Oleh; Dewi Linggasari
Halmahera, 1985
Sekelompok anak remaja itu tampak melarut dalam kegembiraan suasana Idhul Adha, mereka sibuk membakar sate kambing di halaman belakang rumah paling megah di kampung ini. Asap mulai mengepul, menebarkan bau harum dari bawah pohon jambu yang berdaun rindang dan berbuah lebat. Sehelai tikar dibentangkan, sebakul nasi, setumpuk piring besera sendok, dan satu kartun air vit disiapkan, bumbu kecap bercampur rempah-rempah juga telah ada. Dari arah pantai samar-samar terdengar gelombang kecil memecah. Air laut teduh, permukaannya jernih laksana kaca yang membentang, memantulkan cahaya. Ada lagi yang kurang?
Orin, tuan rumah itu tampak gelisah, berulang kali pandang matanya menatap ke arah pintu pagar, ia tengah menunggu seseorang, Betani. Siswi baru berkulit hitam manis, berambut ikal panjang melampaui bahu dengan lesung pipit yang mengesankan manakala gadis itu tersenyum. Betani bukan hanya manis, ia adalah siswi yang cerdas dan memiliki hati lembut bak agar-agar, perangianya halus, karena ia berasal dari keluarga terpelajar. Gadis itu berjanji akan datang untuk meramaikan suasana Idhul Adha di rumahnya setelah selesai kebaktian di gereja, ia seorang Nasrani yang taat dan mengutamakan kasih sayang dalam berpikir, bersikap, dan bertutur kata. Tentu, kehadiran Betani seakan bunga mekar yang segera mengharumkan suasana di kelasnya. Siswa mana yang tidak tertarik pada Betani?
Gadis itu lebih dekat dengan Orin, karena posisi Orin sebagai ketua kelas, mereka bersaing untuk meraih predikat ranking pertama dan kedua. Sementara Orin adalah bintang di lapangan sepak bola, ia pencetak gol dan pembawa kemenangan pada kesebelasan di sekolahnya. Kabarnya Orin adalah kandidat ketua OSIS pada tahun berikut, setelah ia duduk di kelas dua, menggantikan ketua OSIS lama yang akan mengakhiri masa tugas. Gadis-gadis menyingkir dengan kecewa ketika menyadari, bahwa Orin lebih tertarik kepada siswi baru dari pada kehadiran mereka. Akan tetapi, mereka tetap berkawan dengan kompak.
“Beta tahu, engkau pasti tengah menunggu siswi idaman bukan?” Bakhtiar, sahabat dekat Orin mulai mengganggu, ia tahu isi hati tuan rumah atas kegelisahannya. Dari seluruh yang ditunggu, hanya Betani yang belum menampakkan batang hidungnya. “Ia sudah berjanji untuk datang setelah pulang kebaktian, Betani tak pernah ingkar janji”, Bakhtiar mengunyah sate dengan nikmat sambil tersenyum simpul, ia dan Orin sudah berkawan sejak kanak-kanak, mereka bertetangga, dan beribadah di dalam masjid yang sama. Satu hal yang membedakan adalah, bahwa Orin anak seorang saudagar kaya, sementara Bakhtiar hanya anak seorang petani dengan kekayaan sepetak kebun kelapa. Dan satu hal yang mengagumkan antara keduanya adalah persahabatan antara mereka teramat tulus tak melihat perbedaan status yang ada.
Kata-kata Bakhtiar membuat wajah Orin bersemu merah dadu, Orin berniat menjawab, akan tetapi tiba-tiba bayangan seorang gadis hitam manis berkelebat mendekat, dengan senyum yang menggores lesung pipi. Betani datang sesuai dengan janjinya, gadis itu mengenakan rok model klok berwarna coklat dengan blouse warna kuning bermotif kupu di bagian dada, rambutnya yang ikal terurai, dijepit pada sisi kiri kanan. Dan kalung salib dari emas putih itu berkilat-kilat, mengukuhkan keimanannya. “Hai Orin, selamat Idhul Adha”, Betani mengulurkan tangan. Orin menjabatnya, ia merasakan gumpalan lembut kapas terkulai di dalam genggamannya, dadanya bergetar. Degup jantung segera memberontak dari geraknya yang patuh, berubah menjadi deburan ombak lautan.
“Hai Betani, beta kira engkau tidak datang”, Orin merasa kehangatan menjalari seluruh urat nadi, tiada hari yang lebih cerah kecuali Betani berada di dekatnya. Gadis itu memancarkan rasa damai pada sikap dan tutur katanya, tatapan matanya lembut, suaranya merdu seakan lantunan lagu nina bobok. Siapapun pasti merasa seperti terbuai menuju alam mimpi manakala bercakap-cakap dengan gadis itu.
