Selendang Pelangi, II (Sebuah Roman)

Ilustrasi Selendang Pelang. Foto: Ibiroma Wamla
Ilustrasi Selendang Pelang. Foto: Ibiroma Wamla

Oleh; Dewi Linggasari

KEDUA

Ruangan kelas itu hening, seluruh siswa memusatkan perhatian ke depan, ibu guru Fani, ibu guru kesayangan hampir seluruh siswa siap mengajarkan sejarah. Murid-murid menjadi semakin tertarik, karena sejarah yang akan disampaikan hari ini menyangkut tentang tanah kelahiran mereka, sejarah Maluku. Ibu guru Fani berkulit hitam manis, ia baru datang setelah menyelesaikan pendidikan di Institut Keguruan. Postur tubuh wanita itu tinggi semampai terbalut seragam berwarna abu-abu, wajahnya yang oval disaput tata rias minimalis dengan lip stick warna merah sirih. Rambutnya yang legam dan berombak disanggul dengan tusuk konde berwarna perak. Di leher yang jenjang itu melingkar seuntai kalung salib yang berkilat kuning keemasan. Ibu guru itu tahu, ia disayangi murid-muridnya, satu hal yang membuat ia mencintai pula pekerjaannya. Sepasang matanya yang jernih menyapu seisi kelas, ia dapat melihat murid andalannya Orin yang tengah duduk tertib, bersiap mengikuti pelajaran. Sementara Betani, siswi tercantik yang cerdas itu  nyata-nyata menghangatkan suasana di kelasnya. Ibu guru Fani selalu bangga pada murid-muridnya. Ibu guru itu tersenyum tipis sebelum akhirnya mulutnya yang mungil mulai berucap, “Selamat pagi anak-anak, semoga semalam dapat tidur nyenyak dengan mimpi yang indah, tak ada gangguan apapun, sehingga hari ini kita bisa belajar dengan baik.” Ibu guru Fani berhenti bicara sejenak, ia menjadi bagian dari ketegangan kolektif di wilayah ini, akan tetapi malam menjelang tanggal 25 April tahun ini ternyata berlalu dengan tenang tanpa ledakan atau pertumpahan darah, sehingga hari ini ia dapat mengajar seperti sedia kala.

“Baik, kita teruskan pelajaran minggu lalu tentang sejarah Maluku. Nama Maluku berasal dari kata Al Mulk yang berarti Tanah Raja-raja. Kepulauan ini amatlah subur, dari ketinggian gugusan pulau tampak seakan untaian zamrud khatulistiwa yang berserakan di antara biru air samudera. Tanah yang subur menghasilkan rempah-rempah, hasil bumi ini mengundang pelaut-pelaut berdatangan. Awal abad ke-7, pada zaman dinasty Tang pelaut-pelaut dari daratan Cina berdatangan ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Kedatangan itu sengaja dirahasiakan untuk mencegah hadirnya bangsa-bangsa yang lain. Rempah-rempah tidak mudah didapat”.Seterusnya Bu guru Fani bercerita dengan gaya yang khas dan menarik, seisi kelaspun tenggelam pada suatu masa ketika tanah ini menjadi bagian masa lampau.

Rahasia kedatangan pelaut Cina ke Maluku tersimpan selama dua ratus tahun. Pada abad ke-9 pedagang Arab  berhasil menemukan kepulauan Maluku setelah mengarungi Samudra Hindia. Pedagang ini pada akhirnya menguasai pasar Eropa melalui kota-kota pelabuhan, seperti Konstantinopel. Dua ratus tahun kemudian, tepatnya pada awal abad ke-12 Kerajaan Sriwijaya di Pulau Andalas melebarkan wilayah kekuasaannya hingga mencapai kepulauan Maluku. Selanjutnya pada abad ke-14 pedagang rempah-rempah dari Timur Tengah berdatangan ke Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik dengan membawa pula agama Islam. Penyebaran agama ini praktis mengubah perilaku kehidupan beragama masyarakat setempat secara totalitas. Maluku menjadi sebuah komunitas dengan basis agama Islam yang selanjutnya akan mengakar dengan kuat pula dalam struktur pemerintahan tradisionil.

