Oleh: Bastian Tebai
Beberapa waktu lalu, saya pergi untuk mencari kos di dekat Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY). Seorang kaka saya, Yakobus Dogomo, menemani saya mencarinya. Lorong-lorong di sekitar UTY kami telusuri. Mata kami terus berkeliaran, menyusuri sudut-sudut lorong, dan dinding lorong, memburu pengumuman tentang kos-kosan.
Sesekali kami sempatkan waktu untuk bertanya kepada penduduk setempat, dengan bahasa jawa yang patah-patah, karena kebanyakan dari yang kami tanya –terutama yang sudah tua- meladeni pertanyaan kami dengan bahasa jawa.
Akhirnya, di sebuah tiang listrik di sebuah lorong di belakang UTY, kaka Jek menemukan pengumuman dicarinya peminat yang ingin tinggal di kos. Di bawahnya, tertera nomor Hp. Saya segera menekan nomor-nomor pada ponsel saya, sesuai dengan yang tertera di pengumuman itu.
Hallo, selamat pagi…
“Selamat pagi juga bu… ini dengan Bastian. Saya menemukan pengumuman tentang masih adanya kos-kosan putra yang masih kosong. Makanya saya telepon. Saya ingin tanya, di mana alamat kkos-kosannya bu?,” kata saya dengan sesopan mungkin.
“Oh… mas sekarang dimana posisinya?” tanya ibu itu.
Saya bingung karena tidak tahu lorong itu. Makanya saya bilang, saya ada di belakang UTY, di salah satu lorong.
Ponsel dimatikan, setelah dia memberiku alamat: lorong kedua, sebelah utara kampus III UTY. Tetapi saya dengan jek bingung, dimana tempatnya. Maklum, kaka Jek juga baru datang dari Papua, juga saya tentunya.
Kami ke depan kampus II UTY. Kemudian, kami meminta bantuan kaka perempuan yang berada di situ untuk memberitahu kami jalannya mennnuju alamat kkos-kosan itu. Tetapi dengan tersenyum, kaka perempuan itu menawarkan diri mengantar kami berdua ke alamat tersebut.
Kami bersama ke alamat tersebut. Singkat cerita, kami hampir sampai si depan alamat yang dituju. Kemudian ponsel saya berdering.
“Holo, dengan siapa ini?” sapa saya.
“Ini Tima mas.” Kudengar itu bukan suara ibu kos. Suaranya saya perkirakan milik perempuan, tetapi masih muda.
“Tima..? Tima siapa ya?” tanya saya kemudian.
Iya mas. Tima, anaknya ibu kosmu nanti yang kamu telfon tadi itu lho mas..”
“Oh.. iya”
“Begini mas, Ibuku sudah menjemput mas. Biar mas tidak bingung nanti”
oo… terimakasih ya..” kataku.
Dan ponsel dimatikan.
Tidak lama kemudian, datang seorang wanita paruh baya menggunakan motor. Ia berhenti di depan kami, dan bertanya, apakah kami tadi yang menelfonnya untuk mencari kos. Kami mengiyakan. Kedudian ia meminta kami untuk mengikutinya.
Tempatnya tidak terlalu jauh. Kami memasuki lorong, mengikuti motor ibu kos itu. Tetapi sesampainya di dalam, kami tidak mendapati ibu kos, juga motornya. Tidak ada seorangpun yang kami jumpai di luar lorong itu. Kami berusaha mencari tempat kosnya dan mencoba mengenali motor merah tua yang dikendarai ibu itu tadi.
Karena bingung, kutelfon saja melalui nomor teleponnya. Terdengarlah suara lelaki.
“Maaf ya mas, tadi, ketika ibu menjemput mas, kos sudah diisi. Sekarang udah penuh semuanya mas. Kami tidak dapat menerima mas. Maaf ya.”
Oh.. ngak apa-apa kok mas… terimakasih juga ya,” kataku, walau berat untuk diucapkan. Telfon ketika itu juga dututup olehnya.
Saya, juga kedua kaka saya agak terkejut. Bagaimana kos itu bisa cepat diisi, hanya dalam waktu kurang dari 4 menit itu. Akh… suddahlah, mungkin sudah harus terjadi seperti itu, hibur hatiku untuk diriku sendiri.
Hatiku agak lain juga ketika itu. Maklum, saya seperti sedikit kurang mampu menerima penolakan berkarakteristik sama, yang ketiga kalinya itu. Karena sebelumnya, saya telah mendapat 2 penolakan serupa, semua di sekitar UTY.
Akh, biar sudah. Kaka perempuan kami antar ke tempatnya. Setelah itu, saya dengan kaka Jek kembali ke kosnya kaka Agus Dogomo di jalan Timoho Yogyakarta.