“Beta sudah kata mau datang, tapi selesai misa. Bagaimana? Sate sudah masak?” Betani mengerling dengan nakal ke arah tikar yang dipenuhi hidangan, tiba-tiba perut gadis itu berkeruyuk, ia benar-benar merasa lapar. Bau harum dari sate kambing itu menggoda seleranya, ia ingin segera melahap sate itu dengan sekenyang-kenyangnya. Betani datang sebagai tamu, karena undangan dari Orin, ia melepaskan diri dari acara keluarga yang juga menerima undangan perayaan Idhul Adha dari famili dekat. Akan lebih asyik beramai-ramai bersama Orin dan teman-teman satu geng dari pada duduk kaku dalam acara “protokoler” keluarga. Betani sadar Orin amat menyayanginya, pemuda itu tidaklah setampan Arnold yang suka merayu gadis-gadis dan dijuluki sebagai laki-laki mata keranjang. Akan tetapi Orin memiliki kemampuan memimpin, wibawa yang menyebabkan ia memiliki sebuah daya tarik dan kharisma. Apakah ia juga menyayangi Orin? Entahlah.
“O ya, beta punya hadiah khusus untuk engkau”, Orin mengulurkan sekeranjang kecil jambu biji yang ranum dan menggemaskan yang segera diterima Betani dengan jeritan kecil, karena suka cita.
“Baru, mana hadiah untuk beta?” Tian, teman karib Betani pura-pura menampakkan wajah kecewa, karena tak mendapatkan hadiah khusus dari tuan rumah. Tian dan semua siswa tahu, betapa akrab hubungan juara pertama dan kedua itu. Akan tetapi, sedekat apapun hubungan itu, mereka tak pernah menutup diri terhadap kehadiran siswa dan siswi yang lain. Maka jadilah kumpulan remaja itu sebuah geng yang hiruk pikuk.
“O, ini bukan hanya hadiah buat beta, ini buat kita semua”, Betani menggigit sebutir jambu dan mengunyahnya dengan sangat bernapsu kemudian membagi-bagikan kepada rekan yang lain. Sekeranjang jambu biji itupun segera habis tandas tanpa sisa. Mereka semua ada sembilan orang, ada yang beraga Islam ada pula yang Nasrani. Perbedaan keyakinan itu telah disadari secara bersama-sama sejak mereka mulai kanak-kanak dan mengenal antara yang satu dengan yang lain. Sehingga mereka tak merasa adanya suatu keanehan. Ada kalanya dalam sebuah keluarga terjadi kawin campur, pihak laki-laki beragama Islam sedangkan pihak perempuan beragama Nasrani atau sebaliknya, pihak laki-laki beragama Nasrani sedangkan pihak perempuan beragama Islam. Salah satu pihak itu kemudian akan mengalah, membaurkan diri di dalam satu agama, sehingga sering terjadi, bahwa orang dapat memiliki fam sama dengan agama yang berbeda.
“Ayo, sekarang kita lahap habis sate sebelum dingin, baru kita orang pergi mandi-mandi di pantai, mumpung libur. Iya tho?” Santri, si juru masak mempersilakan semua “hadirin” santap bersama. Siswi itu memang mempunyai kegemaran memasak, badannya sedikit tambun, karena terlalu senang mencicipi aneka hidangan lezat. Santri disenangi teman-temannya, karena keahliannya, tiada kehadiran Santri tanpa acara masak memasak. Anak remaja mana yang tidak senang disuguhi hidangan lezat?
Maka sekelompok remaja itu segera lahap dengan bagian nasi sate masing-masing, angin lembut bergulir bagai hembusan napas sang bidadari. Sinar surya memudar, bergumpal-gumpal awan tanpa bentuk memadati langit, tetapi tak ada tanda bahwa hujan akan jatuh. Di tepian pantai pasir putih menghampar, seperti yang telah berlangsung hingga sepanjang waktu, gulungan ombak silih berganti berpacu, menjilati pesisir. Buihnya memecah menjadi gelembung kecil tanpa pernah berhenti.
“Bicara-bicara, tapi kapan kita mendayung ke pulau?” Bahtiar membuka pembicaraan, ia memang amat gemar mendayung. Sebulan lalu mereka pernah melewatkan hari Minggu di pulau seberang, membakar sagu dan ikan. Ah! Senangnya.
“Nanti saja setelah ujian semester, Minggu depan ada pertandingan sepak bola, kita lawan SMA dua, dan tidak boleh kalah!” Orin menjawab, tak ada yang lebih menggembirakan hati remaja itu, kecuali kemenangannya di lapangan hijau. Ia pemain andalan, sementara sorak sorai dari rekan satu geng serta tepuk tangan Betani semakin memacu semangatnya. Orin pernah dipanggul beramai-ramai keliling lapangan sepak bola, karena ia berhasil mencetak tiga goal. Lawan kembali dengan lunglai, tanpa goal sama sekali. Siapa tidak bangga menjadi “pahlawan?” Bukankah hidup harus dipacu dengan kebanggaan?