Pada abad ini pula Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara, saat itu pula para pedagang dari Jawa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Selanjutnya sejarah terus bergulir, rempah-rempah Maluku ditampilkan dalam berbagai karya seni,  Van. W.P. Groenveldt melukis Maluku dengan judul Gunung Dupa. Dalam lukisan itu Maluku tampak sebagai wilayah dipenuhi gunung-gunung, menghijau oleh gugusan pohon cengkeh dengan sebuah oase di tengah laut sebelah tenggara. Adapun sang pelaut besar, Marco Polo telah menggambarkan pula perdagangan cengkih di Maluku dalam kunjungannya ke Sumatra.

Bacaan Lainnya

Rempah-rempah, sekali lagi rempah-rempah menyebabkan kepulauan Maluku dikenal hingga ke negeri Cina, bahkan Arab. Ketenaran itu terus meluas melewati batas benua, hingga akhirnya sampai jua ke Eropa. Tahun 1512 dua armada Portugis di bawah pimpinan Anthony d’ Abreu dan Fransisco Serau mendarat di Kepulauan Banda dan Penyu. Mereka menjalin persahabatan dengan raja-raja dan penduduk setempat, Portugis mendapat ijin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, negeri Hitu Lama, dan Manala di Pulau Ambon. Akan tetapi, Portugis kemudian menerapkan sistem monopoli dagang sekaligus melakukan penyebaran agama Nasrani.

Franciscus Xaverius, seorang missionaris terkenal tiba di ambon pada 14 Februari 1546.satu tahun kemudian Xavier tiba di Ternate, melakukan kunjungan ke pulau-pulau untuk melakukan penyebaran agama Nasrani. Penyebaran agama Nasrani yang diterima secara damai oleh masyarakat setempat, menyebabkan masyarakat Maluku memiliki dua aliran kepercayaan yang berbeda, Islam dan Kristen. Kedua agama itu menyatu dan mengakar di dalam kehidupan masyarakat, berdampingan dengan penuh permakluman dari waktu ke waktu.

Sementara itu persahabatan antara Ternate dan Portugis terus terjalin selama kurang lebih enam dekade. Akan  tetapi monopoli dagang menyebabkan rakyat Ternate merasa dirugikan. Sultan Babullah melakukan perlawanan selama lima tahun (1570 – 1575). Peperangan ini menyebabkan Portugis pergi meninggalkan Ternate menuju ke Tidore dan Ambon.

Sampai di sini ibu guru Fani berhenti, ia menarik napas berulang kali, menyusut keringat yang mengembun di dahi. Tampaknya ia tengah berjuang melawan emosi, ia seakan ikut menjadi bagian dari perjuangan Pattimura. Sementara anak-anak tak sabar menanti, beberapa kali Orin melirik ke arah Betani. Gadis itu tampak tenang seperti pada hari-hari biasa, ia siswi yang santun di dalam kelas, sebaliknya ia akan berubah seakan burung walet ketika pelajaran telah usai. Orin tak menyadari atau pura-pura tak menyadari, bahwa ketika ia tengah melirik Betani, maka diam-diam Tian menatap ke arahnya.

Ibu guru Fani meneruskan cerita, “Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis menguak celah bagi Belanda untuk menanamkan kekuasaan di kepulauan ini. Taring pertama Belanda ditancapkan dengan memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanan di Ambon kepada Cornelisz Sebastiansz. Belanda menghancurkan pula benteng Inggris di Kanbelo, Pulau Seram. Sebagian besar wilayah Maluku praktis jatuh ke tangan Belanda.

Tahun 1602 VOC berdiri, organisasi dagang ini memperkuat kedudukan Belanda di seluruh wilayah Maluku dan akhirnya VOC menjadi penguasa tunggal. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, kepala operasional VOC Belanda melakukan monopoli dagang rempah-rempah di Maluku selama 350 tahun. Dalam rangka kepentingan monopoli VOC tidak segan-segan mengusir para pesaing, seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris. Keserakahan VOC berkelanjutan dengan pertumpahan darah rakyat Maluku, puluhan ribu orang menjadi korban.

