Oleh: Apache Charlton Pondayar Jr.
Si gadis cantik dari Intan Jaya adalah seorang anak perempuan satu-satunya dari keluarganya. Dia dibesarkan dengan kasih sayang dari kedua orangtuanya yang hidup berkecukupan.
Gadis ini diberi nama Hana. Alasannya karena saat dia lahir ada tantenya bernama Hana yang setia membantu mamanya.
Semenjak kelas 1 SMA, Hana mengalami musibah yang tidak diinginkan. Bapak Hana dipanggil pulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Hana depresi dan ingin mengakhiri sekolahnya, biar bisa membantu mama berjualan di pasar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Suatu malam yang gelap diterangi nyala api dalam pondok, Hana terbaring di atas pangkuan mama. Hana merasa bahwa setetes air mata jatuh di atas pipinya. Hana pun terbangun dan menatap sang mama.
“Mama, kenapa menangis? Hana ada untuk mama. Selalu untuk mama,” ucap Hana.
“Biar mama tra sekola dengan baik, tapi mama ingin ko sukses dan punya gelar sarjana. Biar punya masa depan yang baik. Itu saja yang mama doakan setiap saat,” jawab mama.
Mendengar itu Hana memeluk mama erat-erat. Air matanya tak bisa ditahan lagi.
“Mama, Hana selalu ada buat mama. Hana janji akan ganti jadi bapa untuk mama,” kata Hana sambil menyeka air matanya.
Waktu pun berlalu. Hana lulus dari sekolah menengah berkat jerih payah mamanya menjual hasil kebun. Hana lulus dengan prestasi gemilang.
Prestasi ini kelak menjadikan Hana mendapat beasiswa untuk studi lanjut di luar Indonesia.
Cuaca Intan Jaya siang ini cerah. Angin berembus, hingga udara khas pegunungan Papua membawa mereka ke bandara pada pukul 11 siang. Inilah awalnya Hana berpisah dari mama. Mama hanya menahan air mata yang berjatuhan di pipi.
“Hana, mama tidak bisa kasi ko apa yang baik, mama cuma punya noken ini untuk ko pake isi buku atau keperluan lain. Mama doakan ko semoga sukses dan bisa pulang lihat mama,” kata mama sambil memeluk Hana.
Hana lantas menerima noken dari sang mama. Air mata Hana tak bisa ditampung lagi di dalam noken buatan mama.
Dia melangkahkan kakinya menuju pintu pesawat. Berbarengan dengan air mata yang berderai di pipi. Berat rasanya meninggalkan mama sendirian. Namun masa depan yang cerah harus diraih dari kabut Intan Jaya.
Hingga pesawat lepas landas, Hana Hana bahkan masih melihat mamanya dari balik jendela pesawat. Wajah yang menampakkan guratan karena usia itu, masih terlihat jelas dari balik jendela. Mama sedih melepaskan anak gadis satu-satunya, tetapi berusaha tegar.
Pesawat pun lepas landas. Terbang jauh ke langit Intan Jaya menuju Jayapura. Kini kabut memisahkan anak tercinta karena studi.
Di Jayapura Hana disambut teman-temannya. Dia menginap di sini. Di rumah teman-temannya, yang berangkat menuju Surabaya besok pagi.
Gerimis mengguyur Sentani malam ini. Hana hanya mengingat mama. Tapi teman-teman Hana sibuk menelpon orang tuanya.
Hana ingin seperti mereka untuk menelpon mama, apa daya Hana tra punya HP. Kalau pun Hana meminjam HP teman-temannya, mama juga tak memiliki HP untuk ditelpon atau sekadar mengirim pesan singkat.
Hari mulai cerah. Cuaca kota Sentani pada pukul 9 pagi ini sedang baik-baik. Terlihat teman-teman Hana menuju ruangan check in untuk melaporkan keberangkatan mereka ke Surabaya pada pukul 10 nanti.
Penerbangan berjam-jam dari Bandara Theys Eluay Sentani tak terasa hingga tiba di Kota Pahlawan. Di kota metropolitan ini Hana mulai melengkapi berkas-berkas, untuk memenuhi persyaratan kuliah di luar negeri. Termasuk pelatihan bahasa Jepang selama enam bulan.
Hana juga membeli HP dari uang bantuan, untuk sekadar berkomunikasi dengan mama di kampung halaman. Atau berkomunikasi dengan mama melalui tantenya.