“Benar, kalau menang, kita pergi bakar sagu dan ikan di pulau”, Santri, sang juru masak menimpali.
“Kalau kalah, kita benamkan Orin ramai-ramai di lautan”, Betani berkomentar, ia tahu kata-katanya akan membuat pemuda itu marah. Kemarahan yang dibuat-buat, karena ia cuma bercanda.
“Boleh kamu orang benamkan beta ke dalam air, tetapi engkau Betani harus ikut serta”, Orin mendelik, ia tahu sedang dipermainkan. Jauh di dalam hati ia merasa demikian bahagia melihat senyum nakal Betani. “Engkau tahu bagaimana rasanya terbenam di dalam air?” Orin bertanya.
“Beta belum pernah tenggelam”, Betani menjawab tenang, ia sungguh merasakan hidangan dan suasana yang nikmat hari ini.
“Rasanya seperti ini”, Orin mendekat ke arah Betani, “Coba tutup mulutmu”.
Betani menutup mulut, tak lama kemudian gadis itu megap-megap kehabisan napas, karena Orin memencet kedua lubang hidungnya. Ia bahkan terlupa untuk membuka mulutnya, karena merasa panik. Ekspresi wajah Betani yang gugup seketika membuat tawa meledak, maka riuh rendahlah suasana di bawah pohon jambu itu. Tak lama kemudian ketika dengan terpingkal-pingkal Orin melepaskan pencetan tangannya, Betani tampak seperti orang pandir. Akan tetapi kepandiran itu tak berlangsung lama, karena ia sadar Orin telah membayar ejekannya. “Oriiiiin…. beta bisa mati!!” Betani bermaksud mencubit Orin, tetapi dengan gesit pemuda itu menghindar, senyumnya masih jenaka. Betani sungguh merasa gemas, ia segera mengejar Orin, tetapi siapa bisa menangkap sang pemain sepak bola andalan? Semakin Betani mengejar, semakin gesit Orin menghindar.
Mereka berkejaran di seputar halaman dengan sorak sorai dari anggota kawan-kawan yang lain. Kedua orang tua Orin terkejut mendengar suara hiruk pikuk di halaman belakang rumah, tergopoh-gopoh keduanya berjalan ke halaman belakang untuk melihat apa yang tengah terjadi. Ketika melihat Betani mengejar Orin berputar-putar di sekeliling halaman dengan disoraki oleh rekan-rekannya. Kedua orang itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Oh anak muda, mereka hanya dapat merasakan senang, mereka belum menyadari rumitnya hidup, atau memang belum saatnya mereka tahu.
Suatu saat mereka akan mengerti….
Orin terus berlari ia kehabisan tempat untuk menghindar, akhirnya iapun menghambur ke arah pantai, dengan kalap Betani terus mengejar. Rekan-rekan yang lain segera meletakkan piring mengikuti arah kejar mengejar itu. “Ayo kejar! Ayo kejar! Tangkap dia!”
“Ha… ha… ha…!”
Betani mendengar sorak sorai itu, diam-diam ia mulai merasa lelah, napasnya memburu. Orin telah berubah menjadi bayang-bayang jauh di depan seakan menyatu dengan kabut air, tak mungkin ia dapat menangkap “anak bengal” itu, iapun terduduk lunglai di atas pasir, kakinya mulai dijilati lidah ombak. Tak lama kemudian Bahtiar, Tian, Santri, Vera, Robert, Gini, dan Elmo bergabung. Mereka telah bersiap mandi-mandi bersama ombak, Betani masih terduduk mengatur napas. Ia benar-benar merasa gemas.
“Engkau tahu bagaimana rasanya tenggelam di lautan?” tiba-tiba Orin telah berada di dekatnya, dengan cekatan pemuda itu telah menggenggam pergelangan tangan Betani. Gadis itu benar tak berdaya ketika Orin telah menariknya di antara gulungan ombak. Tak berapa lama keduanya telah basah kuyup, sementara ombak bergelombang silih berganti.
“Oriiiin….!! engkau kelewatan!” Betani menjerit-jerit, di pihak lain Orin terbahak-bahak. Suara itu menyatu bersama angin laut dan gelak tawa dari teman-teman yang lain, Betani menyerah, ia kehabisan tenaga, ia menyesal telah mengejek Orin dan kini harus membayarnya dengan mahal. Apa boleh buat? Iapun telah terlanjur basah, ia segera menghambur-hamburkan air laut dengan kedua tangannya ke arah Orin. Pemuda itu tak mau kalah, iapun membalasnya.