Pada permulaan tahun 1800 Inggris mulai menyerang dan menguasai wilayah yang semula menjadi daerah kekuasaan Belanda, termasuk Ternate dan Banda. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1810 Inggris menempatkan seorang resimen jenderal bernama Beyant Martin untuk menguasai Kepulauan Maluku. Akan tetapi, sesuai dengan Konvensi London tahun 1814, maka Inggris harus menyerahkan kembali wilayah jajahan belanda kepada Pemerintah Belanda. Tiga tahun kemudian, terhitung sejak tahun 1817 Belanda kembali membenamkan taring kekuasaannya di Maluku.

Selama dua abad terakhir hubungan sosial antara VOC dan masyarakat Maluku terus memburuk, hubungan ini berakibat fatal pada kondisi politik dan ekonomi, penderitaan masyarakat Maluku di bawah tekanan VOC tak tertahankan. Di bawah pimpinan Thomas Matulessy, yang diberi gelar Kapitan Pattimura –seorang mantan Sersan Mayor tentara Inggris—pada tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku melancarkan serangan terhadap Benteng Belanda “Duurstede” di Pulau Saparua. Dalam penyerangan ini Pattimura dibantu pula oleh kawan-kawannya: Philip Latumahina, Anthony Ribok, dan Said Perintah, Residen Van den Berg.

Berita kemenangan pertama ini membangkitkan semangat perlawanan rakyat seluruh Maluku. Paulus Tiahahu dan Sang Putri Chistina Martha Tiahahu berjuang di Pulau Nusa Laut, adapun Kapitan Ulupaha berjuang di Ambon. Akan tetapi, dengan penuh tipu muslihat dan kelicikan perlawanan ini dapat ditumpas kekuasaan Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dan kawan-kawannya dijatuhi hukuman gantung di Fort Niew Victoria, Ambon. Christina Martha Tiahahu, si jelita yang muda belia itu meninggal di atas kapal dalam pelayaran pembuangan ke tanah Jawa. Jenazah pahlawan itu dilarung di laut Banda. Kelak, nama dan lukisan Christina Martha Tiahahu akan abadi, bukan hanya di hati masyarakat Maluku, akan tetapi di hati seluruh Bangsa Indonesia.

Lebih satu abad setelah perlawanan Paulus Tiahahu didampingi putri tercinta, tepatnya pada tanggal  7 Desember  1941 perang Pasifik pecah sebagai bagian dari kecamuk Perang Dunia ke-II. Perang ini mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jenderal Belanda, A.W.L Tjarda van Starkenburg membuat pernyataan melalui radio, bahwa Pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang melawan Jepang. Tentara Jepang kemudian merebut satu demi satu kepulauan di Indonesia secara sistematis. Sejarah mencatat, bahwa penderitaan masyarakat Indonesia selama 350 tahun dijajah Belanda tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan 3,5 tahun penjajahan Jepang yang bersifat fasis.

Pemerintah Jepang harus membayar mahal harga sebuah peperangan dengan hancur leburnya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh ledakan bom maha dasyat. Dunia terhentak! Jepang menyatakan kekalahan dan menarik mundur pasukan dari seluruh Kepulauan Indonesia. Pemuda-pemuda Indonesia memanfaatkan celah yang sangat penting bagi kemerdekaan bangsa. Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari Pegangsaan Timur. Era penjajahan berakhir, akan tetapi bangsa ini sedang mencari arah dan bentuk dalam membina kehidupan bernegara, masalah selalu ada.

