Saat penghuni Nusantara masih berburu dan meramu, masyarakat di Lembah Baliem, Pegunungan Tengah, Papua telah mulai berkebun dan bertani. Sejarah pertanian wilayah ini bahkan disebut setara dengan China.
Sejak mentari pagi belum tinggi, Sekise Betapo (39), telah membawa sekop ke ladang yang hanya 50 meter dari kediamannya di Kampung Jagara, Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Ibu tiga anak ini menyusuri petak-petak tanaman hipere yang ditanam rapi. Hipere adalah nama lokal dari ubi jalar (Ipomea betatas L), tanaman yang sejak turun-temurun menjadi sumber pangan masyarakat setempat.
Di sebuah petakan, ia berhenti. Kaki kanannya menjejak ke depan. Tangan kirinya mengayun sekop, mengangkat rumput-rumput liar yang tumbuh di sela tanaman ubi jalar. Adiknya, Awaneke, tanpa diperintah, melakukan hal serupa. Mereka teliti membersihkan rumput liar di tengah rimbunnya dedaunan tanaman ubi jalar.
Tiba-tiba ia membalik sekop di tanah. Sekop yang dipegangnya berbeda dari biasanya. Ujungnya runcing, serupa linggis kayu, lalu diarahkan membuka tanah tempat akar ubi menjalar. Ia memeriksa umbi yang tersembunyi di tanah.
“Masih kecil. Mungkin satu bulan lagi bisa dipanen,” katanya.
Merawat, membersihkan ladang, hingga panen ubi jalar, merupakan tugas para perempuan seperti Sekiso, adiknya, serta mama-mama lain di wilayah ini. Hal ini tidak hanya berlaku di Jayawijaya, tetapi di Lembah Baliem, dan daerah pegunungan Papua lainnya.
“Bapak (suami) yang buka tanah. Biasa bantu tanam juga,” kata dia, menambahkan.
Suami Sekiso, Marcus Lani (69), baru saja membuka satu petak lahan yang akan ditanami ubi jalar. Sepetak lahan berupa gundukan itu berukuran 2×10 meter dengan tinggi 20 centimeter. Di sekelilingnya, ada bidang jalan yang juga menjadi jalur air.
Marcus Lani menunjukkan daun ubi jala yang akan ditanam di ladangnya di Kampung Jagara, Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (16/11/2022).
Marcus membuat gundukan-gundukan kecil di atas petakan lahan. Ia lalu mengambil dahan ubi jalar dari tanaman yang telah tumbuh. Ujung tanaman dipuntir, lalu ditanam di gundukan kecil tersebut.
“Begitu saja tanamnya. Ada juga yang dilipat dua ujungnya biar tumbuhnya banyak. Kalau kami diputar saja,” ucapnya.
Sistem menanam di gundukan secara lokal ini disebut kuming. Gundukan kecil di atas petakan berparit yang menjadi tempat bertumbuhnya umbi itu diyakini membuat ubi jadi besar dan manis.
Marcus menolak untuk mencoba teknik bertani yang lain. Sebab, cara seperti ini yang diajarkan oleh orangtua, kakek, hingga buyut-buyutnya. Jika mengubah teknik menanam, ia percaya alam akan marah dan hasil panen tidak lagi sama.
Dalam merawat tanaman pun harus dilakukan sebaik mungkin. Tanaman liar disingkirkan. Bahkan, dalam memanen ubi juga dilakukan dengan teknik yang sama dilakukan nenek moyangnya dahulu.
“Diambil seperlunya saja, untuk makan kami, untuk babi. Diambil juga tidak bisa semua, seperti dicabut begitu, nanti alam marah. Kalau kita jaga, mereka (alam) jaga kita,” kata dia menjelaskan.
Teknik menanam, hingga panen ubi jalar masih terus terjaga. Baik itu di Jayawijaya, Lembah Baliem, hingga Pegunungan Tengah Papua secara luas. Berbagai metode baru yang dikenalkan, hanya terserap sedikit, dan masyarakat masih menjaga pola tanam lama.
Tidak diajarkan
Sri Martina Lestari, yang saat wawancara di pertengahan November 2021 menjabat sebagai Kepala Badan Penerapan Teknologi dan Pengkajian (BPTP) Papua di Jayapura, menjelaskan, sistem kuming yaitu pola tanam, hingga panen yang tidak mengambil semua umbi, hanya bisa ditemukan di wilayah ini. Teknik ini merupakan tradisi dengan berbagai manfaat.
“Kami pernah tanya, kenapa kalau tanam ubi, (batang) harus dilipat dua. Katanya biar tumbuhnya banyak, jadi kalau ada satu yang mati, masih ada yang lain. Itu masuk akal juga,” katanya. “Yang pasti model seperti itu tidak pernah diajarkan di bangku pendidikan manapun.”
La Achmady dan Schneider (1993) melaporkan ada empat cara budidaya ubi jalar berdasarkan tipe agroekosistem, yaitu wen hipere, yabu waganak, yabu enaifpipme, dan yabu lome.
