Apakah ciri khas Teater Koma, yang tetap kritis dengan bahasa berselubung ”guyonan”, akan tetap mereka anut?
Nano Riantiarno boleh tiada, tetapi Teater Koma tetap koma, tidak pernah titik. Kelompok teater yang didirikan tahun 1977 itu terus menyala, bahkan semakin berani dengan mengumandangkan pertanyaan, ”Kapan Papua merdeka!” di atas panggung. Seorang dukun bernama Koreri mengacung-acungkan tongkat saktinya sembari terus mempersoalkan keberadaan naga di tanah Papua.
Kira-kira begini katanya, ”Kapan kami merdeka? Jangan diam saja. Bergerak! Tapi kini, Sang Naga, yang entah datang dari mana, sudah mulai memunguti apa yang berasal dari tanah kami, Papua. Pertanian, emas, ubi, babi, dan semua binatang hutan, pepohonan. Minyak kayu putih! Ada berapa banyak kekayaan yang dipungut Sang Naga? Sangat, sangat banyak. Kami sesungguhnya kaya, tetapi sekarang ini kami tidak mendapatkan apa-apa….”
Sebagaimana logika pemanggungan yang selalu dianut oleh Nano Riantiarno, dongeng atau legenda bisa mengajarkan tentang hal-hal yang berada di luar batas kemampuan logika manusia biasa. Naskah Matahari Papua juga merunut hal serupa. Nano, demikian N Riantiarno selalu dikenang, mengangkat dongeng rakyat Mimika di wilayah Kamoro, tentang Biwar Pembunuh Naga. ”Dongeng” ini kemudian dipentaskan pada 7-9 Juni 2024 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Rangga Riantiarno, yang melanjutkan kesutradaraan di Teater Koma, juga tetap setia pada logika sebuah dongeng. Ia juga percaya bahwa dongeng ada, justru karena ketiadaan institusi formal seperti sekolahan. Orang-orang pedalaman dan tradisional sulit mengakses ilmu pengetahuan lewat sekolahan. ”Bayangkan di Papua, orang bisa seharian berjalan kaki atau bersampan untuk bersekolah,” katanya.
Lantaran itulah, sebelum ada sekolah dan lainnya, orang-orang tradisi mewariskan pengetahuan yang ditimba dari pengalaman hidup, lewat cerita rakyat. Cerita rakyat tentang Biwar Pembunuh Naga itu, ujar Rangga, telah menjadi kisah epik yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dongeng ini menjadi artefak kultural, yang mewariskan kewaspadaan orang-orang Papua terhadap kemungkinan kehadiran ”keserakahan naga” di tanah mereka.
Nano secara setia merunut logika dogeng, di mana naga sesungguhnya benar-benar telah hadir di Papua. Bisa jadi naga itu adalah korporasi, orang-orang tamak, yang kehadirannya disahkan oleh negara. Mereka mengeruk kekayaan Papua, tidak saja kekayaan yang kasatmata seperti hutan, tetapi menambang kekayaan di bawah tanah seperti emas dan nikel. Lalu juga menghancurkan hamparan sagu sebagai sumber utama kehidupan rakyat dengan perkebunan sawit.
”Bayangkan, hutan sudah jadi milik mereka. Pepohonan dibabat habis menjadi perkebunan sawit. Mereka datang dari mana? Orang-orang itu kok bisa mengendalikan naga…,” begitu kutipan dialog Buaya Jantan.
Tokoh Buaya Jantan dihadirkan Nano (tidak ada dalam dongeng) untuk memberinya konteks waktu serta keseimbangan plot kisah. Buaya Jantan yang tadinya termasuk monster hutan, setelah melalui serangkaian dialog dan perenungan dengan Burung Hitam, akhirnya menyadari bahwa Papua harus diselamatkan dari cengkeraman naga.
Barangkali memang benar bahwa seorang perenung seperti Nano selalu visioner. Ia mengerjakan naskah ini sebagai lakon pendek tahun 2014. Benar bahwa isu Papua telah menjadi perbincangan di tengah-tengah publik, terutama karena ”cengkeraman” perusahaan penambang dari Amerika Serikat, yang telah bercokol puluhan tahun di tanah Papua. Namun, ketika Koma memutuskan memanggungkannya pada Juni 2024, Papua sedang dirundung masalah yang lebih parah.
Gugatan suku Awyu dan suku Moi ke Mahkamah Agung adalah bukti bahwa orang Papua tak pernah damai dan bahagia di tanah mereka sendiri. Perwakilan kedua suku ini bahkan menggelar aksi All Eyes on Papua di depan gedung Mahkamah Agung Jakarta pada akhir Mei 2024. Mereka merasa perlu datang ke Jakarta karena gugatan tentang konversi lahan hutan seluas 65.415 hektar menjadi kebun sawit kandas pada tingkat pertama dan kedua.
Suku Awyu dan suku Moi merasa bahwa pemberian izin oleh pemerintah terhadap beberapa perusahaan lewat proyek bernama Proyek Tanah Merah, suatu perkebunan sawit terbesar Indonesia, telah merugikan mereka. Betapa tidak, konversi hutan seluas itu sama dengan menghancurkan kehidupan dan masa depan orang-orang Papua. Di luar soal itu, Indonesia akan merusak paru-paru utama negara ini dan bersiap menjemput maut!
Nano tak pernah berbicara secara frontal terhadap eksploitasi hutan di Papua. Dalam pembaringan di rumahnya di kawasan Bintaro, terbata-bata ia bercerita bahwa Papua telah menjadi obsesinya sejak lama.