Pada tanggal 25 April 1950 Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda dengan presiden Dr. Chr. R. S. Soumokil, bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur. RMS bertujuan menjadi negara sendiri, terlepas dari Negara Indonesia Timur atau –lebih tepat—RMS adalah salah satu politik adu domba dari Pemerintah Belanda untuk memcah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih berusia muda belia. Politik ini ditanggapi masyarakat yang belum mampu bersikap kritis terhadap intervensi Pemerintah Belanda. Pemerintah pusat mencoba menyelesaikan persoalan ini secara damai dengan mengirim tim yang diketuai Dr. Leimena. Selanjutnya pada tanggal 13 Juli 1950 diselenggarakan konferensi Maluku di Semarang, para politikus asal Ambon meminta pengiriman misi perdamaian ke Ambon yang terdiri atas politikus, pendeta, dokter, dan wartawan. Akan tetapi, upaya perdamaian ini gagal. Pemerintah pusat akhirnya memutuskan menumpas RMS dengan kekuatan senjata dengan membentuk pasukan dibawah pimpinan Kolonel Kawilarang.

Pada tanggal 18 November 1950 Kota Ambon dikuasai APRIS, Soumokil menyelamatkan diri, sisa-sisa RMS melarikan diri ke hutan, tidak melakukan perlawanan dalam beberapa tahun. Tiga bulan kemudian, tepatnya pada Februari 1951 Kabinet Belanda di Den Haag memutuskan untuk mengangkut serdadu Ambon di Jawa untuk dimobilisasi ke Belanda dengan sebuah janji, suatu saat akan dapat kembali ke Ambon yang “bebas”. Tanggal 21 Maret 1951 rombongan pertama bekas prajurit Belanda asal Maluku –KNIL—bersama keluarga tiba di Rotterdam, Belanda dengan menumpang kapal laut. Kedatangan ini disusul dengan kedatangan 12.000 orang selanjutnya dengan sarana angkutan kapal laut pula. Melalui keputusan Februari 1951 Kabinet Belanda memberhentikan prajurit Ambon dari dinas kemiliteran KL dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk menetap, beranak pinak di negeri Belanda. Kelak, setelah lebih setengah abad berlalu jumlah itu akan membengkak menjadi sekitar 45.000 jiwa.

Pada tanggal 2 Desember 1953 Soumokil tertangkap, tahun berikutnya yang bersangkutan diadili dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahmilub. Eksekusi bagi Soumokil dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966. ’Sang presiden’ telah tiada, akan tetapi RMS tidak ikut pula terkubur ke dalam liang. Dalam lima bahkan enam dekade ke depan setelah eksekusi bagi Soumokil, RMS terbukti tetap menampakkan keberadaannya. Gerakan ini tak memiliki markas, tak memiliki tokoh terkemuka, namun tetap mengakar di dalam kehidupan masyarakat. Sifat akar memang tersembunyi di bawah tanah, batang dan pohon serta daun-daunnyalah yang senantiasa tampak”.

Akhirnya ibu guru Fani menyudahi cerita, ia tampak lelah dan kepanasan, wanita itu menggunakan sehelai buku tipis untuk mendapatkan udara kemudian mengipas-ngipaskannya. “Baik, minggu lalu ibu ada memberikan PR tentang riwayat singkat Cristina Martha Tiahahu, ketua kelas, Orin ayo kumpulkan”.

Maka, ruangan kelas yang semula hening itu segera terpecah oleh helaan napas seluruh siswa. Di antara mereka ada yang telah mengerjakan, ada pula yang belum, gerakan tergesa dari siswa yang belum menyelesaikan PR membuat ibu guru tersenyum simpul. Tentu, pendidikan ini pada prinsipnya adalah suatu proses pembangunan sikap mental, dari sikap tidak tahu menjadi tahu. Untuk itu segala hal bisa terjadi, termasuk mengerjakan PR di dalam ruangan kelas ketika “air telah naik hingga ke batas leher”. Ah! Murid-murid yang bandel!

Tak berapa lama kemudian suara lonceng berbunyi tiga kali, tanda waktu untuk beristirahat, ibu guru Fani mengemasi seluruh buku-buku pelajaran, memberikan salam kemudian berlalu meninggalkan kelas. Di belakangnya murid-murid saling tolak mencoba keluar dari kelas untuk mendapatkan udara segar. Sungguhpun cara mengajar dari ibu guru Fani sangat menyenangkan, akan tetapi jam istirahat jauh lebih menyenangkan. Cafetaria dengan aneka makanan menunggu, sementara lapangan sepak bola tak kalah seru sebagai arena pertandingan dan tentu saja arena untuk menarik perhatian gadis-gadis. Betani dan Tian bergandengan tangan menuju ke cafetaria dengan langkah setengah tergesa, mereka tak mau kebagian bangku, karena datang terlambat. Benar, bangku-bangku masih kosong, keduanya segera memesan bakso dan es teh kemudian duduk rapi, asyik dengan hidangan masing-masing.