“Tian bantu aku!” Betani menjerit meminta bantuan.
Tian mengambil langkah, ia segera membantu Betani menyemburkan air ke arah Orin hingga pemuda itu menjadi kewalahan dikeroyok dua orang gadis. “Sudah, sudah…. beta menyerah….” Orin menjauh, ia merasa telah cukup “mempermainkan” Betani, sekarang adalah saat bersuka cita, berenang mengejar ombak.
Tak lama kemudian Orin datang kembali menjelang Betani, “Sekarang kita damai…. damai….”
Maka suasanapun kembali damai, air laut bergelombang menimbulkan rasa cemas sekaligus kegembiaraan, camar-camar terbang rendah, matahari bersembunyi di balik sekalian awan, angin segar seakan berhembus dari suatu tempat yang penuh ditaburi bunga-bunga. Sekelompok remaja itu asyik bermain dengan air, Orin tak pernah jauh dari Betani, ia tahu gadis itu tak pandai berenang. Pasti ia tak akan pernah membiarkan Betani tenggelam.
Baik Orin maupun Betani tak menyadari, ada sepasang mata yang selalu mengawasi sikap keduanya dengan bermacam rasa berbaur menjadi satu, membersitkan sebuah kesadaran sekaligus menyakiti. Tian senang bergabung bersama rekan-rekan sekelas, iapun menyayangi Betani, tetapi hati gadis itu tersayat ketika menyadari Orin mengistimewakan Betani lebih dari siapapun. Tian tahu, ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Orin, mestinya ia merasa benci, tetapi aneh ia tak pernah merasa berat bergabung bersama mereka. Kebencian itu bahkan tak pernah singgah di hatinya, ia cukup merasa terhibur pernah mengenal orang seperti Orin dan Betani. Keduanya adalah jawara kelas yang memang layak dibanggakan dan bukankah perjalanan hidup ini masih sangat panjang?
Entah berapa lama anak-anak remaja itu bersuka ria, berbasah-basah di dalam air sampai akhirnya mereka merasa lelah dan lapar. Dengan pakaian basah kuyup mereka berjalan beriringan menyusuri pasir putih, diselimuti angin laut, di atas sinar matahari masih terhalang gumpalan awan. Di kejauhan tampak gugusan pulau menghijau segar seakan untaian batu zamrud berserakan.
Mereka menghabiskan hidangan yang tersisa sambil memetik jambu air sebagai hidangan penutup. Perlahan-lahan pakaian yang basah mulai mengering diterpa angin, Orin tak pernah berhenti mencuri pandang ke arah Betani. Gadis itu semakin diliputi daya tarik dalam keadaan basah, ia demikian bernapsu mengunyah jambu biji tanpa rikuh. Betani memiliki pesona alamiah. Betani bukan tidak tahu Orin selalu memberikan perhatian istimewa, ia menyadari, dan entah mengapa ia merasa gembira. Sekilas Betani dapat menangkap tatap kecemburuan dari sepasang mata Tian, tetapi ia tak berpikir jauh. Ia masih terlalu kanak-kanak untuk berpikir tentang cemburu.
“O ya, minggu depan ada ibadah syukur rumah baru. Beta harap kedatangannya, yang beragama Nasrani bisa ikut beribadah, yang muslim datang saja”, Betani mengundang rekan-rekannya. Sudah menjadi rituil di tempat ini untuk mengadakan ibadah sekaligus mengundang handai tolan, meski mereka beragama lain. Ibadah syukur selalu ditutup dengan acara makan bersama yang melambangkan kebersamaan.
“Baik, beta pasti datang”, Orin langsung menjawab, siapa yang akan melewatkan acara makan-makan di kediaman gadis pujaannya.
“Beta juga yang lain menjawab”.
Jawaban itu memciptakan lesung pada sepasang pipi Betani. Ia adalah seorang siswi baru pindahan dari Ternate, sebuah kota bertanah subur yang berada tepat di kaki gunung Gamalama. Ia terbiasa dimanja beraneka hasil alam serta laut yang biru dengan bukit-bukit karang menjulang. Ia tercabut dari tempat kelahirannya menuju kota yang lebih kecil di Pulau Halmahera, ia harus menumpang speed boat selama setengah jam kemudian melanjutkan perjalanan dari Sidang Oli dengan menggunakan kendaraan darat dalam tempo delapan jam, melewati dusun-dusun kecil, hamparan kebun kelapa serta rimbun belantara tempat Suku Tugutil tinggal. Fasilitas di kota ini sangat terbatas bila dibandingkan dengan Ternate, ia pasti akan tersedu-sedu merindukan Ternate seandainya tidak memiliki sahabat yang menghiburnya sepanjang waktu. Kehadiran seorang sahabat pasti sebagai pertanda, ia telah diterima dan menerima pula kehadiran orang lain di dalam lingkungan pergaulan. Hal itu berarti bahwa ia telah menjadi bagian syah pada komunitasnya yang baru, dengan kehangatan sikap Orin di dalamnya.
