Buku, Imajinasi, dan Masa Depan Anak

anak papua belajar. Foto: viva.co.id
anak papua belajar. Foto: viva.co.id
Oleh; Anggi Afriansyah Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
PADA saat melakukan penelitian di Distrik Senopi, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, kami mengunjungi salah satu SMP negeri di sana. Kepala Sekolah di SMP tersebut sosok yang gigih dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak di wilayahnya. Kami berdiskusi terkait persoalan pendidikan, termasuk soal kebiasaan membaca buku.
Ia mengajak kami berkunjung ke perpustakaan sekolah. Buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah memang jauh dari lengkap, hanya ada dua rak buku, itu pun tidak penuh dengan buku, tapi dengan koleksi yang sangat terbatas. Kepala Sekolah sangat ingin koleksi buku di sekolahnya menjadi lengkap agar anak-anak dapat membaca banyak buku. Ia dan guru-guru berupaya agar anak-anak mau membaca buku.
Ada dua guru yang tinggal di dalam kompleks sekolah. Mereka bercerita, setiap sore ada saja anak-anak yang datang ke sekolah. Biasanya mereka menggunakan perpustakaan dan kemudian mengajar apa saja, termasuk mengenalkan buku-buku agar anak gemar membaca. Sulit memang, tetapi ikhtiar itu konsisten mereka lakukan.
Di lain tempat, saya berkesempatan mengunjungi salah satu sekolah internasional di Bekasi. Perpustakaan dan koleksi bukunya lengkap, bahkan lebih didominasi buku-buku berbahasa Inggris. Koleksi bukunya disesuaikan dengan jenjang yang ada di sekolah, yaitu mulai PAUD sampai SMA. Perpustakaan tersebut tidak berdiri dengan sia-sia. Sekolah membuat mekanisme yang membuat anak-anak harus membaca beragam koleksi buku yang ada di perpustakaan.
Di jenjang taman kanak-kanak (TK), setiap hari Kamis secara reguler anak-anak diajak ke perpustakaan. Mereka kemudian diminta untuk memilih dua buku yang paling disukai untuk dibaca di akhir pekan. Orangtua di sekolah itu ialah para pekerja yang sibuk.
Salah satu pemberian pekerjaan rumah membaca buku ini merupakan terciptanya ikatan emosional yang erat antara orangtua dan anak. Setelah dibacakan orangtua, anak diminta untuk menyebutkan bagian yang paling disukai dari buku tersebut. Orangtua mencatat apa yang disampaikan anak di buku kontrol yang diberikan sekolah. Anak diminta menggambar dengan bebas apa yang menjadi bagian favorit.
Lain dunia
Dua sekolah tersebut jelas bukan untuk dibandingkan. Keduanya seolah berada di realitas yang berbeda. Namun, dua sekolah tersebut memiliki satu irisan yang sama, yaitu keinginan sekolah untuk mendidik anak-anak yang mencintai buku. Satu sekolah berjuang dengan segala keterbatasannya, sedangkan sekolah satunya didukung dengan kelengkapan referensi dan program yang spesifik untuk meningkatkan minat baca anak-anak.
Keduanya perlu diapresiasi dalam meningkatkan minat baca anak. Ada kegigihan di situ meski dalam dimensi yang berbeda. SMP di Distrik Senopi berada dalam ekosistem pendidikan yang tidak memadai dan memiliki beragam keterbatasan, tapi memiliki aktor penggerak. Kepala sekolah dan guru-guru yang gigih menggunakan beragam cara agar anak-anak mau membaca. Sementara itu, sekolah di Bekasi memiliki segalanya dan memanfaatkannya untuk menggerakkan literasi secara intensif dan terprogram yang didukung orangtua di rumah.
Membaca bukan perkara mempelajari isi buku. Membaca merupakan soal membangkitkan imajinasi anak mengenai kehidupan. Dari buku-buku, anak-anak dapat mengenal realitas lain di luar keseharian mereka. Mengajak anak melompat ke masa lalu, masa kini, juga masa depan. Buku-buku yang dihadirkan tentu harus sesuai dengan usia dan perkembangan anak. Buku-buku bergizi dan bernutrisi baik sangat baik bagi asupan otak. Mereka akan menjadi pribadi yang memiliki wawasan luas serta mampu berpikir analitis dan kritis.
Finlandia, negara yang sering dirujuk dalam bidang pendidikan dapat menjadi contoh. Timothy D Walker (2017) dalam buku Teach Like Finland: 33 Simple Strategies for Joyful Classrooms pada beberapa bagian menjabarkan tentang upaya sekolah membentuk para pembaca. Pada beberapa momen anak-anak diberi kesempatan untuk membaca buku apa pun yang diminati secara bebas selama sepuluh menit dalam jeda waktu istirahat. Membaca menjadi ruang yang mana anak-anak beristirahat dengan santai, bukan menjadi paksaan.
Finlandia dapat melakukan hal tersebut karena secara sadar, baik sekolah, orangtua maupun masyarakat membangun ekosistem yang menopang anak-anak menyenangi buku dan mau membaca apa saja.
Kerja gotong royong
Pada konteks itulah beragam strategi perlu dilakukan oleh para guru di sekolah, orangtua di rumah, juga masyarakat. Gotong royong dalam membangun ekosistem yang memungkinkan anak-anak memiliki ketangguhan membaca menjadi sangat penting. Lagi-lagi ini memerlukan kerja keras dan itu tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal.
Komunitas membaca di seluruh Tanah Air begitu menggeliat pada tahun-tahun belakangan ini untuk membangun budaya baca. Apalagi adanya kebijakan gratis pengiriman buku (free cargo literacy) setiap tanggal 17 melalui PT Pos Indonesia beberapa waktu yang lalu. Buku-buku yang dikirimkan para relawan ke berbagai tempat itu berhasil menghidupi geliat komunitas yang berjihad untuk menyemarakkan minat baca masyarakat di penjuru Nusantara.
Pustaka Bergerak Indonesia (PBI), misalnya, menjadi salah satu pionir yang secara sukarela membangun kekuatan dan kemandirian masyarakat lokal untuk menyebarkan bebagai bacaan yang bermutu, khususnya ke daerah-daerah yang sulit diakses. PBI bermitra dengan berbagai pihak yang peduli.
Menariknya, mitra lokal PBI memiliki beragam latar belakang, mulai tukang rawat kuda, tambal ban, seniman, mantan wartawan, mahasiswa putus sekolah, atau lainnya (pustakabergerak.id). PBI ingin mematahkan anggapan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Karena itu, yang dibutuhkan ialah buku-buku bermutu yang dapat dijangkau semua kalangan sehingga mereka dapat memilih bacaan yang sesuai dengan kebutuhan.
Lalu, apakah melalui beragam upaya tersebut anak-anak menjadi senang membaca? Belum tentu. Akan tetapi, melalui proses tersebut anak-anak dikenalkan sejak dini tentang menyenangkannya membaca buku. Mereka diberikan alternatif untuk mencari pengetahuan secara mandiri melalui buku-buku yang dibacanya.
Membaca merupakan hak setiap anak bangsa dan menjadi wujud nyata menggenapi upaya untuk mencerdaskan anak bangsa sesuai amanah konstitusi. Buku-buku berkualitas sangat krusial untuk membangun imajinasi juga masa depan anak-anak bangsa.
Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.