“Aih gadis-gadis, di sinilah engkau rupanya!” tiba-tiba Orin telah pula bergabung disusul Bahtiar dan Elmo. Masing-masing memesan bakso, maka cafetaria yang semula sunyi itu segera ramai oleh kasak-kasuk siswa siswi yang menjadi sibuk dengan sendoknya masing-masing. Orin selalu tak mau jauh dari Betani, ia selalu mencari kesempatan untuk mendekat, meski tak pernah mengatakan apa-apa, agaknya gadis itu tak menolak keakrabannya. Hal itu sudah cukup menyenangkan hatinya.

Sementara di atas langit teduh, kesiur angin menggugurkan daun akasia, menerbangkan ke segala arah. Halaman dan koridor di sepanjang kelas yang semula sunyi pada jam istirahat segera dipenuhi oleh bermacam aktivitas siswa-siswa SMA yang tengah bersantai. Ada yang duduk bergerombol di bawah pohon, ada yang mengerjakan PR di dalam kelas, ada pula yang bercengcerama di atas bangku-bangku di setiap sudut sekolah. Lima belas menit setelah jam istirahat, lonceng tanda masuk tak juga berbunyi, para guru agaknya mengadakan rapat mendadak. Kesempatan baik ini tak disia-siakan oleh sekalian murid, mereka segera membentuk kesebelasan dan bertanding secara spontan. Orin tampil kembali menjadi bintang lapangan, sorak sorai Betani menambah semangatnya, ia pasti akan mencetak goal kemenangan. Tian ikut pula menonton tak jauh dari Betani, ia ikut pula bersorak sorai, larut di dalam kegembiraan masa muda.

Di lapangan hijau bola terus menggelinding dari kaki ke kaki menuju gawang sama  seperti rotasi kehidupan di antara semesta yang luas tak berbatas. Tanah Maluku dalam situasi damai yang memberikan kesempatan bagi anak-anak sekolah untuk bermain sepak bola pada jam bebas, ibu-ibu mengandung kemudian melahirkan bayi dengan aman, petani mendangir tanah, nelayan menangkap ikan, dan bapak-bapak mencari nafkah sebagai bentuk pertanggungan jawaban mutlak dalam menghidupi keluarga.

Di luar hiruk pikuk lapangan sepak bola, kesibukan belajar siswa-siswa, maka waktu terus berputar sesuai dengan gerak edar bumi mengelilingi matahari. Hari berganti, minggu terlewat, bulan berjalan. Setahun berlalu seakan dalam sekejap, karena masing-masing individu tenggelam dalam kesibukan yang menuntut konsentrasi. Tanah Maluku tetap damai dan menghasilkan rempah-rempah, ikan cakalang berenang bebas di lautan kemudian tersangkut jaring nelayan.

Orin, Betani, Tian, Bahtiar, Elmo, Gini, Santri, dan pelajar lainnya terkonsentrasi dalam kesibukan belajar, mengejar prestasi demi prestrasi, mengikuti ujian per semester hingga akhirnya mereka sampai di penghujung tahun, bersiap mengikuti ujian kelulusan. Mereka telah merubah acara bermain menjadi saat untuk belajar bersama, ketika hari ujian tiba mereka telah siap. Pengumuman ujian disambut dengan suka cita, karena 99% dinyatakan lulus. Mereka saling menyemprotkan air, menggoreskan tanda tangan pada pakaian seragam yang tak akan lagi dikenakan, bertukar tanda mata, bercanda, dan bersuka ria. Sampai akhirnya merekapun tersadar, bahwa hari perpisahan akan segera tiba.