Mereka masih bercengkerama hingga senja hari, ketika tiba saat berpisah ada yang terasa berat di hati Orin. Ia ingin secepatnya datang esok pagi supaya dapat bertemu dengan Betani kembali di sekolah, melewatkan saat-saat yang mengesankan dan mendebarkan. Orin tak cukup cermat mensikapi Tian, ia memang tak perlu bersikap cermat dalam hal ini, terlalu banyak gadis yang tergila-gila, tetapi ia hanya mengingat Betani. Sementara Tian meninggalkan kediaman Orin dengan berbagai perasaan berkecamuk, sungguh tak nyaman menjadi tersisih dari harapan yang membumbung tinggi. Akan tetapi Tian berkeyakinan, ia memiliki cukup banyak waktu.
***
Kediaman Betani adalah sebuah rumah mungil berdinding batu dengan halaman luas berpagar tanaman hias. Secara keseluruhan rumah itu menjadi rindang, karena deretan pohon mangga yang berdaun rimbun, rumput hijau yang terawat dengan baik serta pot-pot bunga yang disusun secara teratur. Rumah ini dibeli orang tua Betani dari seorang penduduk yang memutuskan pindah ke Morotai, setelah mengalami renovasi, maka rumah yang semula tampak kusam berubah menjadi indah menakjubkan. Tentu, orang tua Betani menghabiskan hampir seluruh uang simpanannya untuk mendapatkan rumah baru yang harus disyukuri dengan ibadah lingkungan.
Betani anak kedua dari tiga bersaudara, saudara tuanya, Frederik tengah mengikuti pendidikan di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Nanti, setelah kelulusan Betani akan menyusul ke kota yang sama untuk belajar di Universitas yang sama pula. Adik tunggalnya, Tifani masih belajar di Sekolah Menengah Pertama. Ayah Betani bekerja di kantor dinas milik pemerintah dan tetap menjalankan tugas dengan baik ketika menerima SK di tempat yang baru dan cukup jauh dari Ternate.
Dari dalam ruangan rumah itu mulai mengalun lagu puji-pujian, nyanyian khidmad yang mengingatkan umat Nasrani pada kebesaran Tuhan. Betani, jemaat yang telah dididik untuk taat ikut pula melarut di dalamnya, gadis itu meresapi suasana damai yang seakan tembus hingga ke dasar hati. Ia merasa dirinya tengah mengapung menyusuri keabadian yang membawa dirinya ke dalam sebuah keyakinan tak tergoyahkan. Gadis itu tak menyimak deru kendaraan bermotor di luar rumah, Orin datang bergoncengan dengan Bahtiar. Mereka berjalan dengan langkah perlahan seakan cemas mengoyak suasana khusuk ibadah, keduanya berjingkat-jingkat menuju teras di samping rumah. Merekapun duduk tenang mendengarkan lantunan lagu. Tian, Santri, dan Gini datang mengendarai sepeda tak lama kemudian, mereka segera bergabung duduk di teras samping. Sekilas Tian melirik ke arah Orin, tetapi pemuda itu hanya tersenyum tipis tanpa isyarat apapun kemudian kembali tertunduk mendengarkan kidung jemaat. Di telinga Orin, nyanyian itu sama merdunya dengan suara orang yang sedang mengaji.
Bahtiar hanya tampak khusuk beberapa saat, ia telah terbiasa dengan suasana di rumah ini. Sepulang sekolah ia sering singgah untuk sekedar menumpang minum, kadang kala mama Betani meminta tolong untuk merawat tanaman atau memperbaiki pagar yang rusak. Pandangan Bahtiar yang jeli tak luput mencermati buah mangga yang ranum bergelantungan di atas pohon. Pemuda itu mencoba tidak menjadi gemas, tetapi kulit mangga yang hijau kekuning-kuningan mengalahkan “imannya”
Tanpa menimbulkan keributan Bahtiar mulai bergerak, ia memanjat pohon dengan gesit, memberi kode ke arah Santri supaya mendekat ke bawah pohon. Maka buah mangga yang ranum itu mulai berpindah dari tangkai ke tangan Bahtiar, terlontar ke udara bebas, jatuh tepat di tangan Santri. Gerakan itu berulang beberapa kali sehingga di atas bangku telah tertimbun tumpukan buah mangga seakan bukit kecil.
“Cukup?” suara Bahtiar pelan, setengah berbisik, Santri menganggukkan kepala.