Dengan begitu Hana bisa mendengar suara mama dari seberang lautan pada bentangan ribuan bahkan jutaan mil jauhnya, di pedalaman Papua.
Hana sangat merindukan suara mama. Hana merindukan wajah mama yang tetap bersinar di kala menjual batatas atau keladi dan ubi kayu, serta hasil kebun yang lainnya, meski duduk beralaskan tanah di pasar dan pinggiran jalan kota.
Beberapa minggu berlalu di Kota Surabaya. Rasa rindu pada sang mama tak terbendung lagi. Hana kemudian menelpon tantenya di kampung. Sekadar untuk menyampaikan kepada mama, bahwa Hana dipersiapkan untuk kuliah di Negeri Sakura. Namun Hana harus menguasai bahasa Jepang, sebelum hasil seleksi keluar pada bulan Januari hingga Juni.
Hana satu-satunya peserta yang lolos seleksi, kemudian diberangkatkan ke Jepang dua minggu kemudian setelah pengumuman hasil seleksi.
Di negeri Matahari Terbit itu, Hana mengambil jurusan Ilmu Komunikasi dan Informatika pada salah satu universitas terkenal.
Tahun yang dinanti-nanti pun tiba. Hana memulai studinya.
Dari uang beasiswa, Hana membagikan sebagiannya dan dikirim ke kampung halaman untuk sang mama.
Tahun 2019, Hana lulus dengan predikat memuaskan. Dia kemudian mencoba melamar di salah satu perusahaan terkemuka. Perusahaan berlogo Apple. Puji Tuhan, Hana diterima di perusahaan tersebut.
“Halo, mama!! Berkat mama pu doa Hana sudah selesai wisuda. Hana sekarang dapat pekerjaan. Maaf mama, Hana belum bisa pulang, tapi tahun depan Hana janji, Hana akan pulang bawa mama kemari,” kata Hana dari ujung telepon seluler.
“Hana, mama rasa bangga ko suda sukses. Jangan lupa andalkan Tuhan selalu!!” jawab mama.
“Iya, mama. Hana ucapkan terima kasih. Bulan besok kalo Hana gajian, nanti Hana kirim mama uang,” ucap Hana.
“Iyo, Hana. Kalo ko mau kirim. Kalo tidak juga tidak apa-apa. Intinya ko ingat, kasi Tuhan ko punya berkat lain,” kata mama.
Dari balik telepon Hana mendengar suara batuk. Sudah dua bulan lamanya mama batuk-batuk. Tapi ia menyembunyikannya dari anak gadis ini agar dia tidak sedih.
“Mama sakit, kah?”
“Tidak, mama tidak sakit. Cuma kecapean. Iyo sudah, mama mau kembalikan HP. Ko ingat, jaga kesehatan!! Daaa!!!” Kata mama dan handphone ditutup.
Beberapa minggu kemudian.
Ponsel Hana berdering tatkala dia sibuk dengan pekerjaannya. Dia senang bukan kepalang. Dia berharap mama yang menelponnya. Ternyata…
Dari balik telepon Hana mendapat kabar bahwa mama meninggal.
Hana seperti tidak waras lagi. Dia kehilangan orang tercinta. Mama menyusul sang bapak yang meninggal lebih dulu.
“Tuhan, Engkau tidak adil!!! Kenapa bawa sa punya mama??? Sa belum kasi dia uang. Sa belum peluk dia. Mama e, ko tipu skali ka. Mama, sa mau pulang tahun depan bawa mama kemari. Sa sudah bangun rumah ni…!!!!” Teriak Hana sejadi-jadinya.
Hana mau berangkat ke Indonesia tetapi semua bandara ditutup untuk mancanegara karena pandemi covid-19. Ia merasa tidak mau kerja lagi. Hana kerja untuk banggakan de pu mama, tapi apa yang de dapat? Mama sudah meninggalkan dia untuk selamanya.
“Hana, ko jangan menangis terus. Ko perempuan hebat. Mama bangga, dunia bangga, Papua bangga. Ko harus angkat nama Papua,” kata mama dalam mimpi Hana, yang membuat Hana terjaga di suatu malam.
Hana menangis sekencang-kencangnya. Dia mengingat betul kata mama dalam mimpi tadi.
Hingga pagi tiba, Hana tetap mengingat kata-kata mama. Kini ia bangkit dan harus kuat. Jika dia gagal untuk bangkit, maka perempuan Papua lainnya juga gagal. Karena itu, Hana harus kuat dan bangkit. []