***

Acara perpisahan diselenggarakan di lapangan sepak bola sekolah, sebuah panggung lengkap dengan dekorasi dan spanduk telah didirikan, kursi-kursi diatur melingkari meja berhias keras krep dan balon warna –warni. Ketua OSIS telah membentuk panitia dan mengatur seksi-seksi untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Malam itu suasana sekolah seolah telah berubah menjadi malam gala, siswi-siswi tampil tampil bak artis ternama, sementara siswa-siswa berubah bak selebritis. Dewan guru tampil lebih rileks, mereka tak tampak angker seperti pada hari-hari biasa, beberapa bahkan tampak tengah bercanda akrab dengan siswa-siswi yang harus permakit pergi.

Seharusnya suasana seperti ini membuat Orin gembira, tetapi pemuda itu tak ada menampakkan senyuman. Ia sudah yakin akan kemenangan dalam merebut ranking pertama, Betani pasti menempati urutan kedua. Kemenangan itu akan diumumkan malam ini di depan seluruh siswa dan dewan guru. Mestinya Orin merasa bangga, tetapi pemuda itu lebih banyak terdiam, ia datang bergoncengan sepeda motor dengan Bahtiar. Setelah memarkir kendaraan, mereka berdua segera masuk ke arena perpisahan, pandangan Orin mencari-cari ketika ia mendapatkan Betani duduk satu meja dengan Tian, Gini, Santri, Elmo, dan Edo, pemuda itu segera mendekat. Iapun segera bergabung, tanpa sepatah kata.

Di panggung acara telah dimulai, pikiran Orin tak terkonsentrasi, pandangan matanya tak pernah lepas dari Betani. Gadis itu mengenakan gaun panjang berwarna hitam dengan tata rias wajah yang demikian alami. Tak ada perhiasan apapun melekat pada tubuhnya kecuali seuntai kalung salib, Betani membiarkan rambutnya yang sebahu lepas terurai. Betani juga tak banyak berkata-kata, ia sadar tak bisa mempermainkan waktu, saat bersenang-senang dengan teman sepermainan telah berlalu, demikian cepat. Kini, ia dihadapkan pada sebuah masa yang menuntutnya untuk bersikap lebih dewasa. Ibunda memintanya untuk melanjutkan kuliah ke Sam Ratulangi di Manado, ia bisa menumpang kapal atau kalau mau lebih cepat ia bisa menumpang pesawat Twin Otter milik maskapai penerbangan Merpati dari bandara perintis Kao. Nilainya yang tinggi tak akan membuatnya sulit dalam memilih universitas, mengenai biaya kedua orang tuanya sudah menyiapkan. Ia akan menjelang hari-hari yang penuh tantangan, seharusnya Betani gembira, tetapi ketika sepasang matanya bertautan dengan Orin, gadis itu tersadar, apa yang mebuatnya bersedih?

Betani tak menolak ketika Orin menggenggam tangannya, menuju ke tempat yang lebih sunyi tanpa kehadiran orang lain. Mereka duduk berdua di bangku, disinari jernih cahaya bulan purnama. Angin berkelana  menuju setiap sudut yang paling meragukan sekalipun. “Engkau jadi ke Manado setelah perpisahan ini?” Orin membuka pembicaraan.

“Mama menghendaki demikian, beta harus bergabung dengan kakak yang sedang kuliah di sana”, Betani merasa betapa telapak tangan Orin sedemikian dingin.

“Beta harus ke Makassar, itu perintah papa. Beta mesti belajar ekonomi dan tinggal bersama keluarga, tak ada beta punya keluarga di Manado. Kita berpisah Beta?” suara Orin berubah seakan isak tangis. Pemuda itu memang tengah berjuang melawan kecengengan, seorang laki-laki pantang menangis, terlebih meratap-ratap. Sungguhpun ia harus berpisah dengan seorang Betani.

“Kita pernah berani untuk bertemu dan saling mengenal, perpisahan tentu saja sebuah resiko untuk keberanian itu. Kita masih bisa saling berkirim kabar”, Betani menghibur, suasana pesta justru tak membuatnya gembira.

“Engkau akan balas setiap suratku?” Orin bertanya.