Bagai seekor kera yang kegirangan Bahtiar turun dari atas pohon, gerakannya gesit dan cekatan. Sesampai di atas tanah pemuda itu segera menyelinap ke dalam dapur, dengan negoisasi yang handal pemuda itu segera kembali dengan mangkuk berisi kecap, rica, dan garam serta sebilah pisau tajam di tangan. Tak sabar tangan pemuda itu mengupas mangga setengah mengkal, mereka berdua berebut untuk menikmati aneka rasa yang bercampur menjadi satu.
“Hmmm…. enak sekali”, Bahtiar berguman. Sementara Santri segera mengunyah rujak mangga itu dengan nikmat. “Benar, enak. Mangga setengah mengkal”, gadis itupun berkomentar.
Tak lama kemudian Vera, Robert, dan Elmo datang bergabung. Pesta rujak itupun bertambah seru, meski mereka tak berani bersuara keras, karena ibadah di dalam rumah masih berlangsung. Tian dan Orin masih duduk dengan santun di teras samping, akan tetapi keduanya tak bisa berpura-pura sopan terlalu lama. Pesta rujak itu sungguh menerbitkan selera, merekapun mendekat, menikmati mangga muda yang ranum itu.
“O ya, engkau telah mendapatkan riwayat singkat Christina Martha Tiahahu Orin?” Elmo membuka pembicaraan. Ia teringat pada PR sejarah yang harus diserahkan esok hari.
“Sudah, beta mendapatkannya di buku ensiklopedi”.
“Bagaimana riwayatnya?”Gini bertanya.
“Christina lahir di Nusa Laut pada 4 Januari 1800, ia mendampingi ayahnya Paulus Tiahahu berjuang bersama Pattimura melawan penjajahan Belanda. Tahun 1817 mereka semua tertangkap, Christina dipaksa menyaksikan ayahnya dihukum gantung di Fort Niew Victoria, Ambon, ia terbebas dari hukuman , karena dianggap masih dianggap di bawah umur. Bersama 39 orang yang lain Christina dibawa ke Jawa dengan kapal VOC untuk dijadikan pekerja paksa di kebun kopi. Di kapal Evelyn Christina sakit, ia menolak diobati dan mogok makan, akhirnya ia meninggal pada usia yang sangat muda, tepatnya pada tanggal 2 Januari 1818. Seorang Belanda yang bersimpati dengan perjuangannya kemudian melarung jenazahnya ke laut Banda. Jelas?”
“Sangat jelas, baik nanti beta singgah di rumahmu untuk mencatat riwayat ini”, Elmo tampak senang dengan jawaban itu.
“O ya, tetapi ingat sekarang tanggal 24 April. Jangan lupa untuk merebahkan tiang bendera di halaman depan rumah atau besok pagi engkau terbangun dengan bendera RMS berkibar di atasnya”, Orin mengingatkan. Sebagai pemuda Maluku yang cerdas, Orin tahu seluk beluk dan sejarah tanah ini. Kegemarannya adalah membaca dan membaca, semakin banyak buku-buku yang dibaca semakin ia mengerti ada begitu banyak hal yang belum dimengerti dan ia selalu berusaha untuk mengerti. Ada sebuah pendapat yang diingat Orin, bahwa anak-anak Maluku telah mendengar perihal RMS sejak berada di dalam kandungan ibunda. Tentu saja pendapat ini terlalu berlebihan, akan tetapi bila dilihat kenyataan, bahwa gerakan RMS telah mengakar di dalam kehidupan masyarakat, maka pendapat itu benar adanya.
“O iya, benar. Nanti malam keamanan dan Pramuka pasti berjaga hingga pagi hari untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pak guru pernah sampaikan kita hanya memiliki satu bendera, merah putih, tak ada yang lain kecuali itu”, Santri menanggapi.
Mereka terus mengunyah mangga sambil bercakap-cakap sampai tiba-tiba terdengar suara merdu mengejutkan. “Hei, engkau semua di sini ternyata, beta kira tidak datang, tetapi ya Tuhan, ini pelanggaran besar. Engkau membuat pesta rujak tanpa seijin tuan rumah!” Betani tiba-tiba telah muncul, gadis itu mengenakan rok span warna tanah dengan blouse lengan setali berwarna kuning kunyit, rambutnya diekor kuda. Sepasang mata gadis itu membelalak lebar menyerupai bintang kejora, sejenak Orin terlena dalam pesona.
“Ijin nomor dua, nomor satu adalah rujak, kau pu mama saja tidak pernah marah beta memetik mangga, mengapa pula engkau harus marah?” Bahtiar menjawab acuh tak acuh, ia tak peduli pada keterkejutan Betani, gadis itu terlalu lembut untuk marah hanya karena urusan kecil, pesta rujak. Mulut pemuda itu semakin rakus mengunyah mangga.