Wen hipere adalah sistem budidaya ubi jalar dengan cara membuat parit-parit permanen pada daerah yang berair. Yabu adalah sistem penanaman ubi jalar di lahan kering. Sistem yabu terbagi atas beberapa cara tanam, bergantung pada tingkat kemiringan lahan. Kedua sistem budidaya tersebut telah dipraktikkan masyarakat Jayawijaya secara turun-temurun.
Dengan pola seperti ini, tutur Martina, produktivitas panen memang jauh lebih rendah dari umumnya. Akan tetapi, umbi yang dihasilkan lebih besar, dengan rasa yang segar.
Umbi yang ditanam juga beraneka macam, seperti jenis lokal helaleke, yeleli, musaneken, suwemul, kepale, arulek, abukul, utorok, dan lainnya. Jenis-jenis ini masih ditanam warga meski telah banyak jenis lainnya yang hilang.
“Ini sebenarnya belum bisa disebut varietas karena belum ada penelitian lengkap. Bisa saja hanya klon-klon yang berbeda tempat tumbuh. Yang pasti, nama-nama lokal lainnya telah banyak yang hilang,” katanya.
Riset dari berbagai lembaga dan universitas, di wilayah Papua, khususnya pegunungan tengah, pernah terdapat lebih dari 200 jenis ubi jalar. Berbagai jenis ubi ini merupakan pengembangan masyarakat selama ratusan tahun. Bibitnya sebagian terus dikembangkan di berbagai kampung, distrik, dan lokasi.
Tidak hanya itu, berkurangnya petani karena migrasi penduduk membuat tanaman ini tidak terkelola.
Sejarah panjang
Akar ubi jalar di Papua sangatlah panjang. Tanaman ini lebih dulu berkembang di wilayah ini dibanding daerah lain di Indonesia. Secara umum, penyebaran ubi jalar ke Indonesia karena dibawa oleh para peneliti Portugis ke daerah Mediteran di Eropa kemudian ke Afrika, India, dan sampai ke Indonesia.
Awal mula ubi jalar tumbuh di Papua dimulai pada abad ke-16, saat pedagang-pedagang Spanyol membawa tanaman ubi jalar dari Meksiko ke Filipina kemudian menyebar di wilayah ini. Tak heran, Papua merupakan salah satu daerah penyebaran ubi jalar di dunia dengan keragaman genetik yang cukup tinggi, di samping negara-negara lain seperti Peru, Kolombia, dan Ekuador yang merupakan pusat asal usul (center of origin) tanaman ubi jalar. Namun hingga kini, pemanfaatan ubi jalar di Papua masih terbatas dan keberadaannya terancam punah. (Joko Restuono, Febria C Indriani, dan Wiwit Rahajeng dalam Buletin Plasma Nutfah 2020).
Hari Suroto, arkeolog di Balai Arkeologi Papua menjelaskan, pengembangan ubi jalar di masyarakat Pegunungan Tengah Papua merupakan turunan dari sistem pertanian yang telah lama maju di wilayah ini. Sejak dikenal sekitar 400 tahun lalu, ubi jalar berkembang pesat karena rasanya yang gurih dan manis, hingga juga disukai ternak. Pengembangan ubi jalar ini turut memicu ledakan penduduk serta perubahan budaya.
Awalnya, tutur Hari yang rutin meneliti pertanian ubi jalar, masyarakat Papua lebih dahulu mengenal keladi dan pisang, sebagai makanan pokok. Keladi atau talas ini ditanam dengan sistem parit, tidak jauh berbeda dengan model ubi jalar saat ini. Namun, karena sistem perawatan ubi jalar yang lebih mudah, masyarakat secara besar-besaran beralih dari keladi.
Dan hasil analisis karbon, diperkirakan masyarakat mulai membuka lahan untuk berkebun secara sederhana sekitar 6.000 tahun yang lalu. Medio ini sejajar dengan budaya pertanian awal di Amerika Selatan, Mesir, China, dan lembah Sungai Efrat dan Tigris. Hasil riset juga mengungkap adanya sampel serbuk sari buah merah, dan jejak karbon pembakaran sejak 7.000 tahun lalu di Papua.
“Sangat menarik sekali karena pada masa prasejarah itu, manusia di Jawa masih tinggal di gua dan hidup dengan berburu. Sementara di Pegunungan Tengah Papua manusia sudah tinggal menetap, membentuk suatu pemukiman, bahkan melakukan pertanian yang sistematis,” katanya.
Sejarah pertanian panjang ini seharusnya menjadi modal besar masyarakat untuk terus berkembang. Baik itu dalam produksi, hingga pengembangan pangan lokal.
Sayangnya, tambah Hari, pertanian di Papua, khususnya untuk pangan lokal, terus tersisih. Selain riset yang kurang, perhatian untuk mengembangkan pertanian pangan lokal juga minim. Akibatnya, pertanian di wilayah ini ketinggalan dibanding daerah lain.
“Padahal ini bagian dari peradaban, harga diri orang Papua di masa lalu. Bahwa pada masa lalu masyarakat di sini sejajar dengan pertanian China, Mesir, dan sebagainya. Tetapi kok sekarang terpinggirkan dan malah dilupakan. Itu kan ironis sekali,” kata Hari.
Sumber: kompas.id