“Pasti”, jawab Betani lirih, gadis itu tak mengelak ketika dalam jarak yang sedemikian dekat Orin mencium kedua pipinya. Ia merasa dadanya bergetar, ia tak pernah merasa seperti ini. Keduanya hanyut di dalam suasana haru dan sendu, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat.

“Aih, di sini kalian berdua rupanya”, Bahtiar tampak datang tergopoh-gopoh. “Kalian dipanggil ke atas panggung untuk menerima piagam, ayo tempo!” Bahtiar tak pernah tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi antara dua sijoli itu, ia tak mengerti, bahwa kehadirannya telah mengacaukan seluruh suasana yang terbangun.

Di lain pihak Orin dan Betani tergagap, mereka segera tersadar, acara di atas panggung masih sementara berlangsung. Mereka segera mendengar namanya disebut berulang kali, tanpa sadar Orin menggandeng tangan Betani, keduanya naik ke atas panggung sambil bergandeng tangan. Seketika suasana pesta meledak oleh tepuk tangan dan sorak sorai, mestinya Betani dan Orin merasa tersanjung, tetapi waktu seakan terjungkal pada malam yang menampakkan diri bagai suasana  musim dingin. Betani merasa tangannya menggigil, hadirin tertipu oleh senyumnya yang tipis bagai peri yang cantik berkelit lincah di antara ribuan bunga. Mereka harus bersandiwara –atau dunia ini memang benar panggung sandiwara—dan setiap orang harus piawai memerankannya. Orin dan Betani masih tetap tersenyum sambil bergandengan tangan ketika keduanya turun dari atas panggung. Rekan-rekan langsung beramai-ramai menyalami, tampaknya mereka merasa sungguh bergembira, akan tetapi siapa dapat menduga kedalaman hati yang lebih terjal dari jurang yang paling curam?

Ketika Orin dan Betani kembali duduk bersisihan, maka keduanya seakan terjebak ke dalam gelombang waktu yang bergerak lebih cepat dari hari-hari biasa, mereka tak ingin pesta perpisahan berakhir, tetapi siapa kiranya dapat menahan gerak pasti sang kala. Malam runtuh pada gelap yang sempurna bagai sayap kelelawar raksasa yang mebentang, mengungkung seisi dunia. Betani kehilangan kata-kata, tetapi dalam diam seringkali seseorang sesungguhnya tengah berucap. Mereka siswa-siswa kelas III yang telah dinyatakan lulus dipersilakan terlebih dahulu meninggalkan suasana pesta. Lampu-lampu dipadamkan, api unggun dinyalakan, jilatan lidah si jago merah bagai seekor ular naga yang tengah mengamuk, meliuk-liuk, menggapai gelap malam. Dewan guru dan siswa-siswa kelas II dan III melambai-lambai melepas kepergian siswa yang telah menyelsaikan pendidikan  untuk melakukan penjangkauan sebuah keinginan yang akhirnya disebut dengan cita-cita.

Betani terbungkam di belakang goncengan sepeda motor Orin, kendaraan itu bergerak perlahan dengan raungan membelah hening malam, sepi menghunjam bagai anak panah membenam pada kedalaman sasaran. Ketika akhirnya Betani melepas Orin di depan pintu pagar rumah, gadis itu tak dapat membendung air mata, tetapi ia tahu tangisannya tak bisa diketahui orang lain, terlebih ibunda. Betani tak mengerti, sang ibu telah menanti, perempuan setengah tua  mengamati ulah sikap kedua muda remaja itu dari balik gorden jendela. Tentu ia telah bersiap mengambil tindakan apabila perilaku itu keluar dari tatatan, tetapi Nayla masih bisa bersabar hati, ia hanya melihat Orin mengecup sepasang pipi Betani kemudian berpamit dan tak pernah menoleh lagi.

“Engkau telah kembali Betani?” Nayla membuka sepasang tangan untuk menyatakan cinta kasih, tak ada yang lebih penting bagi seorang anak kecuali  rasa sayang seorang ibu. Sekejab kemudian gadis itu telah berada di dalam pelukan ibunda sekaligus merasakan ketulusan yang luas tak berbatas dari wanita yang melahirkannya. Ia terlambat mengusap air mata, tetapi untuk apa mesti berdusta, bukankah kaum ibu selalu tahu segala isi hati anaknya. “Apa yang Beta tangisi, engkau sedih berpisah dengan Orin?” pertanyaan itu membuat Betani terbungkam.

