39, ‘Damai Papua Yang Tercabik’ ini membantu semua kita (para pembaca) mencermati berbagai persoalan yang ada dan mencari solusi yang baik mengatasi persoalan tersebut. Mengingat penderitaan yang ada, bukannya menambah luka, melainkan bersama mencari jalan keluar terbaik dari penderitaan tersebut.
Narahubung ;
Yuliana Langowuyo (0821-9966-8664)
Bernard Koten (0981260241970)