Oleh : Fransiskus Xaverius Magai
.
Kemarau mendera cuaca yang panas. Sedang mata yang semayamkan sebilah pedang tertutup selembar kain hitam di panas terik. Sebentar-sebentar berkibar mengibas rosario, sebentar-sebentar merintih hingga angin menderu, tercekik kehausan dan mencari jejak air.
.
Aku mengatakan benang-benang kusut pada apa yang tersebut sebagai keraguan–sejarah, seperti pengumuman abadi yang ditempel di muka-muka pintu, masa–di mana serombongan kalimat nyeri keluar-masuk membawa hidangan pembuka dan penutup di setiap pergantian eramorfosis.
.
Di sana sepiring manisan simalakama menjelma delusi–pembenaran serupa kutuk tak berkesudahan yang tergambar pada setiap dinding: berupa-rupa senyuman getir kepahitan.
.
Aduh … celakalah engkau, wahai mulut-mulut asin yang masih bungkam dibekap kekuasaan, seperti menyerah kepada awan-awan kebebasan yang menyimpan hujan kebajikan. Sedang sorak-sorak bergembira di udara seolah lelap meninabobokan balunan ombak samudra tempat segala riwayat dimakamkan setengah karang di bibir pantai yang kehausan.
.
Aku tak yakin
Aku tak yakin
Lautan gersang bisa mencipta buih
Sebab lidah-lidah tawar hanya menyungaikan karat
.
Lalu dengan bahasa apa lagi akan kau sulam kata-kata, wahai ironi? Sedang sajak-sajak tersembunyi di balik tembok, terantai lumut-lumut zaman dan tak mampu bersilat lantang menyuarakan prosa kenyataan dalam pengasingan.
Masihkah ada ucapan belasungkawa yang hendak kau ucapkan, wahai kematian?
.
Penulis tinggal di Jayapura