Benar, akhirnya Betani terpingkal-pingkal melihat ulah kawan-kawannya. Mereka sungguh-sungguh tampak seakan pengungsi yang kelaparan, karena telah sebulan tak bersentuhan dengan bahan makanan. Jauh di dalam hati gadis itu merasakan kedamaian, karena ia berada di antara kawan-kawan yang menyayangi, yang menganggap rumah tinggalnya sama seperti tempat tinggal sendiri. Gadis itupun tak dapat menahan diri untuk tidak mencicipi mangga mengkal bercampur kecap, garam, dan rica. Ia bahkan meminta kembali Bahtiar untuk memetik beberapa butir mangga.
“O ya, beta mendapat surat dari saudara yang telah menetap di Belanda. Koleksi perangkoku bertambah, ada pula sebuah buku tentang Belanda lengkap dengan foto-foto yang indah. Mau lihat?” Betani mengalihkan pembicaraan. Gadis itu dengan polos dan bangga selalu menceritakan surat-surat dan kiriman paket dari saudaranya yang menetap di Belanda.
Betani tak mengerti benar, mengapa ia memiliki saudara yang lebih senang hidup di negeri orang. Samar-samar ia hanya tahu, bahwa sang kerabat tersebut termasuk anak buah Soumokil yang melarikan diri tahun 1951 bersama 4.000 orang Maluku Selatan dan tentara KNIL serta meminta suaka kepada pemerintahan Belanda. Jumlah keseluruhan dengan anggota keluarga sekitar 12.500 orang. Mereka hidup pada suatu situasi yang bagi orang Indonesia umumnya dan Maluku khususnya hanya berupa mimpi. Negara Belanda kira-kira memili luas wilayah sama dengan Provinsi Jawa Barat, penduduknya hanya sekitar 15 juta, 10% di antaranya adalah orang Indonesia, para pelajar, diplomat, termasuk anggota RMS, KNIL, dan kelompok pembangkang lainnya. Kemampuan pemerintahan Belanda dalam menata negara menyebabkan setiap warga negara hidup bergelimang kemakmuran.
Meski demikian, namun kerinduan Betani punya keluarga akan kesuburan tanah Maluku tak juga sirna. Surat-surat dan paket kecil bagi Betani adalah obat bagi kerinduan itu. Sementara jawaban surat Betani dengan kata-kata yang lugu dan santun menjadi hiburan yang menyegarkan. Betapapun, seseorang tak akan dapat dipisahkan dari sejarah tanah kelahirannya.
Betani masuk kembali ke dalam rumah dan keluar lagi sambil membawa album perangko serta buku tentang negeri Belanda yang segera dibuka beramai-ramai. Sementara itu ibadah telah usai, perjamuan dimulai. Di ruang tengah terdapat dua meja, satu meja berisi hidangan “khusus” lengkap dengan masakan babi, satu meja hidangan nasional yang sengaja disediakan bagi kehadiran tamu-tamu yang beragama Islam.
Pesta rujak masih berlangsung, ketika satu dua orang tamu mulai berpamit, maka para tetangga berdatangan dengan pakaian rapi. Mereka adalah kerabat beragama Islam yang khusus diundang perjamuan di luar acara sembahyang. Sementara di halaman rumah para remaja sibuk di bawah pohon mangga, maka di dalam rumah perjamuan terus berlangsung. Suasana diliputi keramahan dan persaudaraan, tak ada perbedaan yang tampak sungguhpun keyakinan tidaklah sama.
“Hei, anak-anak ayo makan! Nanti keburu habis!” Nayla, ibu Betani setengah berteriak memanggil anak-anak makan. Ia tak heran dengan kerumunan kecil yang terjadi di halaman atau teras rumah hampir setiap hari. Ia amat menyayangi Betani dan menyayangi pula teman-temannya, ia maklum akan kegemaran anak muda akan ranumnya buah mangga. Orang tua itu menyadari benar tentang asyiknya masa muda, keramahan itu menyebabkan Betani sering dikunjungi kawan, karena sang bunda selalu menyambut dengan tangan terbuka.
“Iya ma, kita orang memang sudah lapar”, Betani menjawab. “Ayo kita makan, jangan sampai dorang kasih habis makanan kucak-kucak!” Betani menggandeng tangan Tian menariknya ke dalam, dengan kerdipan mata ia mengajak juga kawan-kawan yang lain.
Rombongan kecil itu segera menyerbu ke ruang makan, di dalam ruangan itu terdapat dua meja perjamuan. Satu meja menghidangkan makanan “khusus” dengan masakan daging babi tersaji di atas piring oval, satu meja menghidangkan makanan tradisionil, yaitu papeda dan ikan kuah kuning dengan hidangan nasional yang lain, yaitu ayam rica-rica, sup, sate garu serta kerupuk. Rombongan itu menyerbu hidangan pada meja kedua, Betani menghormati kawan-kawan yang beragama Islam, sementara ia tidak menyentuh babi.