”Karena itu naskahnya akan segera saya rampungkan. Mudah-mudahan November bisa dipentaskan,” katanya waktu itu. Bulan November yang dimaksud Nano tak lain adalah tahun 2023. Namun, salah satu tokoh besar teater Indonesia itu keburu dipanggil Tuhan pada Januari 2023. Toh begitu, ia mewariskan legasi yang penting artinya bagi kelanjutan Teater Koma dan kesehatan negara yang ia cintai bernama: Indonesia.
Di tangan penerusnya, Rangga Riantiarno, Teater Koma sedikit menjadi lebih tajam. Kontekstualisasi pentas, yang seturut dengan selera dan tren tontonan, ia lakukan dengan melibatkan penata artistik dan multimedia seperti Deden Jalaludin Bulqini. Koma tidak perlu lagi memasukkan setting dan properti yang masif ke atas pentas. Seluruhnya ditata dalam suguhan multimedia yang menawan dan imajinatif. Oleh sebab itu, pergantian adegan berjalan mulus dan cepat sembari ”membenihkan” imajinasi yang kaya di benak penonton.
Selain itu, simbol-simbol yang dipergunakan Nano dalam naskahnya hadir lebih ”membumi” dan terasa dekat dengan kenyataan di sekitarnya. Visualisasi terhadap sosok naga ditafsir Rangga dengan sosok naga terbang yang biasa kita saksikan dalam film-film produksi Hollywood. Meskipun pemunculannya menggunakan para penari liong, seperti dalam tradisi kesenian China, Bulqini berhasil memberinya sentuhan artistik yang imajinatif.
Pada setiap kemunculannya, naga hampir selalu diikuti oleh deraian asap serta setting yang memberi gambaran keberadaannya. Bulqini, misalnya, memberi latar panggung dengan kain tile tipis, yang nanti akan memberi kedalaman dalam setting panggung. Pada kain transparan itu, lalu ditembakkan tayangan multimedia untuk menimbulkan efek air atau awan atau pepohonan.
Tentu saja sentuhan ini menjadikan tampilan pentas Koma setelah Riantiarno terasa lebih up to date. Generasi ini menyadari benar makna ucapan Ratna Riantiarno di awal pentas bahwa Koma tidak pernah titik, ia terus koma. Ia terus bergerak seturut dengan perkembangan isu dan selera tontonan di Tanah Air.
”Koma akan terus koma, tidak pernah titik, ada atau tiada Nano Riantiarno,” ujar Ratna.
Sebagai mantan jurnalis, bisa dipastikan bahwa Nano selalu terkoneksi pada isu. Karya-karya lain, seperti seri Opera Kecoa atau Opera Julini, juga Suksesi, adalah isu-isu yang ia garap tentang penggusuran orang-orang kecil, diskriminasi terhadap para transgender, serta suksesi kepemimpinan di Tanah Air. Sekarang isu tentang Papua yang dieksploitasi habis oleh para naga dari Barat. Tanah itu kaya, tetapi rakyatnya tetap bodoh dan miskin. Begitu suatu kali kata Nano kepadaku.
Meski selalu berusaha terhubung dengan isu-isu yang sedang hangat dibicarakan publik, Nano bukanlah tipe penulis dan sutradara yang meledak-ledak. Di atas panggung ia tetap menyajikan protes bergaya Teater Koma. Soal ungkapan ”Papua merdeka” itu, misalnya, dengan segera ia kontekskan dengan keberadaan sebuah dongeng tentang naga. Papua merdeka, tak lain maksudnya, merdeka dari cengkeraman kekuasaan seekor naga yang rakus. Tentu saja, bisa menjadi perdebatan jika kita tafsirkan bahwa naga yang dimaksudkan tak lain korporasi dari Barat dan negara.
Secara terselubung, Nano menempelkan kisahnya pada keinginan sebagian rakyat Papua, benar-benar ingin merdeka dari negara Indonesia. Ia tidak masuk ke ranah ”berbahaya” semacam itu. Sebab, bisa jadi pementasan Koma lagi-lagi bisa dicap ”subversif” karena merongrong kekuasaan, seperti terjadi saat Opera Kecoa dipentaskan tahun 1990. Nano harus berhadapan dengan aparat keamanan selama berjam-jam sebelum akhirnya pentas itu dilarang.
Di tangan Rangga, permainan isu aktual itu diteruskan, bahkan diberi konteks sehingga terasa semakin dekat. Belum jelas benar, apakah Rangga akan lebih berani mengkritisi segala ketidakadilan yang menimpa rakyat atau meneruskan pola-pola ayahnya yang selama ini telah dikenal publik. Sebab, dalam pentas Matahari Papua ini, naskahnya masih ditulis oleh Nano. Kita akan lihat, siapa yang berperan sebagai penulis naskah berikutnya di Teater Koma setelah Nano berpulang.
Apakah ciri khas Koma, yang tetap kritis dengan bahasa berselubung ”guyonan”, akan tetap mereka anut atau benar-benar berubah mengikuti cita-rasa protes anak-anak di masa kini, yang keras dan terbuka, kita harus menunggu mereka dalam produksi berikutnya. Produksi yang sudah akan sampai pada produksi ke-231. Tentu itu akan jadi pencapaian tertinggi bagi sebuah kelompok teater di Tanah Air. Belum lagi ada kelompok yang mampu mencapai jumlah produksi begitu tinggi seperti Teater Koma.
)* Putu Fajar Arcana, Jurnalis Kompas 1994-2022, kurator Bentara Budaya, sastrawan, sutradara, perupa, dosen Creative Writing LSPR Jakarta.
Sumber: www.kompas.id