“Engkau masih sangat muda sayangku, masa depanmu masih panjang, selesaikan pendidikanmu, jadilah wanita yang mandiri, setelah itu engkau baru boleh menyatakan pilihan. Perkawinan akan menjadi lebih mudah apabila engkau menjalaninya setelah benar-benar dewasa. Sekarang engkau baru seorang bocah. Mama sayang Betani….” Nayla mengecup dahi anaknya, kasih sayangnya demikian kukuh tak tergoyahkan, dan Betani memahami akan hal itu. Gadis itu sadar, ia dan saudaranya adalah segala kekuatan bagi kedua orang tuanya, ia anak yang baik, ia tak ingin membuat Nayla kecewa.

“Betani juga sayang mama”, Betani melepaskan diri dari pelukan sang ibu, ia harus membersihkan diri, mengganti pakaian untuk bersiap tidur. Ia akan menempuh hari dalam beda suasana dan ia belum mengerti di mana nanti akhirnya. Ketika gadis itu akhirnya memanjatkan doa sebelum tidur, maka malam telah benar-benar menghitam bagai tinta, suara-suara kehidupan tak lagi ada. Betani merasakan keheningan membungkan dan diam-diam menyakitinya, “Orin….” tanpa sadar Betani berbisik, suara itu sedemikian lembut namun segera merasuki getaran waktu, hembusan angin mengombak membawa bisikan meluncur ke suatu tempat tujuan.

***

Di dalam kamar, Orin termangu, ia tak bisa mengelak datangnya hari ini, tak seorangpun akan dapat mengelak dari hari yang akan selalu tanggal mengikuti rotasi sang sang waktu. Ia harus menghadapi secara jantan bagi hari yang membuatnya gembira –karena ia dinobatkan sebagai juara—sekaligus mengulitinya, karena ia harus bersandiwara dengan jarak untuk menjangkau gadis yang dicintainya. Kapan ia akan dapat menjadi bagian hidup dari Betani? Tiga tahun berlalu sedemikian cepat, ia seolah berkejaran dengan waktu kemudian kalah. Gadis itu memilih jalan hidup sesuai dengan cerita yang dikehendaki yang sutradara, sebuah skenario yang berbeda dengan jalan hidupnya pula. Berpisah? Orin merebahkan dirinya di atas pembaringan, matanya sayu menatap langit-langit kamar, ia seorang diri, sesisi rumah telah tertidur, tak ada yang peduli dengan kegundahan hatinya. Tak seorangpun perlu peduli! Ia cukup meratap seorang diri.

Di luar semesta menghangus dalam malam yang senyap dikuliti angin, sinar bintang memucat kemudian sirna diterkam mendung hitam yang menerjang secara tiba-tiba. Sesekali terdengar resah suara daun kering gugur –ranting-ranting patah—selebihnya telinga Orin terasa tuli. Sekarang ia harus mengerti, bahwa jarak memiliki kewenangan yang maha besar dalam memporak pondakan jalan hidup seseorang. Akhirnya, ia cuma debu yang tersungkur pada luas padang pasir, melayang-layang di atas samudera raya, tergelincir di ujung musim dalam cengkeraman angin dingin. Ah! Wajah itu, senyum lembut Betani tiba-tiba muncul di langit-langit kamar. Orin memejamkan mata, namun wajah Betani semakin lekat, senyumnya tetap terukir, sekalipun ia tak dapat melihat apa-apa.  Akhirnya Orin merasa demikian lelah, ketika angin berkesiur lemah, samar-samar pemuda itu mendengar suara lembut berbisik, “Oriiin….”

Itu suara Betani.

Sekejab Orin terpaku, tak lama kemudian bisikan itu membawanya menuju mimpi yang membingungkan. Di luar semesta tertidur dalam diam yang sempura.

***

Bersambung

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.