“Ayo anak-anak makan yang banyak”, Nayla tersenyum ramah mempersilakan tamu anaknya. Matanya yang telah tua dan cukup berpengalaman dapat menangkap sikap ulah Orin terhadap Betani. Ah, iapun pernah muda remaja, ia tidak mengambil tindakan ekstrim dengan melarang anak gadisnya berteman dengan Orin, ia memiliki jurus ampuh bagi sang putri untuk mengambil tindakan yang tepat.
Senyum Nayla melebar manakala ia berpapasan dengan Orin, pemuda itu tampak sebagai sosok tegap terbalut T shirt dan celana jeans. Pancaran matanya memantulkan tanggung jawab, pemuda itu mengenakan kalung dan leontin dari besi putih. Di dalam leontin itu tertulis identitas tentara Amerika yang pernah bertugas di wilayah ini. Seperti kebanyakan para pemuda, mereka selalu bergaya dengan pernik unik yang menggoreskan pula catatan sejarah di tanah ini.
Adapun Nayla ia sengaja menempatkan pedang samurai milik kenpetai yang telah tua di dalam kotak kaca dan meletakkan di ruang tengah rumahnya yang baru. Samurai itu itu juga termasuk benda sejarah, peninggalan dari masa pendudukan Jepang. Tanah ini memang kaya oleh aneka corak sejarah.
Acara perjamuan terus berlangsung, ketika menyuapkan nasi pada sendok yang terakhir Orin mulai dihantui rasa gelisah. Cahaya matahari semakin kuning, semakin pucat menjelang padam, ia mendapat ijin dari orang tuanya untuk datang ke rumah Betani, tetapi harus kembali ke rumah sebelum matahari terbenam. Kedua orang tuanya tahu, malam ini akan berlalu dengan penuh ketegangan, mereka telah merebahkan tiang bendera, sebelum bendera selain merah putih dapat berkibar-kibar.
“Baik Betani, terima kasih untuk undangannya, sering-sering saja, tetapi beta harus pulang secepatnya sebelum gelap, engkau juga tahu malam ini adalah saat penuh ketegangan”, wajah Orin menjadi serius, Betani terbawa pula dalam ketegangan itu. Sebenarnya ia ingin berlama-lama atau bahkan duduk berdua saja dengan Orin, tetapi wajah tegang pemuda itu telah mencemaskan hatinya.
“Baiklah, besok kita bertemu kembali di sekolah”, Betani melepas Orin pergi.
“Eh, Orin bagaimana dengan PR riwayat Christina Martha Tiahahu?” Elmo menyela.
“Sekarang kita cepat kembali, besok pagi-pagi bertemu di sekolah, PR mudah diatur”, Orin menjawab, kali ini ia benar-benar tampak cemas. Sinar matahari semakin redup, kegelapan menjelang tanggal 25 April membuatnya takut.
Sekelompok anak muda itupun bubar, Betani melepasnya di depan pintu pagar. Ia menatap Orin lekat-lekat hingga bayangan pemuda itu menghilang, menyatu di dalam redup suasana. Gadis itu masih berdiri dengan pikiran mengambang ketika sebuah sentuhan menyentak dari lamunan. “Angin dingin sayang, apa yang engkau pikirkan?”
“Ah, mama. Beta tidak memikirkan apa-apa”, Betani tergagap, sekilas ia melihat ke seputar halaman, tiang bendera belum sempat didirikan, jadi ia tidak perlu cemas untuk hal yang satu ini.
“Jangan tipu mama, tapi engkau naksir Orin bukan?”
“Ah, tidak ma!” Betani kembali tergagap, kali ini ia tersedak kemudian terbatuk-batuk. Sebuah sikap yang membuat senyum di bibir Nayla mengembang.
“Wajar saja, anak muda saling taksir menaksir, tetapi ingat masa depanmu masih panjang. Jangan pernah engkau berikan cinta dan kepercayaan sebelum studimu selesai dan engkau memiliki pekerjaan, percayalah kepada dirimu sendiri. Lebih dari itu, kalau kelak menikah, pilihlah calon yang setara dan seiman, pilihan ini akan mengurangi perselisihan. Kehidupanmu akan berjalan lebih tenang, situasi seperti itulah yang diharapkan pada sebuah perkawinan”, kata-kata itu mengalir dengan teratur dari mulut Nayla.
Betani tahu, sang ibu tidak sedang bermain-main, wanita itu sedang memberikan nasehat yang mustahil untuk dibantah. Ia tidak dihalangi untuk tetap bergaul dengan Orin, tetapi mendapat saran bagaimana seharusnya mesti bersikap. Entah mengapa, Betani merasa tiupan angin semakin kuat menembus pori-pori.
***
Bersambung